Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Tuesday, August 14, 2007

Teologi Memahami Alam

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, 23 Maret 2005.

TRAGEDI kembali menimpa bumi pertiwi. Gempa berkekuatan 8,7 pada skala Richter terjadi di sebelah barat Pulau Sumatera, tepatnya di laut antara Pulau Nias dan Pulau Simeulue, mengguncang pada Senin (28/3) tengah malam. Ratusan orang diperkirakan menjadi korban dan ribuan rumah hancur.
Gempa yang bisa dirasakan hingga ratusan kilometer dari pusatnya itu telah membuat panik penduduk yang tinggal di Sumatera Utara maupun Aceh. Selain rumah roboh dan sebagian terbakar, bangunan infrastruktur juga banyak yang rusak. Kepanikan akibat gempa juga mengakibatkan kecelakaan kendaraan. Kesengsaraan bertambah dengan padamnya aliran listrik dan turunnya hujan.
Alam rupanya sedang mengingatkan kita. Silih berganti bencana alam menerpa bangsa ini. Masih segar dalam ingatan kita, akhir Desember 2004, gempa dan tsunami yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara telah menelan korban ratusan ribu jiwa.
Menyusul kemudian pada akhir Januari, gempa terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, yang menyebabkan trauma akan datangnya tsunami di daerah itu. Pada pertengahan Februari, gempa terjadi di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, yang menimbulkan trauma yang sama akan datangnya tsunami.
Sudah saatnya kita perlu secara serius merefleksikan "teguran" alam yang telah berkali-kali menimpa bangsa ini. Peradaban modern yang hanya berusaha menawarkan tantangan pada alam, bukan malah mengajaknya bekerjasama adalah akibat dari seluruh bencana yang terjadi selama ini.
Arogansi dan dominasi manusia terhadap alam perlu diperbaiki melalui kesadaran baru, salah satunya adalah dengan perspektif teologis (agama) yang pro-alam.
Kosmologi Baru
Sains alam modern selalu berbicara pada dataran empirik, positivistif, dan kuantitatif. Segala fenomena alam selalu diukur secara materialistik. Padahal, di dalam setiap kerja alam pasti menyimpan misteri ilahi akan proses penciptaan. Bencana gempa dan tsunami adalah salah satu bukti akan adanya misteri ini.
Kosmologi lama yang berupaya memahami alam semesta secara spekulatif dan menganggap bahwa alam semesta ini bersifat statis, telah digantikan oleh kehadiran kosmologi baru. Kosmologi yang berkembang belakangan ini didasarkan atas teori Big Bang, yang menjelaskan bahwa alam semesta bukan sesuatu yang bersifat kekal, melainkan berawal dan berkembang secara evolusioner sejak 15 miliar tahun lalu, dari titik kepadatan luar biasa dan tingkat kepanasan amat tinggi tak terbayangkan.
Temuan kosmologi baru ini bertentangan dengan pernyataan terkenal Steven Weinberg, fisikawan peraih Nobel 1979, "nampaknya semakin alam semesta ini dapat dipahami, semakin nyata pula bahwa alam semesta ini nampaknya tak mempunyai maksud dan tujuan apa-apa."
Para kosmolog sekarang ini memiliki bukti bahwa asal-usul alam semesta bukanlah kejadian teknis alami yang bersifat kebetulan, tapi sesungguhnya proses alam semesta ini sungguh menakjubkan, penuh misteri, dan bukan tanpa tujuan apa pun.
Pendekatan kosmologi ini juga bisa dijadikan sumber rujukan dalam melihat fenomena alam di dalam tubuh bumi. Karena bumi adalah bagian dari tata kosmos universal. Dan sesungguhnya temuan kosmologi baru ini memberikan ruang bagi permenungan teologis dan metafisis.
Menurut J Sudarminta (2003), implikasi teologis dari temuan ini memberikan justifikasi bahwa semua proses alam telah terjadi dan demikian terjadi, bukan karena harus demikian, tetapi karena tindakan bebas Tuhan terdorong oleh cinta. Semua itu terjadi karena rencana dan kehendak Tuhan yang "bekerja" secara imanen dalam proses evolusi alam semesta.
Bila dilihat dalam perspektif Islam, kata "alam" di dalam al-Qur'an lebih banyak disebut dengan kata kerja "khalaqa" (menciptakan) selama 200 kali dibandingkan dengan bentuk kata benda yang hanya sejumlah 53 kali. Dengan demikian, alam sangat berhubungan dengan Tuhan dan merupakan hasil dari tindakan-Nya yang masih akan terjadi.
Menurut Seyyed Hossein Nasr (The Encounter Man and Nature, 1984), sesungguhnya alam semesta memiliki aspek sakral. Kosmos berbicara pada manusia, dan semua fenomenanya memiliki makna.
Kosmos adalah simbol dari realitas yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Stuktur kosmis mengandung sebuah pesan spiritual bagi manusia karena memang tatanan kosmos adalah "wahyu" yang sumber asalnya adalah sama dengan agama itu sendiri.
Dengan demikian, bencana alam seperti gempa dan tsunami di Aceh dan Sumut mempunyai pesan spiritual bagi manusia untuk lebih perduli pada eksistensi alam dan mengakui akan penciptaan Tuhan yang maha besar.
Bencana itu adalah hukum alam yang terjadi karena regularitas dan pergerakan alam yang selalu bergerak dan berproses. Sedangkan, intervensi Tuhan dalam kerja alam itu adalah untuk memberikan peringatan k1
Teologi Pemihakan
Betapa manusia sekarang ini begitu sombongnya dalam menapakkan kakinya di muka bumi ini. Kisah evolusi alam semesta telah terjadi sejak Big Bang 15 miliar tahun yang lalu, demikian halnya pembentukan bumi telah terjadi jauh sebelum manusia baru masuk ke dalam panggung sejarah dunia kurang dari 5 juta tahun lalu.
Bencana alam memberikan pelajaran penting bahwa manusia bukanlah satu-satunya penguasa dunia. Justru adanya bencana alam bisa menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia.
Hingga detik ini, pasca-tsunami dan gempa yang masih berlangsung di sejumlah tempat seperti yang terjadi Senin malam, membuat manusia dilanda rasa ketakutan dan dibayang-bayangi akan datangnya bencana alam susulan. Rasa ketakutan adalah bentuk krisis eksistensial yang selalu ada dalam diri manusia.
Memahami alam dari perspektif teologis, menurut Hassan Hanafi (1995), adalah sebuah sudut pandang kesadaran manusia. Pendekatan ini juga perlu ditopang oleh tuntutan kebudayaan. Sikap dan persepsi manusia menentukan cara berhubungan dengan alam. Karena, objek yang hidup seperti alam dan dunia, tidak akan ada dan berubah kecuali di dalam persepsi si subjek (manusia) itu sendiri.
Bila kesadaran manusia hanya melihat bahwa alam harus dikuras semaksimal mungkin, tanpa memahami bagaimana akibat yang akan ditimbulkannya, maka alam pun akan berbicara atas dasar tindakan manusia itu. Ketika alam dirusak, tentu bencana akan datang.
Ekonomi developmentalism yang menuntut pengurasan terhadap kandungan alam menjadi penyebab kenapa sekarang ini banyak terjadi bencana. Kita bisa belajar dari bencana di Aceh dan Sumut, ternyata bencana itu mengakibatkan kelumpuhan pada tatanan materialistik.
Jadi, pasti ada cause-effect (hukum alam sebab-akibat). Karena memang di mana-mana terbukti terjadi bencana alam.
Untuk itulah, peran teolog dan agamawan dirasa perlu untuk merumuskan pendekatan teologis yang mampu memahami fenomena alam dan juga membentuk kesadaran baru bagi manusia dalam berhubungan dengan alam secara harmonis.
Teologi pro-alam memandang bahwa alam harus dihormati dan dilindungi. Alam tidak boleh dirusak dan dicemari. Ketika manusia berhadapan dengan alam, pada dasarnya ia juga berhadapan dengan manifestasi dari Ketuhanan, hasil kerja Tuhan.
Alam adalah ciptaan Tuhan. Memperlakukan alam secara baik dan bertanggung jawab adalah bentuk keimanan terhadap Tuhan. Merusak alam sama saja merusak hubungan kita dengan Tuhan.
Kita sangat membutuhkan perangkat teologis yang mampu melakukan pemihakan terhadap alam dengan melindunginya dari arogansi dan dominasi manusia yang tidak bertanggung jawab.
Teologi konvensional tidak cukup diandalkan karena memang selama ini hanya berbicara tentang hubungan antara manusia dan Tuhan. Sedangkan teologi pembebasan yang berupaya melakukan pemihakan terhadap kaum tertindas perlu dikembangkan untuk merambah pada persoalan pemihakan terhadap alam.
Di samping agama perlu melakukan pembebasan terhadap kondisi kehidupan umat manusia, agama pun wajib membebaskan alam dari kerusakan dan dominasi manusia. Inilah yang disebut dengan teologi pemihakan alam.
Tentunya, teologi pemihakan terhadap alam ini perlu dikembangkan melalui dialog dan kerjasama antar-agama. Salah satu tanggung jawab global (global responsibility) agama-agama, di samping memperhatikan penderitaan manusia, juga perlu memperhatikan penderitaan yang dirasakan alam dan lingkungan. Inilah salah satu spirit etika global yang pernah mengemuka beberapa tahun yang lalu.
Keterlibatan agama-agama dirasa efektif untuk melakukan pemihakan terhadap alam. Sudah selayaknya agama tidak tinggal diam dalam melakukan kerja partisipatif dalam mengembangkan kesadaran alam dan ekologis pasca-tsunami ini.

Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/29/index.html

No comments: