Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Sunday, August 19, 2007

Etika Sosial dalam Islam

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Jurnal FAI Universitas Islam '45 (UNISMA) Bekasi, Edisi November 2005.

Islam adalah agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan praksis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problem sosial yang ada dalam masyarakat. Tulisan ini membahas persoalan etika sosial dalam Islam. Sekiranya, persoalan etika adalah tema penting yang menarik untuk diperbincangkan.

Apalagi, tema tentang etika menjadi bahasan penting dalam wacana pemikiran filsafat kontemporer. Namun, pembicaraan tentang etika kurang begitu berkembang dalam Islam. Justru yang berkembang adalah kajian tentang moralitas melalui sudut pandang fiqih Islam. Moralitas yang menjadi obyek kajian etika Islam masih berbicara seputar etika secara individual, yaitu bagaimana memperbaiki diri dan kepribadian dalam bekata, bersikap, dan berbuat. Sedang etika sosialnya masih kurang mendapat tempat yang luas dalam kajian Islam.

Pengertian Etika

Istilah “etika” dan “moralitas” adalah dua istilah yang hampir mirip, namun sesungguhnya berbeda. Kata “etika” berasal dari kata Yunani yang dipakai untuk pengertian karakter pribadi, sedangkan “moral” berasal dari kata Latin untuk kebiasaan sosial.1 Akantetapi, dalam tulisan ini saya tidak memisahkan pengertian dua istilah tersebut. Saya lebih suka menggunakan istilah “etika” karena lebih bermakna ilmiah.

Etika memiliki pengertian bahwa manusia diharapkan mampu mengatasi sifat-sifat jahatnya dan mengembangkan sifat-sifat baik dalam dirinya. Paul Foulquie mendefinisikan etika sebagai “aturan kebiasaan, yang apabila ditaati dan dipatuhi, akan mengantarkan manusia meraih segenap tujuannya”.2 Biasanya etika sangat terkait dengan persoalan-persoalan bagaimana meraih kebahagiaan dalam diri manusia. Kita sering mendengar istilah “etika kebahagiaan”.

Ada tiga jenis etika, yaitu: etika deskriptif, etika normatif, dan meta-etika. Etika deskriptif adalah sebuah kajian empiris atas berbagai aturan dan kebiasaan moral seorang individu, sebuah kelompok atau masyarakat, agama tertentu, atau sejenisnya. Etika normatif mengkaji dan menela’ah teori-teori moral tentang kebenaran dan kesalahan. Sedang meta-etika atau etika analitis tidak berkaitan fakta-fakta empiris atau historis, dan juga tidak melakukan penilaian evaluasi atau normatif. Meta-etika lebih suka mengkaji persoalan-persoalan etika, seperti pertanyaan: apa makna dari penggunaan ungkapan “benar” atau “salah”?3

Ketika kita berbicara tentang agama dan moralitas, tentu akan timbul sebuah pertanyaan penting tentang hubungan keduanya, yaitu: apakah moralitas mengandaikan agama? Seringkali kita menyamakan persepsi tentang agama dan moralitas. Banyak orang beragama memandang kaidah-kaidah moralitas itu berkaitan erat dengan agama, dan dianggap bahwa tidak mungkin orang yang sungguh-sungguh bermoral tanpa agama. Seringkali dianggap pula bahwa orang yang bermoral pasti memegang teguh keyakinan agamanya. Demikian hal sebaliknya, orang yang beragama sering dianggap pasti mengarah pada tujuan-tujuan moralitas. Padahal, kedua terma tersebut belum tentu sepenuhnya mengandung pengertian yang sama.

