Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Thursday, October 25, 2007

Komunisme Islam H. Misbach

Oleh Happy Susanto [1]

Dimuat dalam Jurnal Perburuhan Sedane, November 2005.

Islam adalah agama yang dihadirkan ke muka bumi untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan keadilan. Lahirnya Islam sangat terkait dengan konteks historis (kesejarahan) umat manusia pada saat Nabi Muhammad masih hidup. Ajaran Islam harus berpijak pada bumi praksis karena agama ini hadir untuk menyikapi segala problem sosial yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Seorang Muslim yang sejati adalah dia yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dan menjalankan seluruh ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan yang nyata. Kata dan perbuatan adalah dua hal yang sangat ditekankan dalam Islam.

Di antara sekian banyak pemikir dan pejuang kemanusiaan, salah satunya terdapat nama H. Misbach, seorang kiai komunis yang sejarah hidup perjuangan dan pemikirannya menarik untuk dikaji. Ia dinilai unik karena sangat jarang tokoh yang mempunyai prinsip keyakinan yang kuat seperti dirinya. Biasanya, tokoh yang mengaku pembela hak-hak orang tertindas yang berangkat dari nilai agama lebih bersikap apriori, yaitu memandang bahwa Islam telah mengajarkan sosialisme jauh sebelum ajaran Marxisme itu ada. Lalu di sini mulai dipertentangkan antara agama dan Komunisme, termasuk Islam dan Komunsime. Apakah keduanya memang bertentangan? H. Misbach tidak memandang perbedaan semacam itu. Bagi dia, yang penting adalah bagaimana memanfaatkan “pisau analisa” (tools of analysis) dari Islam dan Marxis untuk membaca realitas sosial dan melakukan perjuangan sosial dengan menghalau segala kekuatan dominatif para kapitalis dan kolonial dalam menjajah negara Indonesia.

Perjalanan H. Misbach dalam menggerakkan agenda perjuangan kemanusiaan dan keadilan adalah dengan melalui wacana dan aksi “Islam Bergerak”. Simbol pemikiran ini telah melekat dalam jati dirinya. Konsep perjuangan yang tengah dilakukan oleh H. Misbach adalah bagaimana mensintesiskan antara ajaran Islam dan ajaran komunisme. Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan ajaran Komunisme yang disampaikan oleh Karl Marx sama-sama ingin membawa masyarakat pada cita-cita kemanusiaan dan keadilan. Sehingga, keduanya tidak perlu dipertentangkan, bahkan dinilainya saling memperkuat.

H. Misbach sangat kagum dengan kepribadian Muhammad dan Karl Marx. Keduanya di mata Misbach adalah sumber inspirasi pergerakan dalam meneguhkan pondasi kemanusiaan di bumi Indonesia. H. Misbach sangat dikenal dengan julukan “Muslim Komunis” atau “Islam Komunis” karena pemikirannya dalam mengkaji Islam dinilai sangat moderat, radikal, dan berhaluan komunis. Ia adalah pejuang komunis yang ada dalam barisan Islam.

Awal mula pergerakan H. Misbach dapat dilacak menurut kejadian historis pra-kemerdekaan negara Indonesia. Keadaan buruk pada tahun 1917-1918 menimbulkan gesekan yang sangat besar. Kenyataan ini tidak bisa disangkal oleh siapapun sehingga menuntut bagi setiap pemikir social-politik Indonesia untuk memberikan tanggapan pemikiran dan konsep yang jitu untuk memecahkan persoalan tehadap kondisi yang rumit pada saat itu. Salah satunya adalah sebuah kelompok yang mencoba mengajukan konsep Marxis untuk memahami realitas sosial yang tengah terjadi. Tokoh utama dari kelompok ini adalah Hendicus Franciscus Marei Sneevliet, ketua ISDV (sebuah gerakan sosial kiri Belanda).

