Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Thursday, October 25, 2007

Cendekiawan, Antara Idealisme dan Kekuasaan

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam www.kommpak.com

Agenda reformasi belum mencapai hasil yang memuaskan. Boleh dikata, cita gerakan reformasi mengalami proses kemunduran. Pemerintah kita tidak mau serius dalam upaya melakukan pembaharuan kondisi negara dan pemerintahan ini. Demikian halnya dengan gerakan civil society yang terasa sepi karena semua terfokus pada bagaimana meraih kekuasaan. Yang dulu pernah keras dan kritis dalam menyikapi kondisi pemerintahan, kini justru ikut-ikutan dalam meraih kekuasaan. Dengan mudahnya kekuasaan diraih, yang penting adalah bagaimana popularitas dan kekuatan berbasis rakyat yang selama ini telah dimilkinya mampu menjual dirinya untuk menggapai kekuasaan yang ada.

Cendekiawan pun tidak mau ketinggalan dalam arus pop zaman ini. Mereka berani menaruh idealismenya ke dalam laci buku dan pengetahuan demi mengukuhkan keinginan besarnya untuk menjadi sang penguasa. Ada sebuah ironi manakala mereka dengan mudah tergiur oleh iming-iming kekuasaan. Ironis, karena mereka seharusnya jauh dari kekuasaan. Mereka tidak lagi kritis dalam menyikapi kebijakan negara dan pemerintahan. Padahal, kita sangat butuh kehadiran cendekiawan yang secara konsisten menyuarakan kebenaran untuk memihak pada keadilan rakyat dan kepentingannya.

Wacana cendekiawan dan peranannya dalam masyarakat Indonesia seecara historis struktural masih dikuasai oleh kelompok kelas menengah (Hikam:1999, 2). Kiprah cendekiawan Indonesia muncul dan diprakarsai oleh kelompok terdidik yang berpusat di kota-kota. Gerakan-gerakan awal cendekiawan Indonesia didominasi oleh mereka yang memiliki class origin dari elit pribumi baru (the new indigenous elite) yang mendapat kesempatan pendidikan moder (Barat). Akhirnya, peran cendekiawan memiliki pengaruh dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan politik pada sebuah masa kekuasaan. Pada masa Orde Baru, cendekiawan banyak mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah pada saat itu. Terlebih pada masa sekarang ini. Yang jelas, peran cendekiawan sangat dibutuhkan oleh sebuah kekuatan negara yang sedang berkuasa.

Cendekiawan tidak berdiri sendiri akhirnya. Mereka sangat terkait dengan kondisi sosial yang melingkupinya. Sehingga, cendekiawan itu tidak hanya diam di balik tumpukan buku dan keilmuan, tapi mereka pun punya keterlibatan praksis. Di sini lalu ada dua kecenderungan. Pertama, cendekiawan yang lebih pro-status quo. Mereka adalah cendekiawan yang telah jauh dari cita-cita keilmuannya, karena tidak lagi berupaya untuk menggerakkan potensi yang dimilikinya untuk mengkritik kekuasaan yang telah mapan. Padahal, kekuasaan negara itu tidak selamanya benar sehingga patut untuk selalu dikritik. Kadang, dengan atas nama kebenaran kekuasaan negara itu menindas rakyat, yang tanpa disadari oleh rakyat sendiri. Hanya kaum cendekiawanlah yang mempunyai kepekaan kritis dalam menyikapi pengaruh negara.

Cendekiawan yang pro-kemapanan hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Sumbangan pemikiran yang dihasilkannya sudah tidak murni lagi. Segalanya diproyeksikan untuk mengawal negara sehingga negara dan pemerintah mempunyai benteng untuk melancarkan kekuatannya. Kecenderungan yang kedua adalah cendekiawan yang pro-perubahan. Ini yang semestinya dilakukan oleh setiap cendekiawan. Tidak ada kata berhenti dalam mengkritik negara dan pemerintahan. Sumbangan cendekiawan sangat besar dalam proses perubahan dari ketidakaadilan menuju keadilan. Kenapa demikian? Karena, peran cendekiawan adalah sebagai artikulator dalam membaca pikiran-pikitan perubahan kepada masyarakat.

Cendekiawan yang diharapkan, lagi-lagi, bukan cendekiawan yang hanya berdiam manakala mereka mengartikulasikan wacana kebenaran melalui menara gading. Mereka perlu terjun ke dalam masyarakat akar rumput (grass-roots) agar bisa menangkap pesan secara jernih dan menyatu dengan hati nurani rakyat. Cendekiawan yang elitis sudah tidak bisa diandalkan lagi. Mengikuti pandangan Antonio Gramsci, pemikir politik asal Italia, yang menyatakan bahwa intelektual itu adalah yang organis. Cendekiawan atau intelektual itu harus terjun ke bawah, menyatu dengan dinamika perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Mau tidak mau cendekiawan tidak tinggal diam, mereka harus ikut menyuarakan kebenaran yang disampaikan rakyat pada kekuasaan yang menindasnya.

Antonio Gramsci (dalam Malcolm Waters:1994, 182-185), mengingatkan bahwa perubahan sosial harus dilakukan bukan dengan cara memobilisasi massa (ia berbeda dengan Karl Marx), melainkan dengan menggunakan gerakan intelektual dengan membangun kesadaran kultural masyarakat. Gerakan ini ditujukan dalam rangka melawan kekuatan negara yang hegemonik, yang dalam istilah Gramsci disebut dengan counter hegemoni.

Jika, akhir-akhir ini marak diperbincangkan mengenai cendekiawan yang masuk dalam ring kekuasaan maka ada pertanyaan besar yang mengusik pikiran saya. Mengapa penyuaraan atas hakikat kebenaran itu mesti dilakukan melalui perangkat kekuasaan? Mungkin, banyak alasan terlontar dari beberapa cendekiawan yang mengatakan bahwa langkah masuknya mereka ke dalam ring kekuasaan demi mempraktekkan dalam wilayah yang lebih jelas dan praksis. Padahal, secara historis tatkala cendekiawan masuk ke dalam kekuasaan maka sikap kritis itu akan hilang dalam pikirannya. Ini banyak sekali terjadi.

Saya melihat bahwa masuknya cendekiawan ke dalam ruang kekuasaan bukan demi pencapaian tujuan-tujuan ideal seperti yang mereka kehendaki sejak awal. Jika sudah masuk ke dalam kekuasaan maka hanya kesenangan dan kesejahteraan yang mereka dapati. Kalau sudah begitu, mereka akan diam dan merasa tenang dengan limpahan harta dan jabatan yang telah diperoleh dalam genggamannya. Idealisme mereka sudah hilang, yang ada tinggal pragmatisme.

Maka, alasan bahwa perubahan haluan dari sikap kecendekiawanan menuju kekuasaan demi memperbaiki keadaan secara lebih mantap dan jelas tidak bisa dipertahankan. Alasan itu hanya menjadi kedok keinginan mereka untuk meraih kesenangan hidup melalui jalur-jalur politik dan kekuasaan.Seharusnya, cendekiawan tetap mempertahankan idealisme yang sejak dulu telah dipelihara. Jangan karena demi tujuan-tujuan untuk menggapai kepentingan individu dan kelompok lalu idealisme ditanggalkan. Kekuasaan adalah wilayah pragmatis, yang siapa saja akan dengan mudah tergoda olehnya. Aktivitas politik untuk menyuarakan kebenaran tidak hanya melalui saluran kekuasaan. Ada wilayah lain yang itu akan mengabadikan diri mereka dalam eksistensi sebagai cendekiawan, yaitu wilayah kultural. Banyak tantangan yang akan menimpa perjuangan di jalur kultural ini, karena memang jalur ini hanya mengandalkan idealisme dan konsistensi para cendekiawan dalam memperjuangkan keadilan sosial.

Apakah jalur kultural jauh dari nuansa politik? Menurut Bachtiar Effendy (2000:191), agenda kultural juga merupakan kegiatan politik dalam langgam dan irama yang lain. Peran politik tidak diharuskan dilihat pada orientasi pencapaian kedudukan negara. Meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis dengan mengusung aspek-aspek keadilan, musyawarah, egalitarianisme, dan sebagainya adalah bagian dari gerakan politik juga.

Oleh sebab itu, diharapkan agar cendekiawan kita tidak mudah tergoda oleh politik dan kekuasaan. Masih banyak agenda kultural yang perlu dilakukan oleh cendekiawan kita. Sangat disayangkan apabila cendekiawan berubah haluan menuju kursi kekuasaan. Walaupun tidak merasa sejahtera untuk diri sendiri, tapi dengan jalur kultural idealisme akan tetap dipertahankan dan kesejahteraan masyarakat akan bisa dirasakan secara menyeluruh. Wallahu A’lam.

1 comment:

Anonymous said...

assalamualaikum.
islam adalah agama yg sempurna,agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan.Karena islam mengatur seluruh sendi kehidupan maka,islam jelas mempunyai solusi atas permasalahan yg muncul dalam kehidupan ini.baik itu masalah ibadah/aqidah,makan minum,muamalah(politik,ekonomi,sosial),uqubat(persanksian)
nah dari sini jelas bahwa islam adalah idiologi bukan hanya agama.Saya kira H Misbah mngkin kurang dalam memahami islam sehingga bliau mengambil komunis sebagai asas gerakan,islam jelas jauh dari komunis semisal istana dengan comberan.mungkin perlu untuk di kaji kisah haji yg satu ini tapi tidak untuk di teladani tapi untuk di kritisi dan di luruskan,supaya para pengikut serta pengagumnya sadar akan kekeliruan H Misbah telah mengambil jalan salah tsb(menyamakan islam dg komunis).