Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Tuesday, August 14, 2007

Islam Humanis

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Sinar Harapan, 15 Oktober 2003.

Ide ”Islam Humanis” menjadi penting untuk didiskusikan kembali karena ”tamparan” hebat modernitas yang menggerus kepekaan kemanusiaan global. Dan juga disebabkan karena peran agama yang secara negatif telah disalahgunakan oleh penganutnya. Fenomena pengeboman dan aksi terorisme yang kian marak terjadi menambah rentetan derita kemanusiaan.

Wacana mengenai Islam dan humanisme menjadi penting untuk diperbincangkan kembali. Apakah Islam cenderung berlawanan dengan ajaran kemanusiaan? Bagaimana ada kemungkinan untuk membangun ruang dialog dalam upaya menghubungkan Islam dengan humanisme (ajaran kemanusiaan)? Upaya ini bertujuan untuk mengembangkan ajaran Islam agar lebih berwajah humanis dan berorientasi pada pemenuhan cita-cita kemanusiaan.

Humanisme Barat

Gerakan Renaisans (Pencerahan) yang muncul Pasca-Abad Pertengahan memberikan angin segar perubahan menuju pencerahan intelektualisme dan rasionalisme. Gereja dan agama yang telah menutup ruang kebebasan bagi manusia yang kemudian diprotes oleh Reformasi Protestan, melapangkan jalan sekularisasi antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi. Renaisans adalah era ”kebangkitan kembali” untuk menggali kebudayaan-kebudayaan Yunani dan Romawi, yang telah berabad-abad lamanya dikubur oleh masyarakat abad pertengahan di bawah kekuasaan gereja.

Pada masa inilah gerakan humanisme muncul. Warisan Yunani-Romawi yang dibangkitkan kembali adalah penghargaan atas dunia-sini, penghargaan atas martabat manusia, dan pengakuan atas kemampuan rasio. Gerakan humanisme mempercayai akan kemampuan manusia (sebagai ganti atas kemampuan adikodrati), hasrat intelektual, dan penghargaan atas disiplin intelektual. Pada masa abad pertengahan, segala hal pemikiran yang berbau rasio dan filosofis diharamkan, semua harus mengikuti doktrin agama (Kristiani).

Humanisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia (Ali Syari’ati,1989). Atau humanisme bisa juga diartikan sebagai paham pemikiran dan gerakan kultural yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai subyek yang bebas dan berdaulat dalam menentukan hidupnya (Sudarminta, 2001). Intinya, humanisme ingin meneguhkan kemampuan manusia secara bebas dan berdaulat untuk mengarungi hidupnya sendiri.

Dalam pandangan liberalisme Barat, tercapainya pengembangan potensi-potensi manusia bisa dilakukan dengan cara memberikan kebebasan pribadi dan kebebasan berpikir kepada manusia. Marxisme sebaliknya menyatakan bahwa kemanusiaan bisa ditegakkan apabila persamaan manusia yang tidak mengakui kebebasan-kebebasan tersebut, dan memasungnya ke dalam kepemimpinan diktator tunggal, yang dibantu oleh kelompok dan ideologi tunggal. Sebaliknya, eksistensialisme memberikan justifikasi filosofis bahwa manusia adalah makhluk yang berwujud dengan sendirinya di alam semesta. Yakni, makhluk yang dalam dirinya tidak terdapat bagian atau karakteristik tertentu yang datang dari Tuhan atau alam.

Humanisme yang terdapat pada ketiga aliran di atas berasal dari konsepsi Humanisme Yunani. Konsep ini berasal dari pertarungan antara langit dan bumi. Seluruh perbuatan dan kesadaran manusia dipimpin oleh kekuasaan yang zalim, yaitu para dewa sehingga manusia mencoba untuk membebaskan diri dari cengkeram kekuasaannya. Humanisme Yunani berusaha untuk mencapai jati diri manusia dengan segala kebenciannya kepada Tuhan dan pengingkaran atas kekuasaan-Nya. Ali Syari’ati memasukkan agama (termasuk Islam) sebagai salah satu madhab atau aliran humanisme.

John Avery, dalam dialognya dengan Hassan Askari yang terekam dalam buku Towards a Spiritual Humanism: A Muslim Humanist Dialogue (Meed: Seven Mirros,1991), mencatat bahwa kemunculan humanis agamis abad ke-20, seperti John Dewey, Roy Wood Sellars, dan sebagainya dari kubu Universitas Cambridge, menemukan unsur-unsur humanitarian dalam agama. Misalnya, ungkapan Yesus yang selalu mencintai manusia dengan doktrin kasih sayangnya, juga ajaran Islam yang menaruh perhatian terhadap aspek-aspek kemanusiaan. Kelompok humanis agamis berargumen bahwa agama dan kebudayaan manusia membantu atas kesadaran diri yang akan memeliharanya dari keterasingan hidup di dunia.Agama dan humanisme tidak selamanya berada pada ruang penuh pertentangan. Karena, ajaran agama yang dimaknai secara humanis dan rasional akan melapangkan citra positif bagi peran agama yang apresiatif dengan konteks kemanusiaan. Demikian halnya hubungan antara Islam dan humanisme. Ali Syari’ati memasukkan agama (termasuk Islam) sebagai salah satu madhab atau aliran humanisme.

Humanisme dalam Islam

Jika kita perhatikan sebenarnya Islam tidak bertentangan dengan humanisme. Tugas besar Islam, sejatinya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya-budaya dengan nilai-nilai Islam. Kita mengenal trilogi ”iman-ilmu-amal” ; artinya iman berujung pada amal/aksi, atau tauhid itu harus diaktualisasikan dalam bentuk pembebasan manusia. Pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dalam penyataan Cak Nur (1995), pandangan hidup yang teosentris dapat dilihat dalam kegiatan keseharian yang antroposentris.