Siapakah Sneevliet itu? Ia lahir pada tahun 1883 di Roterdam. Selepas menamatkan H.B.S ia kemudian aktif dalam sebuah gerakan buruh kereta api. Pada tahun 1913 ia datang ke Indonesia sebagai sekretaris sebuah perkumpulan dagang Belanda. Dan pada tahun 1914 di Semarang ia mulai mengorganisir ISDV. Sneevliet bersama kaum ISDV-nya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda yang berasal dari kalangan Sarekat Islam (SI). Misalnya, dari SI Semarang tedapat nama Semaoen, Darsono, dan lain-lain. Dari Jakarta ada Alimin dan Muso. Dan dari Solo muncul seorang tokoh bernama H. Misbach yang kini sedang kita kaji. Dari Sneevliet mereka belajar bagaimana menggunakan analisa Marxistis untuk memahami realitas sosial yang tengah dialami masyarakat Indonesia. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa kesengsaraan rakyat Indonesia disebabkan karena struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis.[2]

H. Misbach hanyalah seorang mubaligh lulusan pesantren. Posisinya sangat unik, walaupun ia tidak setenar teman-teman sejawatnya, seperti Semaun, Tan Malaka, atau tokoh-tokoh kiri Indonesia lainnya. Lelaki ini lahir di Kauman, Surakarta. H. Misbach lahir pada tahun 1876 dan dibesarkan di lingkungan keluarga pedagang batik yang makmur. Masa kecilnya ia dipanggil Ahmad. Saat menikah berganti nama menjadi Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach. Pada usia sekolah, H. Misbach telah mengisi wawasan pengetahuannya dengan pelajaran-pelajaran keagamaan dari pesantren. Itu karena ia memang berada dalam lingkungan yang religius. Selain belajar di pesantren, Misbach pernah belajar di sekolah bumiputera "Ongko Loro" selama delapan bulan. H. Misbach kemudian mengikuti jejak ayahnya yaitu menjadi pedagang batik di daerah Kauman. Pada saat SI Surakarta berdiri di tahun 1921, H. Misbach mulai aktif di dalamnya. Tapi, mulai benar-benar aktif ketika SI membentuk Indlandsche Journalisten Bond (IJB). Sepak terjang pergulatan pemikiran H. Misbach sangat terkait dengan konteks historis perkembangan Islam di Surakarta.

Kelompok Islam di Surakarta mengalami perpecahan. Perpecahan ini bermula dari sebuah artikel yang ditulis oleh Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI yang dimuat dalam Djawi Hiswara. Tulisan itu dinilai beberapa tokoh Islam Surakarta sebagai bentuk “pelecehan” terhadap Islam. HOS. Cokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono itu yang muncul di Oetoesan Hindia. Karena adanya “provokasi” balik yang dilakukan Cokroaminoto, kaum muda Islam Surakarta bangkit melakukan berbagai aksi perlawanan. Akhirnya, Cokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), sebagai kendaraan untuk melakukan perjuangan itu. H. Misbach muncul sebagai seorang mubaligh yang sangat vokal sehingga mulai saat itu namanya mencuat ke atas. H. Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM.[3] Pada saat itu, ia menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin.

Pada awal perjuangannya, H. Misbach memang dekat dengan pemikiran Cokroaminoto yang sama-sama mengusung tema sosialisme Islam. Ia sangat berhutang budi atas usaha Cokroaminoto yang telah mengangkat namanya ke permukaan di antara sederet tokoh Muslim Surakarta. Tapi dalam perkembangan pemikiran berikutnya, H. Misbach menjadi lebih radikal dalam menggerakkan Islam sebagai agama keadilan dan kemanusiaan. Lembaga perkumpulan tabligh yang reformis bernama Sidiq, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) yang bediri bersamaan dengan berdirinya TKNM kemudian menjadi kendaraan perjuangan H. Misbach untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Dari sini sebenarnya H. Misbach sudah “berseberangan” dengan Cokroaminoto, seperti halnya dalam kasus perpecahan SI.

Artikel pertama H. Misbach yang ditulis dalam Medan Moeslimin berjudul “Seroean Kita” menjadi sebuah tulisan yang memikat banyak orang karena ditulis dengan gaya penyampaian yang sangat khas. Dinilai khas karena bernada provokatif dan berfungsi menggerakkan massa yang menjadi harapan perjuangan pergerakannya. Sikap-sikap H. Misbach yang tercermin dalam tulisannya itu kemudian dikuti oleh kelompok SATV. Anak-anak muda yang tergabung dalam SATV mengkritik keras ulah elit pemimpin TKNM yang dinilai melakukan korupsi dan penindasan terhadap umat Islam. H. Misbach mengembangkan ideologi gerakan SATV dengan jalan "menggerakkan Islam", yaitu dengan menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.

Pergulatannya dengan SI dan PKI

Dalam catatan sejarah, H. Misbach terlibat dalam pergulatan intens dengan SI dan PKI. Perpecahan di dalam tubuh SI menyebabkan H. Misbach menentukan sikap di kubu mana ia akan berjuang. SI mengalami perpecahan dengan tampilnya kelompok Semaun dan Darsono yang memperluas jaringan SI Semarang menjadi sebuah kelompok merah radikal. Mereka berdua beserta kaum Komunis lainnya melakukan upaya “pemberontakan” terhadap SI yang dinilai telah keluar dari jalur perjuangan. Kelompok SI yang berhaluan putih, yaitu mereka yang menolak doktrin komunisme dan lebih bersikukuh pada kosep sosialisme Islam, seperti Agus Salim dan Cokroaminoto, melakukan perlawanan dengan memperkuat jaringan SI menjadi Centrale Sarekat Islam (CSI).

Mereka berdua mencoba melepaskan diri dari dominasi kelompok Islam (SI Putih). Kongres SI Oktober 1921 di Surabaya mengambil disiplin partai agar anggota-anggota PKI dikeluarkan dari SI. Kelompok Semaun (SI Semarang) adalah bagian dari korban kebijakan itu. Akhirnya, Semaun dan kawan-kawannya keluar dari CSI. Pada tanggal 24-25 Desember 1921, SI Semarang mengadakan kongres untuk merespon kebijakan baru SI Pusat. Kongres ini dipimpin oleh Tan Malaka sendiri karena Semaun (Ketua) dan Darsono (Wakil) telah berangkat ke luar negeri pada Oktober 1921 untuk melakukan kontak hubungan erat dengan Koskow. Kongres itu akhirnya mengambil keputusan untuk menyusung cabang-cabang SI yang keluar dari CSI itu dalam sebuah centrale SI “merah” guna menentang CSI “putih” pimpinan Cokroaminoto.[4]

Ketika Semaun balik ke Indonesia pada 24 Mei 1922, ia mencoba menyusup ke dalam SI agar tetap bisa menbawa pengaruh komunis dalam SI. Tapi, Semaun mengalami kesulitan karena Kongres SI Februari 1923 tetap mengambil keputusan disiplin organisasi. Sikap ini ditanggapi oleh kaum Komunis dengan mengadakan kongresnya di Bandung pada 4 Maret 1923. Kongres ini dihadiri oleh 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah, dan perkumpulan sehaluan komunis. Ada banyak kritikan yang muncul terlontar dari peserta kongres ini terhadap kebijakan SI Pusat (CSI) tersebut. Semaun menganggap bahwa SI sudah dibentuk untuk menjunjung kepentingan kaum pemodal dan SI memboroskan uang yang diterimanya dari rakyat. Darsono, dalam forum itu, menegaskan bahwa kaum komunis tidak akan melakukan pertumpahan darah, tapi akan bekerja dengan jujur. Sedangkan H. Misbach menunjukkan ayat-ayat al-Qur’an hal-hal yang berkesesuaian antara Islam dan Komunisme. Misalnya, Islam dan Komunisme sama-sama memandang perjuangan sosial demi menegakkan keadilan masyarakat sebagai sebuah kewajiban, sama-sama menghormati HAM, dan bahwa keduanya berjuang terhadap berbagai bentuk penindasan. Seorang Muslim yang sejati sangatlah mustahil menolak dasar-dasar komunis. Adalah dosa besar apabila memakai agama Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri (ini ditujukan bagi pemimpin-pemimpin SI). Dalam forum ini pula, H. Misbach mempopulerkan istilah “sama rasa sama rata” sebagai doktrin kaum komunis karena komunisme tidak membiarkan adanya perbedaan-perbedaan nasib, komunisme ingin melenyapkan kelas-kelas manusia, dan itu juga dilakukan oleh Islam.[5]

Akibat kerasnya suara yang disampaikan kaum komunis itu, beberapa tokoh PKI mengalami nasib yang menyusahkan. Misalnya, Semaun dikeluarkan dari Indonesia pada Agustus 1923 karena kasus pemogokan pegawai kereta api (Mei 1923). Ditinggalkannya PKI oleh Semaun, sebagai pelanjut gerakan ini, Darsono berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan kekuatan kaum komunis. Ia berpikir terlebih dahulu tentang bagaimana upaya memperbesar jumlah rakyat umum komunis serta memperkokoh barisannya sebelum memikirkan hal-hal lain. Di seberang kelompok lain, yaitu kelompok H. Misbach, bersikukuh untuk melakukan aksi-aksi liar dan sampai berani melakukan pembunuhan dengan bom, membinasakan tali kawat, dan sebagainya. Itu semua dilakukan demi maksud menyiapkan revolusi. Sangat radikal memang! Tapi, aksi itu berujung pada penghancuran oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan menangkap H. Misbach dan kemudian membuangnya pada bulan Juli 1924 ke Manokwari. H. Misbach meninggal dalam masa pembuangan akibat penyakit malaria pada 24 Mei 1926.

Pemikiran Revolusioner H. Misbach

Pemikiran H. Misbach tentang Islam dan komunisme sangatlah menarik. H. Misbach berangkat dari sebuah keyakinan keras bahwa Islam dan komunisme tidaklah bertentangan. Keduanya saling memperkuat dalam upaya perbaikan kondisi sosial, di mana dan kapanpun selama eksploitasi dan penindasan masih merajalela. Dalam peta pemikiran yang lebih luas, posisi H. Misbach sungguhlah unik. Ia berbeda dengan kebanyakan kelompok Islam garis “kanan” (fundamentalis) yang menganggap bahwa komunisme itu ateis (tidak percaya Tuhan), anti-agama, dan sikap-sikapnya dilakukannya dengan jalan pertumpahan darah. H. Misbach berupaya keras mendekatkan pesan Islam setara dengan pesan yang diajarkan dalam komunisme.

Dalam peta pemikiran di garis “kiri” (Marxis), H. Misbach berbeda dengan kaum komunis lainnya. Walaupun ia sehaluan perjuangan dengan kelompok Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan lain-lain (dalam gerbong organisasi PKI/SI Merah) H. Misbach tetap berpegah teguh pada keyakinan Islam, dan oleh sebab itu ia tidak mau menjadi seorang ateis. Agak sulit bersikap seperti H. Misbach ini karena biasanya kaum komunis itu melepaskan diri dari ikatan agama. Perpecahan dalam tubuh SI adalah karena ada beberapa kelompok yang menolak posisi agama lebih dipentingkan dalam perjuangan keadilan dan kemanusiaan pada masa pra-kemerdekaan.

Seperti yang telah penulis petakan mengenai posisi pemikiran H. Misbach yang tidak ke kanan, tapi juga tidak sama persis dengan teman-temannya di kubu kiri. Pemikiran H. Misbach dikenal sangat moderat. Artinya, pemikiran H. Misbach berada pada titik di tengah, mencoba mensintesiskan paradigma Islam dengan paradigma Marxis. Keberislaman H. Misbach tidak dilakukan secara simbolis, sempit, dan normatif. Ia tidak suka dengan simbol-simbol agama yang dimaknai secara normatif. Ambil contoh misalnya dalam hal berkopiah. H. Misbach tidak suka menggunakan penutup kepala yang biasanya menggunakan kopiah model Arab. H. Misbach lebih suka menggunakan penutup kepala model Jawa. Ia merasa bahwa untuk apa menggunakan simbol-simbol agama dalam berpakaian kalau ternyata masih menyimpan kebusukan pemikiran dan sikap keagamaan. Baginya, yang penting adalah substansi dalam mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan praktis. Identitas Islam tidak memberikan jaminan bahwa seseorang itu telah benar-benar menjalankan Islam dengan baik. Ukurannya adalah sejauhmana tujuan-tujuan agama telah dilaksanakan, dan itu tidak tergantung pada simbolisasi dan pemaknaan sempit.

Dalam berbagai forum, H. Misbach selalu berupaya meyakinkan banyak orang (terutama kelompok Islam) bahwa ada banyak sekali kecocokan antara ajaran Islam dan ajaran komunisme. Ia pun menyuguhkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan, yang itu kemudian dihubungkan dengan pemikiran Karl Marx. H. Misbach hanyalah seorang mubaligh tapi pemikiran dan pergerakannya sangat luar biasa apalagi di masanya itu. Seorang H. Misbach punya keinginan kuat untuk mempersiapkan revolusi Indonesia. Tapi, sayang nama beliau sering dilupakan dalam catatan sejarah perjuangan rakyat Indonesia, seperti halnya seorang Tan Makala. Jika banyak pihak kemudian menyesalkan perjuangan revolusioner yang dilakukan H. Misbach dengan jalan kekerasan, mungkin itu adalah kelemahan dalam pemikirannya. Tapi, itu tidak mengurangi kekuatan pemikirannya yang telah memberikan inspirasi besar bagi para pelanjut gerakan revolusioner di hari kemudian.

Melalui tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media massa pada saat itu, H. Misbach berupaya mengemukakan gagasannya untuk menggerakkan rakyat dalam perjuangan melawan kekuatan kapitalis dan kolonial. H. Misbach pernah membuat sebuah kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Ia menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, bersama mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, menarik pajak. Ia pun menggugat residen Surakarta, Paku Buwono X karena ikut-ikutan menindas rakyat. Suaranya lantang dalam menegakkan keadilan di bumi Indonesia. Walaupun ia akhirnya ditindas oleh kekuasaan kolonial yang dibantu oleh kekuatan kapitalis Indonesia, tidak membuat dirinya membungkam suara kerasnya. Siapa saja yang dinilainya buruk maka tidak tanggung-tanggung itu semua akan “dilabraknya”. H. Misbach adalah figur yang sangat pemberani dan punya keteguhan dalam bersikap.

Selama di pengasingan, walaupun dalam kondisi menyedihkan H. Misbach tetap membuat catatan laporan perjalanannya dan mengirimkannya kepada rekan-rekan seperjuangannya. H. Misbach juga menyusun artikel berseri bertemakan "Islamisme dan Komunisme". Tulisan itu bermaksud memberikan kesadaran yang sangat penting bagi orang yang dirinya mengaku Islam dan komunis yang sejati, yakni suka menjalankan apa yang telah diwajibkan kepada mereka oleh agama dan komunis. Dalam keadaan apapun, ia tetap kuat dan berani dalam melakukan apa yang diyakininya benar.

Bagaimana konstruksi pemikiran revolusioner-keagamaan yang dikembangkan oleh H. Misbach? Sesungguhnya, ia mencoba mengeksplorasi pondasi-pondasi dasar kemanusiaan dalam Islam dengan tekanan-tekanan revolusioner. Ia tidak berhenti pada wacana, tapi sudah masuk pada aksi yang dilakukan secara massif dengan kekuatan-kekuatan revolusioner. Islam adalah agama praksis, yaitu sebuah ajaran yang menggerakkan umat manusia untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan di muka bumi. Islam bukanlah lembaran-lembaran ayat yang dibaca setiap hari tanpa meberikan makna yang berarti bagi perbaikan kondisi sosial. Sejarah kehidupan Nabi Muhhamad telah menunjukkan bahwa Islam adalah agama perjuangan, yaitu dengan jalan menghalau berbagai kekuatan kapitalis yang mengeksploitasi masyarakat Mekkah pada saat itu. Dalam bahasa H. Misbach, Islam adalah agama yang aktif dan begerak. Dengan memahami pemikiran H. Misbach kita bisa melihat bagaimana menariknya tokoh yang satu ini.

Mari kita coba analisa beberapa butir pemikiran H. Misbach. Pertama, titik pijakannya sangat jelas, yaitu dalam soal tauhid. Di sinilah urgensi bagaimana mengkonkritkan konsep tauhid --yang menjadi pondasi keberislaman seseorang-- dalam bentuk gerakan emanatif di wilayah praksis. Tauhid normatif dikembangkan menjadi tauhid pembebasan, dengan pengertian bahwa “keesaaan Tuhan” berujung pada “keesaan umat manusia”. Dengan prinsip tauhid, manusia diajarkan bagaimana memahami kenyataan dalam kesatuan Tuhan (tiada Tuhan selain Allah) dengan berimplikasi pada upaya untuk mempersatukan umat manusia (dalam satu kesatuan keadilan dan kemanusiaan).

Asghar Ali Engineer, seorang penggagas Teologi Pembebasan Islam, mengungkapkan analisis tajam mengenai hal ini. Menurutnya, Tauhid adalah inti dari teologi Islam yang biasanya diartikan dengan keesaan Tuhan. Teologi pembebasan, berbeda dengan teologi tradisional (normatif), menafsirkan tauhid bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind) yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat kelas (classless society). Konsep tauhid yang dimaksud demikian sangat dekat dengan semangat al-Qur’an untuk menciptakan keadilan dan kebajikan (al-‘adl wa al-ahsan).[6]

Penjelasan Asghar hampir mirip dengan H. Misbach karena sama-sama menghendaki masyarakat tanpa kelas dengan prinsip tauhid. Jika dirangkai dalam format pemikiran H. Misbach itu disebut dengan istilah masyarakat tauhidi-komunis. Masyarakat tauhidi-komunis adalah tatanan masyarakat yang tidak menghendaki adanya berbagai diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta, ataupun kelas. Masyarakat tanpa kelas adalah cerminan dari model tatanan ini. Umat manusia benar-benar satu, tidak dibedakan karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit, dan sebagainya. Dan intinya, masyarakat tauhidi-komunis tidak mengenal bentuk eksploitasi dan penindasan.

Untuk melacak penjelasan tauhid semacam itu, bisa dibaca pada beberapa butir al-Qur’an yang memihak pada kaum tertindas (mustadh’afin). Misalnya, surat al-Qashash ayat 5 dan 6 yang berbunyi: “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan meteka di muka bumi.” Di sini terlihat jelas bahwa Islam adalah agama pembebasan dan menjadikan kaum tertindas sebagai tujuan perjuangan dalam Islam. Kaum tertindas tidak bisa diremehkan karena ketika mereka bangkit melakukan perjuangan maka Tuhan tentu bersama mereka.

Kedua, doktrin “sama rata sama rasa” yang pernah disampaikan H. Misbach. Artikel H. Misbach berjudul “Nasehat” dimuat dalam Medan Moeslimin yang terbit pada 1 April 1926 yang isinya antara lain: agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi, dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.

Konsep “sama rata sama rasa” dimaksudkan ingin memposisikan manusia dalam satu perasaan dan kesejahteraan bersama. Tidak ada pembedaan antar umat manusia, tidak ada yang berkelas atas dan di bawahnya, yang berkedudukan dan yang tidak mempunyai kedudukan sama sekali, antara yang kaya dan miskin. Umat manusia diukur sejauhmana kemanusiaan yang ada dalam dirinya itu diperhatikan. Manusia yang punya rasa kemanusiaan untuk memberikan keselamatan dan rasa aman bersama adalah manusia yang sejati. Di hadapan Tuhannya, tidak ada manusia yang dibeda-bedakan. Hanya hambanya yang punya iman dan rasa kemanusiaan tinggi adalah dia yang benar-benar telah bertakwa.

Dengan istilah tersebut, H. Misbach ingin mengkonkretkan bangunan konsep Islam dan komunisme tentang masyarakat tanpa kelas. Mengenai masyarakat tanpa kelas, bisa dirujuk pada surat al-Mukminun ayat 52 yang berbunyi: “Sesungguhnya ini, umat kamu, umat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada-Ku.” Umat manusia adalah satu, tanpa kelas-kelas dan pembedaan. Semuanya di mata Tuhan adalah sama. Manusia diciptakan berasal dari satu, dan akan berakhir pada sebuah kesatuan pula. Tugas manusia adalah bagaimana mengembalikan simpul kesatuan itu. Dan tugas ini adalah apa yang dicita-citakan dalam Islam dan komunisme.

Ketiga, ideologi H. Misbach adalah “Islam bergerak”, yaitu bersatunya kata dan perbuatan. Ia menggerakkan Islam untuk memerangi ketidakadilan, penindasan, dan eksploitasi. Islam bergerak kemudian menjadi “rakyat bergerak”. Apa makna dibaik peralihan ini? Dengan titik pijak Islam yang digerakkan dalam merespon berbagai kondisi sosial yang timpang, kemudian diproyeksikan dalam wilayah yang lebih luas, yaitu rakyat secara keseluruhan untuk dijak dalam satu perjuangan melawan bentuk-bentuk penindasan. Dalam proses perjuangan, kata dan perbuatan menjadi satu. Tidak cukup perjuangan hanya dengan kata-kata dalam bentuk tulisan dan ceramah, tapi mesti dibarengi dengan gerakan yang lebih nyata. Dan ini telah dilakukan oleh H. Misbach dengan baik sekali. Ia adalah pemikir-pergerakan yang sangat tulen. Ia tidak ingin terjebak pada dinding intelektualisme yang kaku, yang hanya berbicara di atas menara gading dan menjauh dari realitas yang ada.

Membangun masyarakat tanpa kelas tidak bisa dilakukan jika tidak dibarengi dengan gerakan dan perbuatan yang konkrit. Berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan tidak cukup dengan kata-kata, tapi harus pula dibarengi dengan perbuatan yang nyata. Artinya, bagaimana menggiring dari cita-cita normatif Islam ke gerakan sosial untuk memerangi berbagai ketidakadilan yang mewabah di muka bumi. Apa yang digerakkan oleh H. Misbach adalah bertujuan mengembangkan cita-cita transformasi sosial. Ini senada dengan pemikiran Kuntowijoyo tentang perpaduan antara iman dan amal. Di dalam al-Qur’an sering sekali disebutkan agar manusia itu beriman dan beramal shalih. Beriman tidak cukup dengan mengucapkan beberapa kalimat baik (kalimah thoyyibah). Iman itu harus berujung pada amal (aksi). Artinya, tauhid harus diaktualisasikan. Memang, pusat Islam adalah Tuhan, tapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Semua nilai-nilai dalam Islam juga berimplikasi praktis dalam kehidupan nyata, yaitu kehidupan umat manusia.[7]

Soal perpaduan kata dan perbuatan dari H. Misbach ini sangatlah menarik. Bagaimana mungkin ketidakadilan itu bisa diberantas tanpa upaya konkrit perjuangan sosial? Sepertinya, H. Misbach juga terinspirasi oleh surat ar-Ra’du ayat 11 yang berbunyi: “sesunggunya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka sendirilah yang mengubahnya”. Perjuangan H. Misbach adalah ingin mengubah keadaan masyarakat menuju keadilan. Itu mesti melibatkan tangan-tangan aktif manusia. Tidak bisa mengandalkan takdir sejarah. Semuanya akan terjadi apabila manusia sendirilah yang melakukan perubahan. Berkata adalah suatu hal yang sangat mudah, tapi bagaimana melakukannya adalah hal yang sulit sehingga membutuhkan kesadaran dan kesabaran dari masing-masing individu.

Mengenai persamaan ajaran Islam dan Komunisme didukung oleh Soekarno. Dalam tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, ia mengatakan bahwa “Kaum Islamisme tidak boleh lupa bahwa kapitalisme musuh Marxisme, itu musuh Islam pula”; “Islamis yang fanatik dan memerangi Marxisme adalah Islamis yang tak kenal larangan-larangan agamanya sendiri”; “Hendaknya kaum itu sama ingat bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan Marxis, banyak persesuaian cita-cita, banyaklah persamaan-persamaan tuntutan-tuntutan”. Ucapan-ucapan Soekarno mendukung pemikiran H. Misbach, yaitu bahwa Islam dan kaum komunis sama-sama dalam satu peta perjuangan. Hanya saja, Soekarno lebih suka menggunakan istilah Marxisme.

H. Misbach telah melakukan kajian yang menarik mengenai kaitan Islam dan komunisme, dan ia pun telah mempraktekkan dalam berbagai perjuangan yang nyata. Sudah selayaknya, posisi H. Misbach tidak bisa diabaikan. Ia adalah pemikir dan pejuang Islam komunis yang mempunyai banyak kontribusi positif dalam dunia pemikiran dan pergerakan Islam dan keindonesiaan. Wallahu A’lam.

[1]Penulis adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Peneliti pada Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Yogyakarta.

[2]Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, (Jakarta: Frantz Fanon Foundation, 1990), hal. 16-17.

[3]Lihat tulisan Iqbal Setyarso, “Haji Misbach, Kiai Merah” dalam Majalah Panji Masyarakat, No. 9 Tahun IV, 21 Juni 2000.

[4]Lihat AK. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta, Penerbit Dian Rakyat, 1979), cet. viii, hal. 26.

[5]Ibid, hal. 28.

[6]Lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. ii, hal 11.

[7] Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1999), cet. ix, hal. 167.

No comments: