Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Tuesday, August 14, 2007

Radikalisme dan Dialog Antar Agama


Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, 10 Desember 2004.

Di Yogyakarta, pada 6-7 Desember 2004 lalu, diselenggarakan "Dialog Internasional tentang Kerja Sama Antar-Agama" yang merupakan kerja sama antara Departemen Luar Negeri RI, Departemen Luar Negeri Australia, dan PP Muhammadiyah. Tujuan acara ini adalah untuk meningkatkan kesepahaman antar- umat beragama agar mampu mencegah radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama.

Hadir dalam acara ini sekitar 150 tokoh agama dan aliran kepercayaan dari berbagai negara di kawasan Asia-Pasifik, seperti ASEAN, Australia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Selandia Baru.
Motif acara tersebut hampir mirip dengan International Conference for Islamic Scholars dengan tajuk "Upholding Islam as Rahmatan Lil 'alamin" pada 23-26 Februari 2004 lalu yang diadakan oleh kerja sama PBNU dan Deplu RI. Hanya saja, bedanya acara kali lebih bersifat luas karena mengundang seluruh tokoh antar-agama dengan cakupan regional.

Acara-acara semacam ini perlu dikembangkan. Persoalan terorisme dan radikalisme agama menjadi problem besar dunia. Dengan diadakannya acara ini, secara khusus sebenarnya pihak Australia berharap bahwa akan ada jaminan keamanan yang diberikan oleh Indonesia, dan komunitas-komunitas agama di negara ini mampu menciptakan kehidupan yang damai dan beradab.

Harapan yang bisa diraih bagi pihak Indonesia adalah tentang jaminan investasi dan hubungan yang lebih baik antara Indonesia dan Australia yang beberapa saat lalu sempat merenggang karena terjadinya aksi pengeboman di sejumlah tempat. Pihak Muhammadiyah sebagai ormas Islam moderat ingin menunjukkan komitmennya bahwa Islam di Indonesia perlu dihadirkan sebagai agama yang ramah, damai, dan toleran. Islam bukanlah agama kekerasan.

Acara yang digelar selama dua hari ini, di samping membicarakan tentang ancaman terorisme global juga membicarakan tentang bagaimana membangun tatanan dunia yang adil dan beradab. Jalinan terorisme dan ketidakadilan global terlihat begitu kompleks sehingga memerlukan pemecahan yang mampu membacanya secara jernih dan terbuka.

Terorisme Global

Dunia internasional kini sedang dilanda sebuah masalah besar, yaitu terorisme global dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Semenjak terjadinya serangan terhadap menara kembar WTC pada 11 September 2001, dunia internasional dikejutkan oleh sebuah ancaman terorisme global. Konon aksi ini didalangi oleh kelompok terorisme internasional bernama al-Qaeda, sebuah jaringan yang dipimpin oleh Osama bin Laden.

Seperti pernah santer dibicarakan bahwa aksi terorisme ini sengaja dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuatan Amerika Serikat (AS) yang kebijakan-kebijakan luar negerinya dianggap banyak menyebabkan penderitaan di berbagai negara Islam di Timur Tengah, seperti Palestina, Afghanistan, Irak, dan sebagainya. Tindakan terorisme dilakukan sebagai bentuk pelajaran yang harus diterima pihak AS karena ulah mereka selama ini.

Kejadian semacam itu juga menimpa beberapa negara di dunia ini. Makanya, disebut sebagai terorisme global. Di Indonesia, pernah terjadi peledakan bom di Bali pada 12 Oktober 2002, peledakan bom di Hotel Marriott di Jakarta, dan beberapa bulan lalu terjadi pula peledakan bom di depan Kedubes Australia.

Beberapa tindakan terorisme tersebut menunjukkan bahwa ancaman terorisme global tidak dapat dianggap sepele. Banyak orang merasa khawatir akan terjadi lagi aksi-aksi semacam itu di kemudian hari. Rasa aman dan keselamatan menjadi sebuah harga mahal yang harus dibayar.
Memang, kita tidak bisa menampik bahwa muncul dan berkembangnya terorisme tidak dapat dilepaskan dari persoalan ketidakadilan global. Pihak yang melakukan aksi-aksi terorisme merasa tidak mendapatkan keadilan yang diberikan dunia internasional, sehingga mereka menjawabnya dengan kekerasan.

Akan tetapi, jawaban kekerasan ini pun tidak dapat dibenarkan. Tindakan antikemanusiaan semacam ini mengakibatkan timbulnya banyak korban jiwa yang melayang dan justru kian memperparah keadaan. Ada pepatah mengatakan bahwa kekerasan akan dibalas dengan kekerasan, dan kekerasan menjadi "lingkaran setan".

Buktinya, aksi terorisme itu berbuntut makin memarahkan pihak AS dengan melancarkan serangan balasan terhadap Afghanistan yang dicurigai menyimpan Osama, sehingga menimbulkan banyak korban di rakyat Afghanistan itu sendiri.

Dalam menyikapi kasus terorisme, langkah yang tepat adalah dengan jalan perdamaian. Inilah salah satu gagasan yang diusung melalui kegiatan dialog internasional tersebut. Jalan damai tidaklah menyurutkan usaha untuk selalu mengatasi persoalan terorisme. Bila kekerasan sebagai jawaban maka akan banyak korban jiwa tak berdosa yang akan timbul. Kalau demikian yang terjadi, gerakan antiterorisme justru melanggar hak asasi manusia.