Dalam pandangan Kuntowijoyo (1991), Islam adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Humanisme adalah nilai dasar Islam. Ia memberikan istilah dengan ”Humanisme Teosentris”, dengan pengertian ”Islam merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan Tuhan, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia”.

Islam sangat menjunjung tinggi rasionalisme. Untuk menghubungkan Islam dengan persoalan kemanusiaan dan humanisme maka teks keagamaan harus didekati secara rasional. Berbeda dengan Humanisme Teosentris, yang masih berangkat pada ajaran normatif agama --dengan pengandaian sudah final-- ”Humanisme Teistik”, sebagai istilah baru, memandang bahwa persoalannya terletak pada teks agama. Bagaimana sikap kita memperlakukan teks agar sesuai dengan konteks kekinian dan kemaslahatan (maslahah).

M. Abed Al-Jabiri (1991) menyodorkan dua model pembacaan terhadap teks keagamaan (tradisi) agar sesuai dengan konteks kekinian, yaitu ”Obyektivisme” (maudlu’iyyah) dan ”Rasionalitas” (ma’quliyah). Langkahnya, Pertama, bagaimana menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan kekinian, tapi memisahkan terlebih dahulu dengan konteks yang ada agar didapati pemaknaan yang obyektif. Kedua, baru kemudian bagaimana memproyeksikan posisi obyektif itu dengan bagan rasionalitas yang relevan dengan masa kini.

Humanisme dalam Islam mengandung dua dimensi, yaitu ”rasionalitas” (rationality) dan ”pembebasan” (humanity). Dua dimensi ini harus melekat pada teks agama, yang perlu dicarikan pemaknaannya secara kontekstual. Benturan antara agama dan filsafat pernah didamaikan oleh Ibnu Rusyd, dalam tulisannya berjudul ”Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal”.

Bahkan Ibnu Rusyd menganjurkan penggunaan filsafat dalam memahami agama karena pendekatan ini akan sangat membantu dalam memahami agama. Rasionalitas inherent dalam makna teks, dan menjadi kebutuhan sejarah (historical necessity) saat ini.

Agama adalah untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Pengamalan kita dalam beragama, di samping sebagai bentuk penyembahan dan kepasrahan total kepada Tuhan (aslama, islam), juga diorientasikan untuk membebaskan manusia dari segala macam ketidakadilan, penindasan, dan kemiskinan. Agama adalah jalan bagi kemungkinan untuk meneguhkan kemanusiaan ditegakkan di muka bumi ini. Dan semuanya tergantung pada bagaimana manusia membumikan makna agama ke dalam wilayah praksis dengan berangkat dari rasionalisasi teks.

Membangun Dialog

Konfrontasi teks dengan humanisme perlu didialogkan. Mamadiou Dia dalam tulisannya ”Islam dan Humanisme”, yang dimuat dalam buku terbitan Paramadina, Islam Liberal (2001) suntingan Charles Kurzman, menyatakan bahwa untuk menemukan basis-basis Teologis Humanisme Islam, maka dibutuhkan konfontrasi dengan sumber-sumber yang dijadikan landasan bagi reformasi, untuk menemukan basis-basisnya yang memadukan nalar, masyarakat, dan sejarah.

Bagi Mamadiou, persoalannya terletak pada bagaimana memandang secara kreatif tentang Tuhan. Agama adalah kekuatan spiritual yang tinggi yang menggantikan suara hati manusia akan ”cita dunia” untuk Tuhan, sehingga perlunya elaborasi makna baru agama dengan perspektif menyertakan cita kemajuan, cita kemanusiaan, dan cita bumi. Kata Mamadiou, untuk mengelaborasikan pemaknaan seperti ini, maka perlu perangkat-perangkat konseptual yang menyertainya, sebagai bentuk dialog Islam dengan humanisme.

Sudah saatnya Islam dapat melakukan dialog dengan berbagai rujukan pengetahuan kontemporer --dari manapun-- agar diperoleh pemahaman Islam yang mampu membaca terhadap berbagai kompleksitas persoalan aktual-kekinian, seperti masalah kemanusiaan, keadilan, dan lain sebagainya. Langkahnya antara lain: Pertama, dengan barangkat dari gagasan pluralisme pemikiran kita melakukan dialektika wacana mengenai hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, secara kreatif, aktif, dan dinamis. Beragama di samping berorientasi secara vertikal (untuk Tuhan), tapi juga tidak kalah pentingnya memproyeksikan keberagamaan kita untuk manusia dan kemanusiaan (antroposentris).

Kedua, perlu ada upaya secara massif melakukan rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu keagamaan (‘ulum ad-dien), seperti ushul fiqh, ilmu hadits, dan sebagainya. Harus ada keterbukaan dalam menerima berbagai masukan (rujukan) dari perangkat-perangkat keilmuan kontemporer, seperti filsafat, hermeneutika, dekonstruksi, dan semantik. Oleh sebab itu, perangkat ijtihad perlu direkonstruksi menjadi lebih dinamis. Dan ketiga, perlu ada gerakan ”revitalisasi turats (tradisi)” --meminjam bahasanya Hassan Hanafi-- yaitu mendialogkan antara teks dan realitas menurut kerangka berpikir kekinian dan kedisinian.

Penulis adalah Peneliti The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia.

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/15/opi01.html

1 comment:

Anonymous said...

ass.
baguz bgt mas artikelx.salam kenal