Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Wednesday, October 31, 2007

Menggagas “Sosiologi Profetik”: Sebuah Catatan Awal

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Jurnal Pemikiran Islam The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/sosiologi_profetik.htm

Abstrak:

Sosiologi profetik merupakan kajian akademik dalam bidang sosiologi yang mencoba mengangkat ide profetik ke dalam kerja pengamatan atau penelitian sosial. Dengan mempelajari secara kritis realitas kesejarahan para Nabi, sistematisasi gagasan profetika secara ilmiah kemudian dimasukkan dalam kerangka sosiologis. Prinsip yang dijadikan dasar dalam sosiologi ini adalah sifat kajiannya yang tidak bebas nilai (non-free value) dan berdasarkan menurut ilmu sosiologi yang multi-disiplin dan berparadigma ganda (multi-paradigm). Dengan berkaca pada realitas kesejarahan yang digelar para Nabi, maka seorang sosiolog dalam pengertian ini harus aktif melakukan perubahan sosial dan pergerakan sejarah secara positif dan bermakna. Dengan tangan kesadaran aktif manusia, para sosiolog diminta untuk melakukan “aktivisme sejarah” dalam proses kegiatan perubahan menuju masyarakat yang utama dan ideal (khairu ummah). Tiga unsur utama yang diusung dalam proyek ini adalah: liberasi, emansipasi, dan transendensi. Ketiganya menjadi bagian integral proses perjalanan para Nabi dalam membaca realitas sosial yang dihadapinya. Dengan demikian, memudarnya pesona makna hidup di era kekinian bisa dikaji secara kritis lewat sosiologi yang berbasis kenabian.

Kata-kata kunci: profetik, value-free, multi-disiplin, emansipasi, liberasi, transendensi, aktivisme, sejarah, kesadaran, paradigma.

====================

“Kenekadan”, adalah sebuah ungkapan yang akan terlontar dari beberapa orang ketika mendengar istilah “Sosiologi” disandingkan dengan kata “Profetik”. Adalah sebuah “omong kosong” manakala sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang ilmiah, obyektif, dan rasional diletakkan “bermesraan” dengan sebuah term yang memang masih bersifat teologis-keagamaan –begitulah tanggapan dari beberapa orang bila mendengar istilah “baru” ini. Sebenarnya, tulisan ini merupakan sambungan dari wacana yang sedang berkembang dalam sebuah milis (www.groups.yahoo.com/group/sosiologi_profetik), yang telah beberapa bulan ini penulis gagas. Tapi, pencetus awal ide seperti ini adalah Pak Kuntowijoyo, sejarawan dan budayawan dari Yogya, lewat gagasan “Ilmu Sosial Profetik” (ISP) yang pernah mencuat dan dilontarkannya pada tahun 1997-an.

Berangkat dari gagasan awal Pak Kunto itulah penulis mencoba menariknya secara lebih spesifik pada bidang sosiologi. Pak Kunto sendiri baru melontarkan gagasan ISP-nya melalui sebuah artikel beruntun dalam Harian Republika pada tanggal 7-9 Agustus 1997, dengan judul “Menuju Ilmu Sosial Profetik”. Tapi, embrio dari wacana ISP yang digagas Pak Kunto ini sebenarnya pernah mencuat lama sekali dalam buku magnum opus-nya, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991). Yang menarik dalam gagasan Pak Kunto adalah beliau memandang bahwa sesungguhnya substansi ajaran universal agama (profetika --sebagai adjective dari agama) bisa menjadi ilmiah dan dipakai sebagai pisau analisa dan paradigma keilmuan apabila memulainya melalui proses “obyektivikasi” berserta ilmu-ilmu modern lainnya. Dalam profetika terjadi --katakalah-- “melampaui teologi” (beyond theological) dan bernuansa transformatif dalam ranah keilmuan yang obyektif, tidak lagi bernuansa normatif, melulu persoalan teologis. Penamaan dengan “ilmu sosial” akan lebih efektif dibandingkan dengan “teologi sosial”. Makanya, Pak Kunto tidak sepakat dengan penamaan “Teologi Islam Transformatif”. Ia berbeda pendapat dengan Dawam Rahardjo dan Moeslim Abdurrahman.

Apa sih yang digagas Pak Kunto melalui ISP-nya? Beliau memandang bahwa paradigma yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial selama ini tidak efektif karena tidak ada muatan transformatif keilmuannya. Sebuah ilmu (sosial) hanya bersikap diam dan observatif ketika diperhadapkan dengan realitas obyek penelitiannya. Prinsip-prinsip yang dibangun dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik berangkat dari penterjemahan secara ilmiah terhadap bunyi sebuah teks ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imron, 3 : 110). Ada beberapa term filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu “masyarakat utama” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat linnas), “liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan “transendensi” (al-iman billah). Adalah “keberanian” Pak Kunto yang telah mampu menterjemahkan proposisi pada makna teks ayat disesuaikan dengan konteks keilmiahan.

Konsep-konsep ISP Pak Kunto ini akan kita bahas secara mendalam pada gagasan mengenai sosiologi profetik lanjutan. Perlu dicatat, tujuan ISP adalah ingin membangun sebuah komunitas atau masyarakat yang ideal atau utama (khairu ummah) --mirip dengan “Negara Utama”-nya Al-Farabi (al-Madinah al-Fadhilah). Untuk mencapai tujuan itu diperlukan kerja aktif tangan-tangan manusia, atau istilahnya perlu “kesadaran aktif sejarah” umat manusia. Manusia telah diberikan kekuatan dan kemauan untuk melangkah ke arah yang lebih baik dengan kesadaran individual dan kolektifnya dalam membentuk sebuah komunitas ideal. Manusia diturunkan ke muka bumi (ukhrijat linnas) adalah demi keterlibatan aktif mereka untuk melakukan perubahan sosial dan membentuk peradaban yang menjadi miliknya.

Berangkat dari pemikiran siapakah pemikiran Pak Kunto dalam ISP ini? Beliau mengklaim bahwa asal-usul pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy. Yang ingin diambil oleh beliau dari kedua pemikir itu adalah sisi “realitas kenabian” (prophetic reality) yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat manusia. Muhammad Iqbal, dengan mengutip ucapan Abdul Quddus, seorang sufi besar Islam dari Ganggoh, mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan “kesadaran kreatif” (creative consciousness) dalam menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sejarah. Berbeda dengan kalangan sufi umumnya yang lebih mengandung dimensi mistis, sedang kemunculan Nabi di muka bumi telah memasukkan unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar kehidupan duniawi. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia.[1] Roger Geraudy menyatakan bawah di tengah hancurnya peradaban umat manusia di mana filsafat Barat memiliki banyak kelemahan maka kita sebaiknya menghidupkan kembali warisan Islam yang telah ada. Yang diambil adalah “filsafat kenabian” (filsafat profetika) dari Islam. Kenapa? Karena, yang menjadi pertanyaan sentral dalam filsafat Islam adalah: bagaimana wahyu (kenabian) itu mungkin? Yaitu, bagaimana keterlibatan aktif sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu itu telah mampu mengubah sejarah masyarakat menjadi positif. Geraudy mengklaim bahwa bangunan filsafat itu telah dilakukan oleh para filosof Muslim sejak dari Al-Farabi sampai dengan Mulla Shadra, dengan puncaknya pada Ibn ‘Arabi.[2]

Gagasan ISP Kuntowijoyo tersebut terlihat berangkat dari “ide”, yaitu bagaimana ada sisi memungkinkan bagi pemikiran tentang kenabian itu bisa digunakan dalam melihat realitas. Tentu saja, hal ini meniadakan prinsip ilmu sosial yang bebas nilai. Ilmu sosial, dengan paradigma profetis, harus melakukan pembebasan seperti apa yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Jika kita perhatikan, sejarah Nabi-nabi itu memiliki kadar kedalamaan ilmiah yang tinggi, yaitu bagaimana cara kerja pikir dan sikap mereka dalam memahami realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan sosial” (liberating) di mana ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat. Mereka tetap berangkat dari substansi ajaran agama (transedensi) yang itu harus “diaktivasi” dalam realitas kesejarahan manusia. Ada tiga unsur yang menjadi bagian dari kerangka kerja ilmiah dalam memahami realitas, yaitu liberasi, emansipasi, dan transendensi. Ketiga unsur itu harus digerakkan dalam aktivisme sejarah. Tapi, gagasan mengenai sosiologi profetik yang akan dikaji dalam tulisan ini baru beranjak dari upaya mengembangkan ilmu sosiologi yang multi-disiplin, tidak menafikan adanya kepentingan “nilai” (prophetic as a value), dan berkewajiban untuk melakukan pembebasan dan perubahan sosial. Gagasan sosiologi profetik tidak cukup hanya dengan kontribusi tulisan ini saja, perlu perluasan wacana di masa mendatang.

Paradigma-paradigma Sosiologi

Secara sederhana paradigma kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.

Dalam bidang sosiologi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980). Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah dalam struktur dan makna teori itu.[3] Sehingga, pada ketiga paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.

Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.[4]

Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).[5]

Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.[6] Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.

Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal.[7] Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.[8] Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead.

Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.

Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen.[9] Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.[10]

Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik.[11] Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.

Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.

Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas[12] dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.

Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.

Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.

Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik, penulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.

Menggugurkan Prinsip “Bebas-Nilai”

Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.[13] Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).

Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.[14]

Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah.[15] Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.

Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan[16]: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.

Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan.[17] Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.

Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat.[18] Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya.[19] Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti.[20] Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.

Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang dilihat menurut kaca mata sosiologi. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi, yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi harus bersifat bebas-nilai. Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada nilai.[21] Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian, Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah.[22] Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif. Seorang sosiolog dengan berbagai macam praduga dan subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.

Apakah dengan pernyataan Weber yang mengambil kesimpulan bahwa sosiologi itu harus bebas nilai menafikan adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah diceraikan.[23] Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri.[24] Maksud dari teori sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang dihasilkan dari modernitas --salah satu sisi historis peradaban pada Abda Pencerahan-- itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan Tuhan (agama) sebagai pemandu.

Menuju “Sosiologi Profetik”

Keilmuan sosiologi sampai hari ini masih didominasi oleh pendekatan fungsionalisme. Sejak Perang Dunia (PD) II, di mana Amerika muncul sebagai pemenang, maka “sistem Amerika” yang menggunakan pendekatan fungsionalisme menjadi dominan. Pendekatan ini dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial yang akademis, obyektif, dan empiris. Fungsionalisme sangat menekankan sistem, keseimbangan, adaptasi, maintance, dan latency. Talcott Parson, pendiri aliran ini, yakin bahwa metodologi yang paling memadai adalah metodologi “fungsionalisme struktural”. Menurutnya gagasan mengenai “fungsi” berguna agar kita terus dapat mengamati apa yang disumbangkan oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis.[25] Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Sistem ini dipakai oleh kaum borjuis yang merupakan status quo, karena tidak mau menerima perubahan melalui jalan konflik atau pertentangan. Menurut Ritzer, Kalau terjadi konflik, maka penganut teori ini memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.[26] Sehingga perubahan yang terjadi dalam masyarakat berjalan secara evolusionis, perlahan-lahan.

Paradigma fungsionalisme kemudian dikritik oleh banyak kalangan. Salah satunya datang dari gerakan intelektual The New Left, yang banyak dipengaruhi oleh Critical Theory Madhab Frankfurt. Menurut kelompok ini, sosiologi akademis yang telah terjerat oleh pendekatan fungsionalis hanya mengerjakan tugas yang rutin saja. Apa yang dilakukan selama ini hanya menjadikan sosiologi menjadi sebuah ilmu yang abstrak dan murni, tapi punya pengaruh untuk melakukan perubahan di masyarakat.

Michael Root dalam Philoshopy of Social Science (1993)[27], membedakan dua jenis ilmu sosial, yaitu yang liberal dan yang perpeksionis. Ilmu sosial yang liberal mengusung cita-cita untuk memperoleh data yang bebas dari muatan nilai, moral, dan kebajikan obyek penelitiannya. Sedangkan ilmu sosial yang perpeksionis berusaha menjadi wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, ilmu yang partisan. Pembedaan dua jenis ilmu sosial itu mirip dengan pembagian antara ilmu yang teoritis dan yang praktis.

Salah satu model dari ilmu sosial yang partisan ini adalah sosiologi yang humanistik. Pondasi sosiologi yang humanistik dibangun berlandaskan “refleksi diri” (self reflection) dan “daya aktivitas” (activism). Pondasi sosiologi yang humanistik adalah sosiologi yang refleksif. Alvin W. Gouldner adalah sosiologi yang menggagas Reflextive Sociology dalam bukunya, The Coming Crisis of Wertern Sociology (1970). Ia menyatakan bahwa sosiologi refleksif sangat konsern dengan apa yang ingin dilakukan oleh sosiolog, yang secara faktual dilakukan di dunia (what sociologis want to do and with what, in fact, they actually do in the world). Sosiologi refleksif adalah pengkajian diri secara kritis melalui proses empati sehingga nilai-nilai ideologis serta pelaksanaan real akan selaras dengan kebudayaan di mana dia hidup. Maka, seorang sosiolog harus menyadari bias-bias pribadinya dan kulturalnya sehingga lebih dapat menyadari tujuan sosiologi yang bebas.[28]

Robert Friedrichs (1970) mengembangkan ide-ide Thomas Khun ke dalam sosiologi secara sistematis, dengan mempresentasikan dua image berbeda dari status paradigma dalam sosiologi, yang sama-sama menyatakan sebagai ilmu yang berparadigma lebih dari satu (a multiple paradigm science). Image pertama adalah image sosiolog tentang diri mereka sebagai agen keilmuan (self-image of the sociologist), yang meliputi dua paradigma, yaitu : paradigma yang bersifat seperti Nabi (prophetic paradigm) dan paradigma yang bersifat seperti pendeta (priestly paradigm). Yang pertama sosiolog itu sebagai agen perubahan sosial, sedangkan yang kedua memandang sosiolog sebagai ilmuan bebas nilai. Image kedua berlandaskan pada image dari pokok persoalan (subject matter), yang membedakan antara paradigma sistem dan paradigma konflik. Yang pertama menekankan keseimbangan dan intergrasi sosial, sedangkan yang kedua menekankan pada disintegrasi dan adanya paksaan.[29]
Sosiologi profetik melandaskan dirinya pada prinsip untuk melakukan perubahan sosial yang berangkat nilai profetika dengan kerangka pemikiran sosiologi yang multi paradigmatik. Jadi, bisa dikatakan bahwa sosiologi profetik itu hampir mirip dengan sosiologi humanis ataupun sosiologi kritis yang merefleksikan secara kritis terhadap masyarakat dengan ragam bentuk struktur dan kultur sosialnya. Dengan tetap berpijak pada realitas yang otonom maka seorang peneliti harus mengkritisi apa yang merupakan bagian dari stuktur realitas tersebut. Maka, penelitian yang harus dikembangkan dalam sosiologi profetik adalah model penelitian partisipatif, yang masuk secara langsung melebur bersama dengan obyek kajian. Ya, seperti halnya para Nabi yang masuk secara langsung ke dalam masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Ketika data diperoleh maka analisis yang dilakukan perlu melibatkan pendekatan pemahaman (intepretatif) untuk membaca realitas secara obyektif dan kritis, baik dari hermeneutika, verstehen, maupun kajian secara fenomenologis.

Di tengah pesona modernitas yang mengalami nihilisme makna kehidupan, sudah saatnya sosiologi profetik mengembangkan kerangka kerja ilmiah untuk melanjutkan usaha-usaha yang dilakukan para Nabi. Sosiologi profetik hanyalah salah satu model sosiologi alternatif, yang tidak mengenal kata akhir proses pencarian dalam upaya memahami masyarakat dengan baik. Seperti kata Pak Kunto, hanya dengan keberanian akademik kita maju melangkah ke depan. Yang akan kita usung adalah “kesadaran aktif sejarah” untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah yang adil dan manusiawi, dengan berangkat dari tiga unsur pembentuk kesadaran, yaitu emansipasi, liberasi, dan transedensi. Tugas yang sangat berat adalah bagaimana mengembangkan kemampuan daya pikir ilmiah dan kritis dalam memahami realitas yang dihubungkan dengan spirit keagamaan dan kenabian. Dan itu menjadi agenda penting dalam gagasan ini selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

[1]Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Goenawan Muhammad dkk, (Tintamas: Djakarta, 1966), hal. 123.
[2]Roger Geraudy, Janji-janji Islam, terj. HM. Rasyidi, (Bulan Bintang: Jakarta, 1984), cet. II, hal. 109-34.
[3]Lihat Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2002), Edisi Revisi, hal. 20.
[4]Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1986), Jilid 1, hal. 171-2.
[5]George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Alimandan, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hal. 15-42.
[6]Lihat Ibid, hal. 24-35. Saya kira kurang tepat jika Ritzer menempatkan Teori Konflik ke dalam Paradigma Fakta Sosial yang disandingkan dengan Fungsionalisme Struktural, karena Karl Marx, sebagai salah satu penggagas teori ini lebih menekankan pada paradigma “aksi sosial-kritis”. Dan pada buku itu, Ritzer tidak membahas tentang pemikiran Karl Marx secara utuh tersendiri --kecuali dalam buku teori sosiologinya--, dan juga tidak ditaruh pada paradigma yang mana sehingga terkesan kurang jelas.
[7]Ibid, hal. 44.
[8]Apa yang dilakukan melalui kerangka verstehen ini? Yaitu melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subyektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya (put one's self imaginatively in the place of the actor and thus sympathetically to participate in his experience). Tapi, yang diminta adalah “empati”, yaitu kemampuan untuk menempati diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Lihat Max Weber, Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Free Press, 1963), hal. 90.
[9]Ibid, hal. 151-2.
[10]Ibid, hal. 157-9.
[11]Ilyas Ba-Yunus, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj. Hamid Basyaib, (Jakarta: Mizan, 1988), hal. 20-27.
[12]Dikutip oleh Mansour Faqih, op. cit., hal. 23-29.
[13]Joseph MMT Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.
[14]Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1988), cet.II, hal.24-25.
[15]Ilyas Ba-Ynus, op.cit, hal. 37.
[16]F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 8-10.
[17]Ibid, hal. 11-14.
[18]Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. A. Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisiphus, 1999), hal. 23-24.
[19]Lihat Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001) hlm. 137-144.
[20]Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Seabury Press, 1975), hal. 15.
[21]Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tindakan rasional (menurut Weber) menurut pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalitas tindakan ini ke dalam empat macam, yaitu: rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Rasionalitas instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yangs sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau nilai akhir baginya. Lihat Paul Johnson, op.cit., hal. 220-1.
[22]Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 11.
[23]Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 370.
[24]Max Weber, From Max Weber, peny. H.H. Gerth dan C.W. Mills, (London: Routledge, 1948), hal. 155.
[25]HA. Cubbin, “Talcott Parsons”, dalam Peter Beilharz, op.cit., hal. 294-5.
[26]George Ritzer, op.cit, hal. 25.
[27]Dikutip oleh Pak Kunto dalam tulisannya mengenai ISP.
[28]Lihat Julia Sugandi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis Menuju Praksis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS, 2002), hal. 43-46.
[29]George Ritzer, Modern Sociological Theory, (USA: McGraw-Hill Companies Inc., 1996). Hal 500-1.

Thursday, October 25, 2007

Cendekiawan, Antara Idealisme dan Kekuasaan

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam www.kommpak.com

Agenda reformasi belum mencapai hasil yang memuaskan. Boleh dikata, cita gerakan reformasi mengalami proses kemunduran. Pemerintah kita tidak mau serius dalam upaya melakukan pembaharuan kondisi negara dan pemerintahan ini. Demikian halnya dengan gerakan civil society yang terasa sepi karena semua terfokus pada bagaimana meraih kekuasaan. Yang dulu pernah keras dan kritis dalam menyikapi kondisi pemerintahan, kini justru ikut-ikutan dalam meraih kekuasaan. Dengan mudahnya kekuasaan diraih, yang penting adalah bagaimana popularitas dan kekuatan berbasis rakyat yang selama ini telah dimilkinya mampu menjual dirinya untuk menggapai kekuasaan yang ada.

Cendekiawan pun tidak mau ketinggalan dalam arus pop zaman ini. Mereka berani menaruh idealismenya ke dalam laci buku dan pengetahuan demi mengukuhkan keinginan besarnya untuk menjadi sang penguasa. Ada sebuah ironi manakala mereka dengan mudah tergiur oleh iming-iming kekuasaan. Ironis, karena mereka seharusnya jauh dari kekuasaan. Mereka tidak lagi kritis dalam menyikapi kebijakan negara dan pemerintahan. Padahal, kita sangat butuh kehadiran cendekiawan yang secara konsisten menyuarakan kebenaran untuk memihak pada keadilan rakyat dan kepentingannya.

Wacana cendekiawan dan peranannya dalam masyarakat Indonesia seecara historis struktural masih dikuasai oleh kelompok kelas menengah (Hikam:1999, 2). Kiprah cendekiawan Indonesia muncul dan diprakarsai oleh kelompok terdidik yang berpusat di kota-kota. Gerakan-gerakan awal cendekiawan Indonesia didominasi oleh mereka yang memiliki class origin dari elit pribumi baru (the new indigenous elite) yang mendapat kesempatan pendidikan moder (Barat). Akhirnya, peran cendekiawan memiliki pengaruh dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan politik pada sebuah masa kekuasaan. Pada masa Orde Baru, cendekiawan banyak mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah pada saat itu. Terlebih pada masa sekarang ini. Yang jelas, peran cendekiawan sangat dibutuhkan oleh sebuah kekuatan negara yang sedang berkuasa.

Cendekiawan tidak berdiri sendiri akhirnya. Mereka sangat terkait dengan kondisi sosial yang melingkupinya. Sehingga, cendekiawan itu tidak hanya diam di balik tumpukan buku dan keilmuan, tapi mereka pun punya keterlibatan praksis. Di sini lalu ada dua kecenderungan. Pertama, cendekiawan yang lebih pro-status quo. Mereka adalah cendekiawan yang telah jauh dari cita-cita keilmuannya, karena tidak lagi berupaya untuk menggerakkan potensi yang dimilikinya untuk mengkritik kekuasaan yang telah mapan. Padahal, kekuasaan negara itu tidak selamanya benar sehingga patut untuk selalu dikritik. Kadang, dengan atas nama kebenaran kekuasaan negara itu menindas rakyat, yang tanpa disadari oleh rakyat sendiri. Hanya kaum cendekiawanlah yang mempunyai kepekaan kritis dalam menyikapi pengaruh negara.

Cendekiawan yang pro-kemapanan hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Sumbangan pemikiran yang dihasilkannya sudah tidak murni lagi. Segalanya diproyeksikan untuk mengawal negara sehingga negara dan pemerintah mempunyai benteng untuk melancarkan kekuatannya. Kecenderungan yang kedua adalah cendekiawan yang pro-perubahan. Ini yang semestinya dilakukan oleh setiap cendekiawan. Tidak ada kata berhenti dalam mengkritik negara dan pemerintahan. Sumbangan cendekiawan sangat besar dalam proses perubahan dari ketidakaadilan menuju keadilan. Kenapa demikian? Karena, peran cendekiawan adalah sebagai artikulator dalam membaca pikiran-pikitan perubahan kepada masyarakat.

Cendekiawan yang diharapkan, lagi-lagi, bukan cendekiawan yang hanya berdiam manakala mereka mengartikulasikan wacana kebenaran melalui menara gading. Mereka perlu terjun ke dalam masyarakat akar rumput (grass-roots) agar bisa menangkap pesan secara jernih dan menyatu dengan hati nurani rakyat. Cendekiawan yang elitis sudah tidak bisa diandalkan lagi. Mengikuti pandangan Antonio Gramsci, pemikir politik asal Italia, yang menyatakan bahwa intelektual itu adalah yang organis. Cendekiawan atau intelektual itu harus terjun ke bawah, menyatu dengan dinamika perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Mau tidak mau cendekiawan tidak tinggal diam, mereka harus ikut menyuarakan kebenaran yang disampaikan rakyat pada kekuasaan yang menindasnya.

Antonio Gramsci (dalam Malcolm Waters:1994, 182-185), mengingatkan bahwa perubahan sosial harus dilakukan bukan dengan cara memobilisasi massa (ia berbeda dengan Karl Marx), melainkan dengan menggunakan gerakan intelektual dengan membangun kesadaran kultural masyarakat. Gerakan ini ditujukan dalam rangka melawan kekuatan negara yang hegemonik, yang dalam istilah Gramsci disebut dengan counter hegemoni.

Jika, akhir-akhir ini marak diperbincangkan mengenai cendekiawan yang masuk dalam ring kekuasaan maka ada pertanyaan besar yang mengusik pikiran saya. Mengapa penyuaraan atas hakikat kebenaran itu mesti dilakukan melalui perangkat kekuasaan? Mungkin, banyak alasan terlontar dari beberapa cendekiawan yang mengatakan bahwa langkah masuknya mereka ke dalam ring kekuasaan demi mempraktekkan dalam wilayah yang lebih jelas dan praksis. Padahal, secara historis tatkala cendekiawan masuk ke dalam kekuasaan maka sikap kritis itu akan hilang dalam pikirannya. Ini banyak sekali terjadi.

Saya melihat bahwa masuknya cendekiawan ke dalam ruang kekuasaan bukan demi pencapaian tujuan-tujuan ideal seperti yang mereka kehendaki sejak awal. Jika sudah masuk ke dalam kekuasaan maka hanya kesenangan dan kesejahteraan yang mereka dapati. Kalau sudah begitu, mereka akan diam dan merasa tenang dengan limpahan harta dan jabatan yang telah diperoleh dalam genggamannya. Idealisme mereka sudah hilang, yang ada tinggal pragmatisme.

Maka, alasan bahwa perubahan haluan dari sikap kecendekiawanan menuju kekuasaan demi memperbaiki keadaan secara lebih mantap dan jelas tidak bisa dipertahankan. Alasan itu hanya menjadi kedok keinginan mereka untuk meraih kesenangan hidup melalui jalur-jalur politik dan kekuasaan.Seharusnya, cendekiawan tetap mempertahankan idealisme yang sejak dulu telah dipelihara. Jangan karena demi tujuan-tujuan untuk menggapai kepentingan individu dan kelompok lalu idealisme ditanggalkan. Kekuasaan adalah wilayah pragmatis, yang siapa saja akan dengan mudah tergoda olehnya. Aktivitas politik untuk menyuarakan kebenaran tidak hanya melalui saluran kekuasaan. Ada wilayah lain yang itu akan mengabadikan diri mereka dalam eksistensi sebagai cendekiawan, yaitu wilayah kultural. Banyak tantangan yang akan menimpa perjuangan di jalur kultural ini, karena memang jalur ini hanya mengandalkan idealisme dan konsistensi para cendekiawan dalam memperjuangkan keadilan sosial.

Apakah jalur kultural jauh dari nuansa politik? Menurut Bachtiar Effendy (2000:191), agenda kultural juga merupakan kegiatan politik dalam langgam dan irama yang lain. Peran politik tidak diharuskan dilihat pada orientasi pencapaian kedudukan negara. Meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis dengan mengusung aspek-aspek keadilan, musyawarah, egalitarianisme, dan sebagainya adalah bagian dari gerakan politik juga.

Oleh sebab itu, diharapkan agar cendekiawan kita tidak mudah tergoda oleh politik dan kekuasaan. Masih banyak agenda kultural yang perlu dilakukan oleh cendekiawan kita. Sangat disayangkan apabila cendekiawan berubah haluan menuju kursi kekuasaan. Walaupun tidak merasa sejahtera untuk diri sendiri, tapi dengan jalur kultural idealisme akan tetap dipertahankan dan kesejahteraan masyarakat akan bisa dirasakan secara menyeluruh. Wallahu A’lam.

Komunisme Islam H. Misbach

Oleh Happy Susanto [1]

Dimuat dalam Jurnal Perburuhan Sedane, November 2005.

Islam adalah agama yang dihadirkan ke muka bumi untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan keadilan. Lahirnya Islam sangat terkait dengan konteks historis (kesejarahan) umat manusia pada saat Nabi Muhammad masih hidup. Ajaran Islam harus berpijak pada bumi praksis karena agama ini hadir untuk menyikapi segala problem sosial yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Seorang Muslim yang sejati adalah dia yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dan menjalankan seluruh ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan yang nyata. Kata dan perbuatan adalah dua hal yang sangat ditekankan dalam Islam.

Di antara sekian banyak pemikir dan pejuang kemanusiaan, salah satunya terdapat nama H. Misbach, seorang kiai komunis yang sejarah hidup perjuangan dan pemikirannya menarik untuk dikaji. Ia dinilai unik karena sangat jarang tokoh yang mempunyai prinsip keyakinan yang kuat seperti dirinya. Biasanya, tokoh yang mengaku pembela hak-hak orang tertindas yang berangkat dari nilai agama lebih bersikap apriori, yaitu memandang bahwa Islam telah mengajarkan sosialisme jauh sebelum ajaran Marxisme itu ada. Lalu di sini mulai dipertentangkan antara agama dan Komunisme, termasuk Islam dan Komunsime. Apakah keduanya memang bertentangan? H. Misbach tidak memandang perbedaan semacam itu. Bagi dia, yang penting adalah bagaimana memanfaatkan “pisau analisa” (tools of analysis) dari Islam dan Marxis untuk membaca realitas sosial dan melakukan perjuangan sosial dengan menghalau segala kekuatan dominatif para kapitalis dan kolonial dalam menjajah negara Indonesia.

Perjalanan H. Misbach dalam menggerakkan agenda perjuangan kemanusiaan dan keadilan adalah dengan melalui wacana dan aksi “Islam Bergerak”. Simbol pemikiran ini telah melekat dalam jati dirinya. Konsep perjuangan yang tengah dilakukan oleh H. Misbach adalah bagaimana mensintesiskan antara ajaran Islam dan ajaran komunisme. Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan ajaran Komunisme yang disampaikan oleh Karl Marx sama-sama ingin membawa masyarakat pada cita-cita kemanusiaan dan keadilan. Sehingga, keduanya tidak perlu dipertentangkan, bahkan dinilainya saling memperkuat.

H. Misbach sangat kagum dengan kepribadian Muhammad dan Karl Marx. Keduanya di mata Misbach adalah sumber inspirasi pergerakan dalam meneguhkan pondasi kemanusiaan di bumi Indonesia. H. Misbach sangat dikenal dengan julukan “Muslim Komunis” atau “Islam Komunis” karena pemikirannya dalam mengkaji Islam dinilai sangat moderat, radikal, dan berhaluan komunis. Ia adalah pejuang komunis yang ada dalam barisan Islam.

Awal mula pergerakan H. Misbach dapat dilacak menurut kejadian historis pra-kemerdekaan negara Indonesia. Keadaan buruk pada tahun 1917-1918 menimbulkan gesekan yang sangat besar. Kenyataan ini tidak bisa disangkal oleh siapapun sehingga menuntut bagi setiap pemikir social-politik Indonesia untuk memberikan tanggapan pemikiran dan konsep yang jitu untuk memecahkan persoalan tehadap kondisi yang rumit pada saat itu. Salah satunya adalah sebuah kelompok yang mencoba mengajukan konsep Marxis untuk memahami realitas sosial yang tengah terjadi. Tokoh utama dari kelompok ini adalah Hendicus Franciscus Marei Sneevliet, ketua ISDV (sebuah gerakan sosial kiri Belanda).

Siapakah Sneevliet itu? Ia lahir pada tahun 1883 di Roterdam. Selepas menamatkan H.B.S ia kemudian aktif dalam sebuah gerakan buruh kereta api. Pada tahun 1913 ia datang ke Indonesia sebagai sekretaris sebuah perkumpulan dagang Belanda. Dan pada tahun 1914 di Semarang ia mulai mengorganisir ISDV. Sneevliet bersama kaum ISDV-nya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda yang berasal dari kalangan Sarekat Islam (SI). Misalnya, dari SI Semarang tedapat nama Semaoen, Darsono, dan lain-lain. Dari Jakarta ada Alimin dan Muso. Dan dari Solo muncul seorang tokoh bernama H. Misbach yang kini sedang kita kaji. Dari Sneevliet mereka belajar bagaimana menggunakan analisa Marxistis untuk memahami realitas sosial yang tengah dialami masyarakat Indonesia. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa kesengsaraan rakyat Indonesia disebabkan karena struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis.[2]

H. Misbach hanyalah seorang mubaligh lulusan pesantren. Posisinya sangat unik, walaupun ia tidak setenar teman-teman sejawatnya, seperti Semaun, Tan Malaka, atau tokoh-tokoh kiri Indonesia lainnya. Lelaki ini lahir di Kauman, Surakarta. H. Misbach lahir pada tahun 1876 dan dibesarkan di lingkungan keluarga pedagang batik yang makmur. Masa kecilnya ia dipanggil Ahmad. Saat menikah berganti nama menjadi Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach. Pada usia sekolah, H. Misbach telah mengisi wawasan pengetahuannya dengan pelajaran-pelajaran keagamaan dari pesantren. Itu karena ia memang berada dalam lingkungan yang religius. Selain belajar di pesantren, Misbach pernah belajar di sekolah bumiputera "Ongko Loro" selama delapan bulan. H. Misbach kemudian mengikuti jejak ayahnya yaitu menjadi pedagang batik di daerah Kauman. Pada saat SI Surakarta berdiri di tahun 1921, H. Misbach mulai aktif di dalamnya. Tapi, mulai benar-benar aktif ketika SI membentuk Indlandsche Journalisten Bond (IJB). Sepak terjang pergulatan pemikiran H. Misbach sangat terkait dengan konteks historis perkembangan Islam di Surakarta.

Kelompok Islam di Surakarta mengalami perpecahan. Perpecahan ini bermula dari sebuah artikel yang ditulis oleh Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI yang dimuat dalam Djawi Hiswara. Tulisan itu dinilai beberapa tokoh Islam Surakarta sebagai bentuk “pelecehan” terhadap Islam. HOS. Cokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono itu yang muncul di Oetoesan Hindia. Karena adanya “provokasi” balik yang dilakukan Cokroaminoto, kaum muda Islam Surakarta bangkit melakukan berbagai aksi perlawanan. Akhirnya, Cokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), sebagai kendaraan untuk melakukan perjuangan itu. H. Misbach muncul sebagai seorang mubaligh yang sangat vokal sehingga mulai saat itu namanya mencuat ke atas. H. Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM.[3] Pada saat itu, ia menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin.

Pada awal perjuangannya, H. Misbach memang dekat dengan pemikiran Cokroaminoto yang sama-sama mengusung tema sosialisme Islam. Ia sangat berhutang budi atas usaha Cokroaminoto yang telah mengangkat namanya ke permukaan di antara sederet tokoh Muslim Surakarta. Tapi dalam perkembangan pemikiran berikutnya, H. Misbach menjadi lebih radikal dalam menggerakkan Islam sebagai agama keadilan dan kemanusiaan. Lembaga perkumpulan tabligh yang reformis bernama Sidiq, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) yang bediri bersamaan dengan berdirinya TKNM kemudian menjadi kendaraan perjuangan H. Misbach untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Dari sini sebenarnya H. Misbach sudah “berseberangan” dengan Cokroaminoto, seperti halnya dalam kasus perpecahan SI.

Artikel pertama H. Misbach yang ditulis dalam Medan Moeslimin berjudul “Seroean Kita” menjadi sebuah tulisan yang memikat banyak orang karena ditulis dengan gaya penyampaian yang sangat khas. Dinilai khas karena bernada provokatif dan berfungsi menggerakkan massa yang menjadi harapan perjuangan pergerakannya. Sikap-sikap H. Misbach yang tercermin dalam tulisannya itu kemudian dikuti oleh kelompok SATV. Anak-anak muda yang tergabung dalam SATV mengkritik keras ulah elit pemimpin TKNM yang dinilai melakukan korupsi dan penindasan terhadap umat Islam. H. Misbach mengembangkan ideologi gerakan SATV dengan jalan "menggerakkan Islam", yaitu dengan menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.

Pergulatannya dengan SI dan PKI

Dalam catatan sejarah, H. Misbach terlibat dalam pergulatan intens dengan SI dan PKI. Perpecahan di dalam tubuh SI menyebabkan H. Misbach menentukan sikap di kubu mana ia akan berjuang. SI mengalami perpecahan dengan tampilnya kelompok Semaun dan Darsono yang memperluas jaringan SI Semarang menjadi sebuah kelompok merah radikal. Mereka berdua beserta kaum Komunis lainnya melakukan upaya “pemberontakan” terhadap SI yang dinilai telah keluar dari jalur perjuangan. Kelompok SI yang berhaluan putih, yaitu mereka yang menolak doktrin komunisme dan lebih bersikukuh pada kosep sosialisme Islam, seperti Agus Salim dan Cokroaminoto, melakukan perlawanan dengan memperkuat jaringan SI menjadi Centrale Sarekat Islam (CSI).

Mereka berdua mencoba melepaskan diri dari dominasi kelompok Islam (SI Putih). Kongres SI Oktober 1921 di Surabaya mengambil disiplin partai agar anggota-anggota PKI dikeluarkan dari SI. Kelompok Semaun (SI Semarang) adalah bagian dari korban kebijakan itu. Akhirnya, Semaun dan kawan-kawannya keluar dari CSI. Pada tanggal 24-25 Desember 1921, SI Semarang mengadakan kongres untuk merespon kebijakan baru SI Pusat. Kongres ini dipimpin oleh Tan Malaka sendiri karena Semaun (Ketua) dan Darsono (Wakil) telah berangkat ke luar negeri pada Oktober 1921 untuk melakukan kontak hubungan erat dengan Koskow. Kongres itu akhirnya mengambil keputusan untuk menyusung cabang-cabang SI yang keluar dari CSI itu dalam sebuah centrale SI “merah” guna menentang CSI “putih” pimpinan Cokroaminoto.[4]

Ketika Semaun balik ke Indonesia pada 24 Mei 1922, ia mencoba menyusup ke dalam SI agar tetap bisa menbawa pengaruh komunis dalam SI. Tapi, Semaun mengalami kesulitan karena Kongres SI Februari 1923 tetap mengambil keputusan disiplin organisasi. Sikap ini ditanggapi oleh kaum Komunis dengan mengadakan kongresnya di Bandung pada 4 Maret 1923. Kongres ini dihadiri oleh 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah, dan perkumpulan sehaluan komunis. Ada banyak kritikan yang muncul terlontar dari peserta kongres ini terhadap kebijakan SI Pusat (CSI) tersebut. Semaun menganggap bahwa SI sudah dibentuk untuk menjunjung kepentingan kaum pemodal dan SI memboroskan uang yang diterimanya dari rakyat. Darsono, dalam forum itu, menegaskan bahwa kaum komunis tidak akan melakukan pertumpahan darah, tapi akan bekerja dengan jujur. Sedangkan H. Misbach menunjukkan ayat-ayat al-Qur’an hal-hal yang berkesesuaian antara Islam dan Komunisme. Misalnya, Islam dan Komunisme sama-sama memandang perjuangan sosial demi menegakkan keadilan masyarakat sebagai sebuah kewajiban, sama-sama menghormati HAM, dan bahwa keduanya berjuang terhadap berbagai bentuk penindasan. Seorang Muslim yang sejati sangatlah mustahil menolak dasar-dasar komunis. Adalah dosa besar apabila memakai agama Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri (ini ditujukan bagi pemimpin-pemimpin SI). Dalam forum ini pula, H. Misbach mempopulerkan istilah “sama rasa sama rata” sebagai doktrin kaum komunis karena komunisme tidak membiarkan adanya perbedaan-perbedaan nasib, komunisme ingin melenyapkan kelas-kelas manusia, dan itu juga dilakukan oleh Islam.[5]

Akibat kerasnya suara yang disampaikan kaum komunis itu, beberapa tokoh PKI mengalami nasib yang menyusahkan. Misalnya, Semaun dikeluarkan dari Indonesia pada Agustus 1923 karena kasus pemogokan pegawai kereta api (Mei 1923). Ditinggalkannya PKI oleh Semaun, sebagai pelanjut gerakan ini, Darsono berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan kekuatan kaum komunis. Ia berpikir terlebih dahulu tentang bagaimana upaya memperbesar jumlah rakyat umum komunis serta memperkokoh barisannya sebelum memikirkan hal-hal lain. Di seberang kelompok lain, yaitu kelompok H. Misbach, bersikukuh untuk melakukan aksi-aksi liar dan sampai berani melakukan pembunuhan dengan bom, membinasakan tali kawat, dan sebagainya. Itu semua dilakukan demi maksud menyiapkan revolusi. Sangat radikal memang! Tapi, aksi itu berujung pada penghancuran oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan menangkap H. Misbach dan kemudian membuangnya pada bulan Juli 1924 ke Manokwari. H. Misbach meninggal dalam masa pembuangan akibat penyakit malaria pada 24 Mei 1926.

Pemikiran Revolusioner H. Misbach

Pemikiran H. Misbach tentang Islam dan komunisme sangatlah menarik. H. Misbach berangkat dari sebuah keyakinan keras bahwa Islam dan komunisme tidaklah bertentangan. Keduanya saling memperkuat dalam upaya perbaikan kondisi sosial, di mana dan kapanpun selama eksploitasi dan penindasan masih merajalela. Dalam peta pemikiran yang lebih luas, posisi H. Misbach sungguhlah unik. Ia berbeda dengan kebanyakan kelompok Islam garis “kanan” (fundamentalis) yang menganggap bahwa komunisme itu ateis (tidak percaya Tuhan), anti-agama, dan sikap-sikapnya dilakukannya dengan jalan pertumpahan darah. H. Misbach berupaya keras mendekatkan pesan Islam setara dengan pesan yang diajarkan dalam komunisme.

Dalam peta pemikiran di garis “kiri” (Marxis), H. Misbach berbeda dengan kaum komunis lainnya. Walaupun ia sehaluan perjuangan dengan kelompok Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan lain-lain (dalam gerbong organisasi PKI/SI Merah) H. Misbach tetap berpegah teguh pada keyakinan Islam, dan oleh sebab itu ia tidak mau menjadi seorang ateis. Agak sulit bersikap seperti H. Misbach ini karena biasanya kaum komunis itu melepaskan diri dari ikatan agama. Perpecahan dalam tubuh SI adalah karena ada beberapa kelompok yang menolak posisi agama lebih dipentingkan dalam perjuangan keadilan dan kemanusiaan pada masa pra-kemerdekaan.

Seperti yang telah penulis petakan mengenai posisi pemikiran H. Misbach yang tidak ke kanan, tapi juga tidak sama persis dengan teman-temannya di kubu kiri. Pemikiran H. Misbach dikenal sangat moderat. Artinya, pemikiran H. Misbach berada pada titik di tengah, mencoba mensintesiskan paradigma Islam dengan paradigma Marxis. Keberislaman H. Misbach tidak dilakukan secara simbolis, sempit, dan normatif. Ia tidak suka dengan simbol-simbol agama yang dimaknai secara normatif. Ambil contoh misalnya dalam hal berkopiah. H. Misbach tidak suka menggunakan penutup kepala yang biasanya menggunakan kopiah model Arab. H. Misbach lebih suka menggunakan penutup kepala model Jawa. Ia merasa bahwa untuk apa menggunakan simbol-simbol agama dalam berpakaian kalau ternyata masih menyimpan kebusukan pemikiran dan sikap keagamaan. Baginya, yang penting adalah substansi dalam mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan praktis. Identitas Islam tidak memberikan jaminan bahwa seseorang itu telah benar-benar menjalankan Islam dengan baik. Ukurannya adalah sejauhmana tujuan-tujuan agama telah dilaksanakan, dan itu tidak tergantung pada simbolisasi dan pemaknaan sempit.

Dalam berbagai forum, H. Misbach selalu berupaya meyakinkan banyak orang (terutama kelompok Islam) bahwa ada banyak sekali kecocokan antara ajaran Islam dan ajaran komunisme. Ia pun menyuguhkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan, yang itu kemudian dihubungkan dengan pemikiran Karl Marx. H. Misbach hanyalah seorang mubaligh tapi pemikiran dan pergerakannya sangat luar biasa apalagi di masanya itu. Seorang H. Misbach punya keinginan kuat untuk mempersiapkan revolusi Indonesia. Tapi, sayang nama beliau sering dilupakan dalam catatan sejarah perjuangan rakyat Indonesia, seperti halnya seorang Tan Makala. Jika banyak pihak kemudian menyesalkan perjuangan revolusioner yang dilakukan H. Misbach dengan jalan kekerasan, mungkin itu adalah kelemahan dalam pemikirannya. Tapi, itu tidak mengurangi kekuatan pemikirannya yang telah memberikan inspirasi besar bagi para pelanjut gerakan revolusioner di hari kemudian.

Melalui tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media massa pada saat itu, H. Misbach berupaya mengemukakan gagasannya untuk menggerakkan rakyat dalam perjuangan melawan kekuatan kapitalis dan kolonial. H. Misbach pernah membuat sebuah kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Ia menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, bersama mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, menarik pajak. Ia pun menggugat residen Surakarta, Paku Buwono X karena ikut-ikutan menindas rakyat. Suaranya lantang dalam menegakkan keadilan di bumi Indonesia. Walaupun ia akhirnya ditindas oleh kekuasaan kolonial yang dibantu oleh kekuatan kapitalis Indonesia, tidak membuat dirinya membungkam suara kerasnya. Siapa saja yang dinilainya buruk maka tidak tanggung-tanggung itu semua akan “dilabraknya”. H. Misbach adalah figur yang sangat pemberani dan punya keteguhan dalam bersikap.

Selama di pengasingan, walaupun dalam kondisi menyedihkan H. Misbach tetap membuat catatan laporan perjalanannya dan mengirimkannya kepada rekan-rekan seperjuangannya. H. Misbach juga menyusun artikel berseri bertemakan "Islamisme dan Komunisme". Tulisan itu bermaksud memberikan kesadaran yang sangat penting bagi orang yang dirinya mengaku Islam dan komunis yang sejati, yakni suka menjalankan apa yang telah diwajibkan kepada mereka oleh agama dan komunis. Dalam keadaan apapun, ia tetap kuat dan berani dalam melakukan apa yang diyakininya benar.

Bagaimana konstruksi pemikiran revolusioner-keagamaan yang dikembangkan oleh H. Misbach? Sesungguhnya, ia mencoba mengeksplorasi pondasi-pondasi dasar kemanusiaan dalam Islam dengan tekanan-tekanan revolusioner. Ia tidak berhenti pada wacana, tapi sudah masuk pada aksi yang dilakukan secara massif dengan kekuatan-kekuatan revolusioner. Islam adalah agama praksis, yaitu sebuah ajaran yang menggerakkan umat manusia untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan di muka bumi. Islam bukanlah lembaran-lembaran ayat yang dibaca setiap hari tanpa meberikan makna yang berarti bagi perbaikan kondisi sosial. Sejarah kehidupan Nabi Muhhamad telah menunjukkan bahwa Islam adalah agama perjuangan, yaitu dengan jalan menghalau berbagai kekuatan kapitalis yang mengeksploitasi masyarakat Mekkah pada saat itu. Dalam bahasa H. Misbach, Islam adalah agama yang aktif dan begerak. Dengan memahami pemikiran H. Misbach kita bisa melihat bagaimana menariknya tokoh yang satu ini.

Mari kita coba analisa beberapa butir pemikiran H. Misbach. Pertama, titik pijakannya sangat jelas, yaitu dalam soal tauhid. Di sinilah urgensi bagaimana mengkonkritkan konsep tauhid --yang menjadi pondasi keberislaman seseorang-- dalam bentuk gerakan emanatif di wilayah praksis. Tauhid normatif dikembangkan menjadi tauhid pembebasan, dengan pengertian bahwa “keesaaan Tuhan” berujung pada “keesaan umat manusia”. Dengan prinsip tauhid, manusia diajarkan bagaimana memahami kenyataan dalam kesatuan Tuhan (tiada Tuhan selain Allah) dengan berimplikasi pada upaya untuk mempersatukan umat manusia (dalam satu kesatuan keadilan dan kemanusiaan).

Asghar Ali Engineer, seorang penggagas Teologi Pembebasan Islam, mengungkapkan analisis tajam mengenai hal ini. Menurutnya, Tauhid adalah inti dari teologi Islam yang biasanya diartikan dengan keesaan Tuhan. Teologi pembebasan, berbeda dengan teologi tradisional (normatif), menafsirkan tauhid bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind) yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat kelas (classless society). Konsep tauhid yang dimaksud demikian sangat dekat dengan semangat al-Qur’an untuk menciptakan keadilan dan kebajikan (al-‘adl wa al-ahsan).[6]

Penjelasan Asghar hampir mirip dengan H. Misbach karena sama-sama menghendaki masyarakat tanpa kelas dengan prinsip tauhid. Jika dirangkai dalam format pemikiran H. Misbach itu disebut dengan istilah masyarakat tauhidi-komunis. Masyarakat tauhidi-komunis adalah tatanan masyarakat yang tidak menghendaki adanya berbagai diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta, ataupun kelas. Masyarakat tanpa kelas adalah cerminan dari model tatanan ini. Umat manusia benar-benar satu, tidak dibedakan karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit, dan sebagainya. Dan intinya, masyarakat tauhidi-komunis tidak mengenal bentuk eksploitasi dan penindasan.

Untuk melacak penjelasan tauhid semacam itu, bisa dibaca pada beberapa butir al-Qur’an yang memihak pada kaum tertindas (mustadh’afin). Misalnya, surat al-Qashash ayat 5 dan 6 yang berbunyi: “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan meteka di muka bumi.” Di sini terlihat jelas bahwa Islam adalah agama pembebasan dan menjadikan kaum tertindas sebagai tujuan perjuangan dalam Islam. Kaum tertindas tidak bisa diremehkan karena ketika mereka bangkit melakukan perjuangan maka Tuhan tentu bersama mereka.

Kedua, doktrin “sama rata sama rasa” yang pernah disampaikan H. Misbach. Artikel H. Misbach berjudul “Nasehat” dimuat dalam Medan Moeslimin yang terbit pada 1 April 1926 yang isinya antara lain: agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi, dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.

Konsep “sama rata sama rasa” dimaksudkan ingin memposisikan manusia dalam satu perasaan dan kesejahteraan bersama. Tidak ada pembedaan antar umat manusia, tidak ada yang berkelas atas dan di bawahnya, yang berkedudukan dan yang tidak mempunyai kedudukan sama sekali, antara yang kaya dan miskin. Umat manusia diukur sejauhmana kemanusiaan yang ada dalam dirinya itu diperhatikan. Manusia yang punya rasa kemanusiaan untuk memberikan keselamatan dan rasa aman bersama adalah manusia yang sejati. Di hadapan Tuhannya, tidak ada manusia yang dibeda-bedakan. Hanya hambanya yang punya iman dan rasa kemanusiaan tinggi adalah dia yang benar-benar telah bertakwa.

Dengan istilah tersebut, H. Misbach ingin mengkonkretkan bangunan konsep Islam dan komunisme tentang masyarakat tanpa kelas. Mengenai masyarakat tanpa kelas, bisa dirujuk pada surat al-Mukminun ayat 52 yang berbunyi: “Sesungguhnya ini, umat kamu, umat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada-Ku.” Umat manusia adalah satu, tanpa kelas-kelas dan pembedaan. Semuanya di mata Tuhan adalah sama. Manusia diciptakan berasal dari satu, dan akan berakhir pada sebuah kesatuan pula. Tugas manusia adalah bagaimana mengembalikan simpul kesatuan itu. Dan tugas ini adalah apa yang dicita-citakan dalam Islam dan komunisme.

Ketiga, ideologi H. Misbach adalah “Islam bergerak”, yaitu bersatunya kata dan perbuatan. Ia menggerakkan Islam untuk memerangi ketidakadilan, penindasan, dan eksploitasi. Islam bergerak kemudian menjadi “rakyat bergerak”. Apa makna dibaik peralihan ini? Dengan titik pijak Islam yang digerakkan dalam merespon berbagai kondisi sosial yang timpang, kemudian diproyeksikan dalam wilayah yang lebih luas, yaitu rakyat secara keseluruhan untuk dijak dalam satu perjuangan melawan bentuk-bentuk penindasan. Dalam proses perjuangan, kata dan perbuatan menjadi satu. Tidak cukup perjuangan hanya dengan kata-kata dalam bentuk tulisan dan ceramah, tapi mesti dibarengi dengan gerakan yang lebih nyata. Dan ini telah dilakukan oleh H. Misbach dengan baik sekali. Ia adalah pemikir-pergerakan yang sangat tulen. Ia tidak ingin terjebak pada dinding intelektualisme yang kaku, yang hanya berbicara di atas menara gading dan menjauh dari realitas yang ada.

Membangun masyarakat tanpa kelas tidak bisa dilakukan jika tidak dibarengi dengan gerakan dan perbuatan yang konkrit. Berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan tidak cukup dengan kata-kata, tapi harus pula dibarengi dengan perbuatan yang nyata. Artinya, bagaimana menggiring dari cita-cita normatif Islam ke gerakan sosial untuk memerangi berbagai ketidakadilan yang mewabah di muka bumi. Apa yang digerakkan oleh H. Misbach adalah bertujuan mengembangkan cita-cita transformasi sosial. Ini senada dengan pemikiran Kuntowijoyo tentang perpaduan antara iman dan amal. Di dalam al-Qur’an sering sekali disebutkan agar manusia itu beriman dan beramal shalih. Beriman tidak cukup dengan mengucapkan beberapa kalimat baik (kalimah thoyyibah). Iman itu harus berujung pada amal (aksi). Artinya, tauhid harus diaktualisasikan. Memang, pusat Islam adalah Tuhan, tapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Semua nilai-nilai dalam Islam juga berimplikasi praktis dalam kehidupan nyata, yaitu kehidupan umat manusia.[7]

Soal perpaduan kata dan perbuatan dari H. Misbach ini sangatlah menarik. Bagaimana mungkin ketidakadilan itu bisa diberantas tanpa upaya konkrit perjuangan sosial? Sepertinya, H. Misbach juga terinspirasi oleh surat ar-Ra’du ayat 11 yang berbunyi: “sesunggunya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka sendirilah yang mengubahnya”. Perjuangan H. Misbach adalah ingin mengubah keadaan masyarakat menuju keadilan. Itu mesti melibatkan tangan-tangan aktif manusia. Tidak bisa mengandalkan takdir sejarah. Semuanya akan terjadi apabila manusia sendirilah yang melakukan perubahan. Berkata adalah suatu hal yang sangat mudah, tapi bagaimana melakukannya adalah hal yang sulit sehingga membutuhkan kesadaran dan kesabaran dari masing-masing individu.

Mengenai persamaan ajaran Islam dan Komunisme didukung oleh Soekarno. Dalam tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, ia mengatakan bahwa “Kaum Islamisme tidak boleh lupa bahwa kapitalisme musuh Marxisme, itu musuh Islam pula”; “Islamis yang fanatik dan memerangi Marxisme adalah Islamis yang tak kenal larangan-larangan agamanya sendiri”; “Hendaknya kaum itu sama ingat bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan Marxis, banyak persesuaian cita-cita, banyaklah persamaan-persamaan tuntutan-tuntutan”. Ucapan-ucapan Soekarno mendukung pemikiran H. Misbach, yaitu bahwa Islam dan kaum komunis sama-sama dalam satu peta perjuangan. Hanya saja, Soekarno lebih suka menggunakan istilah Marxisme.

H. Misbach telah melakukan kajian yang menarik mengenai kaitan Islam dan komunisme, dan ia pun telah mempraktekkan dalam berbagai perjuangan yang nyata. Sudah selayaknya, posisi H. Misbach tidak bisa diabaikan. Ia adalah pemikir dan pejuang Islam komunis yang mempunyai banyak kontribusi positif dalam dunia pemikiran dan pergerakan Islam dan keindonesiaan. Wallahu A’lam.

[1]Penulis adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Peneliti pada Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Yogyakarta.

[2]Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, (Jakarta: Frantz Fanon Foundation, 1990), hal. 16-17.

[3]Lihat tulisan Iqbal Setyarso, “Haji Misbach, Kiai Merah” dalam Majalah Panji Masyarakat, No. 9 Tahun IV, 21 Juni 2000.

[4]Lihat AK. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta, Penerbit Dian Rakyat, 1979), cet. viii, hal. 26.

[5]Ibid, hal. 28.

[6]Lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. ii, hal 11.

[7] Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1999), cet. ix, hal. 167.