Pertarungan Wacana

Ada yang menarik tatkala Menlu Australia Alexander Downer memberikan beberapa butir pemikirannya perihal radikalisme dan terorisme dengan atas nama agama. Menurut Downer, memerangi terorisme menuntut adanya upaya untuk memenangi pertarungan ide (wacana) sebagai bentuk penyelesaian secara damai.

Artinya, perjuangan melawan terorisme tidak lepas dari keberhasilan memberdayakan mayoritas umat beragama yang moderat di masyarakat dan kerelaan mereka untuk melakukan kerja sama guna menolak ajaran kebencian dan kekerasan yang menyimpang. Melalui acara tersebut diharapkan para tokoh masing-masing agama mampu melakukan wacana saling pengertian dan kerukunan antarkomunitas.

Gagasan yang ditawarkan Downer itu sungguh sangat strategis dan menghindari cara-cara penuh kekerasan dalam menangani kasus terorisme. Pertarungan wacana yang dimaksud adalah bagaimana seluruh agama mampu menghadirkan pembacaan yang moderat dalam menyikapi keberagamaan dirinya terhadap pihak atau komunitas di luar dirinya.

Downer bermaksud ingin memperhadapkan wacana yang diusung kalangan fundamentalis dengan wacana yang liberal dan humanis dari kalangan moderat. Saya pikir strategi ini perlu diapresiasi. Membangun sikap dan pemahaman agama yang moderat adalah bagian dari upaya untuk menghadirkan agama yang antikekerasan.

Dengan sikap semacam ini diharapkan hubungan antara "diri seseorang" (self) dengan "orang lain "the other" dapat terjalin secara harmonis dan toleran. Dalam hidup ini sering terjadi kecurigaan antara seseorang dengan orang lain, antara satu pihak dengan pihak lain, apalagi kecurigaan tersebut berhubungan dengan problem identitas agama.

Ambil contoh, misalkan hubungan antara seorang Muslim dan seorang Kristiani yang penuh diliputi rasa kecurigaan dan masing-masing menganggap bahwa agamanya paling benar. Tentunya, hubungan semacam ini sangat berbahaya karena mengundang konflik yang sungguh serius.

Hal itu terjadi disebabkan karena pemahaman keagamaan mereka yang sama-sama sempit, tidak mau mencoba memahami ajaran agamanya dan keberadaannya masing-masing. Sikap yang seharusnya dibangun adalah dengan sikap moderat, yaitu mau mencoba untuk memahami dan membangun saling pengertian, apalagi bersedia menjalin kerja sama dalam urusan-urusan moral dan kemanusiaan.

Ketegangan antara "self" dan "the other" ini perlu dilebur. Bila hubungan ini masih saja terjadi dan menguat dalam skala besar maka potensi konflik komunal tidak akan tertampik. Untuk itulah, para tokoh agama-agama harus membangun saling pengertian bahwa dunia ini membutuhkan perdamaian antar-umat beragama.

Demikian halnya, perlu dibangun kesadaran bahwa kekerasan bukanlah solusi terbaik dalam menyikapi berbagai macam persoalan, karena memang agama sama sekali tidak mengajarkan kekerasan.

Untuk menumbuhkan saling pengertian semacam ini maka perlu dibangun "dialog antaragama" dalam membahas segala persoalan yang sangat membutuhkan perhatian kaum agamawan. Radikalisme dan terorisme adalah salah satu persoalan besar yang perlu dibicarakan dalam dialog antar-agama ini.

Selama ini model dialog antar-agama sering dilakukan dalam upaya mencari "common platform" (titik temu) pemahaman bersama tentang ajaran agamanya masing-masing. Akan tetapi, bentuk dialog internasional yang diadakan di Yogya ini modelnya dibangun secara lebih luas. Seluruh tokoh agama diundang untuk berbicara tidak lagi hanya soal ajaran agamanya saja, tapi sudah beranjak pada bagaimana menyikapi kasus terorisme yang kian melanda dunia dan mengancam perdamaian dunia.

Terorisme dan radikalisme dijadikan sebagai "common enemy" (musuh bersama) yang harus terus diberantas oleh seluruh pihak di masing-masing agama. Sikap kekerasan tumbuh dan sering terjadi di setiap agama. Gejala fundametalisme kian mewabah pada setiap agama dan justru menimbulkan citra yang buruk karena aksi-aksi radikalisme dan terorisme sering mewarnai kehidupan (keberagamaan) mereka. Untuk itulah, dialog antar-agama ini adalah momentum besar untuk menghadapi persoalan sangat serius ini.

Kita perlu memberikan pemahaman terhadap masyarakat-agama bahwa terorisme sangat tidak dibenarkan dalam ajaran agama. Emosi dan kekerasan bukanlah jawaban dalam menyikapi segala persoalan. Agama hanya mengajarkan bahwa dalam menghadapi suatu persoalan serumit apa pun maka kita harus menggunakan akal dan kejernihan dalam berpikir.

Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2004/12/10/content.html

1 comment:

Anonymous said...

thanks artikelnya.. lg bikin tugas tg dialog antar umat nih...

btw salam kenal....