Ada tiga alasan mengapa kebanyakan orang menganggap pengertian di atas: (1) moralitas pada hakikatnya bersangkut paut pada persoalan bagaimana manusia itu bisa hidup dengan baik; (2) agama merupakan salah satu pranata kehidupan manusia yang paling kuno; dan (3) dalam praktek keberagamaan ada kepercayaan bahwa Tuhan akan memberikan pahala kepada orang yang baik dan menjatuhkan hukuman bagi orang yang jahat, sehingga secara psikologis agama dapat menjadi penjamin yang kuat bagi hidup yang bermoral.4

Alangkah baiknya, bila pemahaman kita mengarah pada pengertian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan atas agama. Memang, secara psikologis agama dapat saja dan secara faktual memang tidak jarang mendorong manusia untuk hidup bermoral, sesuai dengan kaidah-kaidah moralitas. Demikian pula, dalam kenyataannya orang yang beragama dengan benar-benar akan membuahkan hidup bermoral yang baik. Menurut J. Sudarminta, walaupun logika di atas bisa dipahami, tapi sesungguhnya prinsip-prinsip dasar moralitas dapat pula dikenali dan dipraktikkan oleh manusia yang tidak beragama yang menggunakan pemikiran atau akal budinya.5 Bahkan, kita pun sebenarnya sering melihat perilaku orang yang mengaku beragama tapi perbuatannya sering tidak mengindahkan kaidah-kaidah moral yang diajarkan dalam agama itu sendiri.

Islam Agama Moral

Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan kebenaran” untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Memahami Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas, yaitu bagaimana usaha kita menjadikan Islam sebagai panduan moral yang murni.

Menurut Mahmud Ayyoub, Islam hadir ke dalam sebuah masyarakat diatur melalui prinsip-prinsip moral yang tidak didasarkan oleh iman terhadap kekuasaan Tuhan, melainkan didasarkan pada adat yang dihormati sehingga mampu membentuk nilai-nilai masyarakat dan struktur moralnya. Islam sangat mempertegas nilai-nilai kebaikan moral, seperti kesabaran, keramahtamahan, dan kejujuran, yang itu tidak saja ditujukan kepada keluarga terdekat, tapi juga bagi seluruh umat manusia, baik bagi anak yatim, orang miskin, dan sebagainya.6

Memahami Islam dengan kandungan ajaran moralitasnya perlu dilacak secara historis bagaimana konstruksi bangunan pemikiran Islam ketika Nabi Muhammad mengembangkan Islam pada saat itu. Hal ini penting agar kita mampu menangkap pesan-pesan moralitas Islam dengan baik. Karena, oleh sebagian besar masyarakat Muslim, konstruksi pemahaman tentang Islam selalu dirujuk pada produk aturan syariat yang didirikan Nabi pada saat beliau sudah menetap di kota Madinah. Kita sering melupakan prosesi sejarah di mana Islam sebenarnya terkonstruksi melalui sebuah proses yang bertahap dan disesuaikan dengan konteks zaman pada saat itu.

Mahmud Muhammad Thaha, pemikir Islam asal Sudan, yang merupakan guru dari Abdullahi Ahmed An-Naim, memberikan perspektif baru dalam melihat Islam dan produk syariatnya. Beliau membagi Islam pada dua periodesasi, yaitu periode Mekkah (610-622 M) yang disebut dengan “ar-risalah al-ula” (the first message-Misi Pertama) dan periode Madinah (622-632 M) yang disebut dengan “ar-risalah ats-tsaniyah” (the second message-Misi Kedua).7

Karakter Islam yang terbangun dalam Misi Pertama adalah ajaran-ajaran yang bernuansa universal, substantif, penuh dengan semangat perlindungan HAM, semangat egaliter, dan bercirikan sistem yang demokratis. Sedangkan Islam pada masa Misi Kedua sudah menjadi bangunan keislaman yang cenderung mapan, berorientasi penuh ke dalam (in wordly), dan penuh dengan aturan-aturan “syariat” kolektif.

Nabi Muhammad SAW adalah utusan bagi Misi Pertama dan juga diutus untuk Misi Kedua. Allah telah menjelaskan secara detil Misi Pertama dan memberikan secara global Misi Kedua. Untuk memahami Misi Kedua secara terinci dibutuhkan pemahaman baru terhadap al-Qur’an. Namun, Thaha memberikan catatan bahwa pada dasarnya al-Qur’an itu tidak mungkin dijelaskan secara final. Islam tidak mungkin selesai. Perjalanan Islam adalah perjalanan secara terus-menerus, tidak mengenal akhir dari proses pencarian. Oleh karena itu, menjalankan al-Qur’an dalam bingkai Islam berarti melakukan perjalanan menuju Allah secara terus-menerus. Agar bisa menangkap pesan wahyu dan realitas yang tengah diamati maka perlu menyertakan upaya kontekstualiasi pemaknaan secara dinamis.

Melalui penjelasan Thaha tersebut kita bisa memahami bahwa ajaran-ajaran moral atau etika Islam sebagian besar telah ada dalam konstruksi Islam pada masa Mekkah.

Etika Islam: Asy’ariyah vs Mu’tazilah

Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok.8 Perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah menghiasi sejarah pemikiran Islam.

Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif, bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah.9 Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.10

Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini. Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akantetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.

Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.11

Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia.12

Amin Abdullah melakukan kajian perbandingan tentang filsafat etika al-Ghazali dan Immanuel Kant, sebagai dua tokoh intelektual representatif dari kalangan Muslim dan Kristiani. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.

Pemikiran etika Islam yang dibangun dengan sistem berpikir rasional adalah madzhab Mu’tazilah. Madzhab ini sering disebut sebagai madzhab rasionalisme dalam pemikiran Islam. Kalangan Mu’tazilah membuktikan kepercayaan-kepercayaan yang hanya diterima lewat perantaraan wahyu dengan argumen-argumen rasional, tapi juga mempercayai akal sebagai pemecah segala persoalan. Misalnya, ketika teks agama bertentangan dengan akal manusia, maka menurut kalangan Mu’tazilah kita harus berpihak pada akal, dan teks agama itu harus ditafsirkan.

Menurut Mu’tazilah, syariat yang mengajarkan tentang etika, seperti perbuatan baik, harus ditundukkan di bawah kendali akal. Alasannya, wahyu tidak menetapkan nilai tertentu pada sebuah perbuatan baik. Wahyu hanya mengabarkan adanya nilai perbuatan itu, tapi akal-lah yang membuktikan baik-buruknya sebuah perbuatan.13 Jelas terlihat bahwa Mu’tazilah mengembalikan hukum-hukum etika pada prinsip-prinsip rasionalitas.

Madzhab Mu’tazilah sangat mementingkan peran akal karena Tuhan memberikan akal pikiran kepada manusia agar ia mau berpikir. Dengan diberikannya akal ini, manusia mampu menentukan perbuatan, karena ia berkuasa. Manusia dapat memilih mana perbuatan yang baik dan taat kepada Tuhan dengan akal pikirannya. Jadi, akal-lah yang membimbing manusia dalam kehidupan praktisnya.

Keadilan dan Kebebasan

Etika sosial Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika sosial Islam adalah sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur.

Bagi madzhab Mu’tazilah, keadilan adalah asas etika. Keadilan Tuhan adalah salah satu lima asas yang diyakini Mu’tazilah. Mereka kerap menerapkan asas keadilan sebelum asas tauhid, sehingga mereka sering disebut sebagai “ahl al-‘adl wa al-tauhid”. Dalam madzhab Mu’tazilah, ada korelasi antara asas keadilan dan asas tauhid. Bagi Mu’tazilah, tauhid adalah sifat terpenting dari zat Tuhan, sedang keadilan adalah sifat terpenting dari perbuatan Tuhan. Dengan pengertian keadilan seperti ini, maka ada relasi antara Tuhan dan manusia, sebuah relasi yang berbasis pada keadilan mutlak dari sisi Tuhan. Mu’tazilah berkeyakinan bahwa seluruh yang dilakukan Tuhan sepenuhnya adalah adil.14

Definisi keadilan menurut Mu’tazilah, seperti dikutip al-Syahrastani, adalah “kebijaksanaan rasional untuk melakukan perbuatan secara benar dan berguna”. Sehingga, dalam pemikiran Mu’tazilah, akal mengharuskan segala perbuatan yang bersumber dari Tuhan dan yang berkaitan dengan manusia mukallaf, berdasarkan pada kebijaksanaan Tuhan dan mengandung maslahat bagi umat manusia.15 Pengertian keadilan menurut Mu’tazilah juga berarti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia.16 Dengan pengertian demikian, perbuatan manusia perlu didasarkan atas pertimbangan rasional, menuju pada keadilan, dan mengarah pada kepentingan manusia.

Etika sosial Islam juga harus menjamin adanya kebebasan individu. Menurut Mahmud Thaha, aturan dasar Islam adalah bahwa setiap orang bebas hingga secara praksis dia terlihat tidak mampu dalam menjalankan kebebasannya.17 Kebebasan itu harus diimbangi dengan keharusan menunaikan kewajiban, yaitu bagaimana menjalankan kebebasan secara baik. Jika tidak mampu menjalankan kebebasannya maka kewajibannya harus dicabut melalui “hukum”, dengan menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif.

Mengenai hubungan antara individu dan kelompok dalam Islam, Thaha menjelaskan dengan sangat menarik sekali. Islam menjadikan individu sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Individu diberi kebebasan sebagai pengampu moralitas. Kebutuhan individu terhadap kebebasan mutlak individualnya merupakan perpanjangan dari kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial yang menyeluruh. Islam menata masyarakat sebagai sarana untuk menuju kebebasan dengan landasan tauhid. Sehingga, syariat dijadikan “jalan dan metode” yang terbagi atas dua tingkatan, yaitu tingkatan individual yang berbentuk ibadah dan tingkatan kelompok yang dimanifestasikan dalam bentuk mu’amalah.18

Kebebasan dalam Islam adalah mutlak dan menjadi hak setiap individu sebagai manusia, tanpa memandang agama ataupun etnis, dan sebagainya. Undang-undang dalam Islam adalah suatu peraturan untuk menghubungkan antara kebutuhan individu dan kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial. Sehingga, yang menjadi dasar adalah syariat individual, bukan syariat kolektif. Titik pijakan utama adalah pada tingkatan kebebasan individual yang mempengaruhi keberadaan syariat pada tingkatan kolektif.19 Sehingga unsur dasar pada Misi Kedua adalah penerapan syariat secara dinamis, ada kemungkinan perubahan, dan mengalami proses perkembangan (organis). Syariat pada masa Madinah bersifat sangat dinamis, sedang syariat pada masa Mekkah bersifat universal dan substantif.

Jadi, jika kita mencoba memahami syariat (Islam) maka pijakannya yang utama pada masa Mekkah karena di sana kebebasan individual sangat diperhatikan. Istilahnya, Islam kafah (sempurna) adalah Islam pada masa periode Mekkah. Masa Madinah adalah “perpanjangan tangan” atas syariat pada masa Mekkah, yang tidak lantas kemudian me-nasakh (menghapus) syariat sebelumnya.

Penutup

Sebagai akhir dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan syariat kolektif.

Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas. Wallahu a’lam.

1Dikutip dalam Manhaz Heydarpoor, Wajah Cinta Islam dan Kristen, terj. M. Habib Wijaksana (Bandung: Arasy Mizan, 2004), hal. 31.
2Sebagaimana dikutip ibid., hal. 32.
3Ibid., hal. 32-34.
4J. Sudarminta, Etika Umum (Diktat Kuliah), (Jakarta: STF Driyarkara, 2001), hal. 12.
5Ibid., hal. 13.
6Mahmoud M. Ayyoub, The Crisis of Muslim History, terj. Munir A. Mun’im, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 33
7Lihat Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003).
8Asumsi ini dikemukakan oleh Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiuddin Baidhawy (Surakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Universitas Muhammadiyah, 1983).
9Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Musa Kadhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), hal. 127.
10 Ibid., hal. 128.
11Selengkapnya bisa lihat M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 137-138.
12Ibid., hal. 143.
13Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika, terj. Yunan Askaruzzaman (Jakarta: Serambi, 2001), hal. 43.
14Ibid., hal. 44-45.
15Ibid., hal. 46.
16Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), cet. v, hal. 125.
17Mahmud Muhammad Thaha, op. cit., hal. 155.
18Ibid., hal. 50-52.
19Ibid., hal. 53.

No comments: