Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Wednesday, August 15, 2007

Islam dan Pesan Kemanusiaan

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, 26 Januari 2004.

Sejumlah kasus terorisme “berbaju agama” menjadi pelajaran penting bagi kita. Stereotip yang muncul adalah bahwa kejadian itu dilakukan oleh orang-orang yang “beragama” dan menggunakan identitas keagamaan(?) Apakah memang demikian sejatinya fungsi dan peran agama? Kenyataannya, Islam tidaklah mengajarkan kekerasan dan berbagai bentuk penindasan yang jelas-jelas “membunuh” rasa kemanusiaan. Fenomena kekerasan atau radikalisme agama telah menggerus citra positif agama.

Agama hadir di muka bumi untuk memenuhi panggilan kemanusiaan bagi kehidupan ini sehingga penampilannya pada sisi keadilan, perdamian, dan anti-kekerasan menjadi harapan besar. Pemahaman agama sudah semestinya direintepretasi dengan pembacaan yang lebih humanistik, pluralistik, dan emansipatif. Pemahaman teks agama yang kaku, rigid, hitam-putih, dan tektualistik, akan cenderung mengarahkan pada kemungkinan terjadinya tindak kekerasan, klaim-klaim kebenaran, dan sikap anti-pluralisme.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum “teroris berbaju agama” --jika memang itu benar-benar dilakukan oleh mereka-- menunjukkan sebuah sikap keagamaan yang cenderung “eskatalogis” (kehidupan setelah mati). Memaknai dan mengamalkan agama sebatas untuk pencapaian “kebahagiaan” di hari kelak, tanpa mau melihat kenyataan hidup hari ini secara lebih terbuka. Problemnya adalah pada pemahaman agama yang sempit, dan pada gilirannya “dioperasionalisasikan” untuk mengejar akhirat tanpa mau melihat realitas dunia secara obyektif. Sehingga, ekses negatif yang tidak diperhatikan itu malah menggelapkan raut wajah agama.

Demikian pula, pemahaman agama bagi kebanyakan umat Islam selalu mengandaikan pada “teosentrisme” --sebagai titik awal dan akhir pijakan dalam memaknai agama. “Agama” dan “Tuhan” menjadi dua term yang menyatu. Ketika kita memahami agama, ada kecenderungan bahwa pemahaman itu adalah mutlak menurut apa yang maksudkan Tuhan kepada kita. Teks-teks agama dianggap sebagai kata-kata Tuhan yang dirasa sudah jelas dan pasti sehingga tidak perlu lagi ada pemahaman kontekstual.

Pemahaman yang Dinamis

Pada dasarnya, pemahaman agama yang kita yakini kebenarannya itu masih berupa tafsiran yang relatif karena masih “dibenturkan” dengan pluralitas pemikiran manusia lainnya. Alangkah baiknya, agama itu dimaknai sebagai “jalan dan petunjuk yang mengarahkan pada sebuah kebenaran” (syir’atan wa minhajan) bagi umat beragama untuk memahami kehidupan ini dengan tetap di bawah tuntunan ajaran ilahi --melalui proses “kontekstualisasi” dan “dinamisasi” yang tiada henti.

Makna agama terbagi dua, ada yang bersifat “melangit” (normatif) dan ada yang sudah “membumi” (historis). Yang pertama adalah “penterjemahan” agama sebagai ajaran Tuhan yang transenden; ditujukan sebagai bentuk penghambaan secara personal, vertikal, dan teosentrik. Ibadah ritual dan umumnya syariat merupakan bentuk penghayatan dan pengamalan agama dengan orientasi pada Tuhan sebagai bentuk penyembahan secara individual. Tapi, dalam sifat transedensi ini tidak terjadi keterputusan dengan sifat yang kedua, yaitu proses “imanensi”. Perlu upaya pembumian (transformasi) makna agama yang masih melangit menjadi membumi (down to earth). Sehingga, fungsi agama itu bisa menyejarah. Umat beragama bisa menghubungkan tradisi agama yang diyakininya dengan realitas kekinian yang sedang dihadapinya.

Maka, terbukalah ruang bagi manusia untuk secara aktif dan kreatif melakukan kegiatan duniawi secara rasional dengan tidak melepaskan dari substansi agama. Pembumian inilah yang memberikan jalan pada proses “humanisasi agama” (to humanize religion). Agama hadir untuk memenuhi kebaikan hidup buat umat manusia. Beragama, di samping berorientasi pada Tuhan (teosentrik), tapi juga mengarah pada kemanusiaan (antroposentrik) karena Tuhan selalu hadir (omnipresent) dalam kehidupan ini. Dalam agama dan manusia terjadi dialektika di mana manusia diberikan kebebasan untuk menjalani kehidupannya dengan jalan membumikan ajarannya dalam ranah sosial dan kemanusiaan.

Sudah saatnya, kita mencoba merumuskan kembali sebuah gagasan tentang paradigma agama yang berorientasi pada cita-cita kemanusiaan, perdamaian, dan anti-kekerasan. Gagasan “Islam Humanis” menjadi sangat relevan untuk dieksplorasi secara lebih mendalam. Penulis beranggapan bahwa agama tidak anti terhadap kemanusiaan hanya disebabkan gara-gara dicurigai ada proses “devaluasi agama” yang terjadi akibat merebaknya fenomena kekerasan (radikalisme) dan terorisme atas nama agama, dan juga merebaknya bentuk “politisasi agama” yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politis.

Mengusung Rasionalitas

Secara historis, Humanisme memang awalnya muncul di Barat yaitu pada Abad Pencerahan (Aufklarung) di mana agama “digerogoti” dan dikeluarkan dari ring wacana keilmuan dan kehidupan keduniawiaan. Saat itulah periode sekularisasi berlangsung, sebagai lawan terhadap otoritas gereja yang mendominasi atas kebebasan manusia lewat penancapan agama ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia. Terjadi “pemasungan” atas kemanusiaan. Apa yang terjadi di Barat tentunya berbeda dengan apa yang terjadi di Islam. Penulis yakin bahwa Islam memiliki pondasi kuat tentang humanisme. Persoalannya adalah terletak pada penafsiran agama yang harus direintepretasi menjadi lebih bersifat humanis.

Fungsi agama bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan. Agama harus memperhatikan manusia sebagai subyek dan obyek perubahan, keadilan, dan perdamaian. Apa yang menjadi kebutuhan manusia (masyarakat) adalah tujuan dan pembelaan agama. Secara transedental, bisa saja pengamalan agama diperuntukkan pada Tuhan, tapi jangan dilupakan bahwa dalam agama juga terkandung dimensi horisontal, imanental, dan humanistik, yaitu “beragama adalah untuk manusia”. Agama yang antroposentris --sebagai pijakan Islam humanis-- akan membuka ruang bagi kebebasan manusia untuk mengkonstruk fungsi agama sebagai “agen perubahan” (social change) menuju kemanusiaan dan perdamaian.

Akhirnya, untuk memahami teks agar berjiwa humanis maka “rasionalitas” (‘uquliyah) menjadi “kebutuhan sejarah” (historical necessity) bagi upaya humanisasi agama. Bagi kebanyakan kelompok agama yang sering dicap “fundamentalis” dan “radikalis”, mereka memahami agama tidak perlu dengan pendekatan yang agak rasional. Padahal, dengan pendekatan yang demikian kita bisa membaca teks dan realitas secara obyektif. Syariat, yang sering diposisikan sebagai domain wacana agama juga mesti ditafsirkan secara rasional; menurut ukuran kemanusiaan dan konteks historisnya. Pendekatan rasionalitas dalam filsafat bisa membantu dalam pembacaan agama yang humanistik.

Ketika sebuah teks ternyata berbenturan dengan realitas, dalam pengertian bahwa teks itu justru malah mengafirmasi kemungkinan terjadinya sikap “anti-kemanusiaan” maka teks harus didialogkan, dan akhirnya ada “tawar-menawar” dalam memahami teks. Terjadi dialektika atau dialog antara teks (wahyu) dengan kebudayaan masyarakat pada saat proses penurunan ayat-ayat Al-Qur’an. Dan untuk saat ini, artinya teks itu dikomunikasikan dengan konteks masyarakat masa kini. Bahasa dalam teks Al-Qur’an merupakan penulisan atas realitas-empirik yang terjadi pada lingkup budaya dan antroposentris. Sehingga, jika terjadi benturan antara teks normatif dengan realitas kemanusiaan maka untuk menghubungkan keduanya perlu menggunakan pendekatan hermeneutika (ta’wil) agar makna yang tersembunyi di balik bungkusan teks itu bisa dipahami.

Pendekatan rasional (nalar) harus berimplikasi pada pemaknaan yang berorientasi kemanusiaan. Bukan dimaksudkan sebagai nalar an sich, tapi nalar yang beroperasi pada struktur kemanusiaan. Sehingga, ruh dalam gagasan Islam humanis harus mengandung ajaran yang memiliki semangat “kesadaran pembebasan”. Teks yang dipahami secara rasional ditujukan untuk memproduksi makna yang mengandung nilai pembebasan terhadap umat manusia. Jadi, Islam yang kita harapkan adalah Islam yang “membebaskan”, bukan Islam yang “menakutkan”.

Islam tidak menghendaki kekerasan bercengkerama di muka bumi ini. Islam sangat berwajah humanis. Dan mayoritas kelompok Islam tidak mengehendaki adanya kekerasan, bahkan mengutuk kekerasan sebagai sebuah sikap anti-kemanusiaan. Dan saatnya kini kita merenungi kembali hakikat keberagamaan kita selama ini. Islam hadir sebagai penyeru bagi terciptanya kedamaian dan kesejahteraan umat manusia karena Islam memang hadir sebagai rahmat bagi seluruh sekalian alam. Wallahu A’lam bish-Shawab.

No comments: