Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Wednesday, August 15, 2007

Menuju Birokrasi yang Humanis

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Sinar Harapan, Jum’at, 2 Januari 2003.

Birokrasi selalu menjadi perhatian masyarakat kita. Dan tiap kali mendengar kata “birokrasi”, kita langsung terpikir mengenai berbagai urusan prosedural penyelesaian surat-surat yang berkaitan dengan pemerintahan. Birokrasi kini dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan yang amat buruk. Dikatakan demikian karena kita mencium bahwa aroma birokrasi sudah melenceng dari tujuan semula sebagai medium penyelenggaraan tugas-tugas kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat (public service) dengan sebaik-baiknya.

Lagi-lagi, yang terpampang birokrasi kini identik dengan peralihan dari meja ke meja, proses yang ribet, berbelit-belit, dan tidak efisien. Urusan-urusan birokrasi selalu menjengkelkan karena selalu berurusan dengan pengisian formulir-formulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kontrol secara berantai, aturan-aturan yang ketat yang mengharuskan seseorang melewati banyak sekat-sekat formalitas dan sebagainya.

Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai “tujuan” bukan lagi sekadar “alat” untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Terkesan, mustahil negara tanpa birokrasi. Tapi, birokrasi seperti apa yang sangat menjanjikan bagi kita kalau sudah demikian parahnya penyakit yang melekat dalam tubuhnya itu?

Sangat penting apabila kita meninjau kembali definisi birokrasi. Menurut Peter M. Blau (2000:4), birokrasi adalah “tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis.” Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat.

Kenyataan yang terjadi hingga detik ini, birokrasi hanya sebagai “perpanjangan tangan” pemerintah untuk dilayani masyarakat. Atau dengan birokrasi pejabat pemerintahan ingin mencari keuntungan lewat birokrasi. Sebuah logika yang terbalik, memang! Seharusnya birokrasi adalah alat untuk melayani masyarakat dengan berbagai macam bentuk kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Birokrasi menjadi sarang penyamun bagi beberapa oknum yang berupaya memanfaatkan sistem ini. Birokrasi telah menjadi “terali besi” (iron cage) yang membuat pengap kondisi bangsa kita akibat ulah para “penjahat berbaju birokrat”.

Berbicara soal birokrasi, kita pasti teriangat konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model itulah yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi negara kita –walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Tipe ideal itu melekat dalam struktur organisasi rasional dengan prinsip “rasionalitas”, yang bercirikan: pembagian kerja, pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi. Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tapi, kenyataan dalam praktek konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia. Perlu ada pembaharuan makna dan kandungan birokrasi.

Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan.

Kalau boleh dibilang, birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya. Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial. Hanya saja Marx pesimis dengan birokrasi karena instrumen negara ini hanya dijadikan alat untuk meneguhkan kekuatan kapitalisme dan akhirnya jauh dari harapan dan keinginan masyarakat.

Sebagai sebuah konsep pemerintahan yang paling penting, birokrasi sering dikritik karena ternyata dalam prakteknya banyak menimbulkan problem “inefisiensi”. Menjadi sebuah paradoks, seharusnya dengan adanya birokrasi segala urusan menjadi beres dan efisien tapi ternyata setelah diterapkan menjadi “batu penghalang” yang tidak lagi menjadi efisien. Ada yang mengkritik bahwa birokrasi hanya menjadi ajang politisasi yang dilakukan oleh oknum partai yang ingin meraih kekuasaan dan jabatan politis. Term “efisiensi” layak “digugat”.

Rasionalitas dan efisiensi adalah dua hal yang sangat ditekankan oleh Weber. Rasionalitas harus melekat dalam tindakan birokratik, dan bertujuan ingin menghasilkan efisiensi yang tinggi. Menurut Miftah Thoha (2003:19), kaitan keduanya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya ketika Weber masih hidup dan mengembangkan pemikirannya.

Kata kunci dalam rasionalisasi birokrasi ialah menciptakan efisiensi dan produktifitas yang tinggi tidak hanya melalui rasio yang seimbang antara volume pekerjaan dengan jumlah pegawai yang profesional tetapi juga melalui pengunaan anggaran, pengunaan sarana, pengawasan, dan pelayanan kepada masyarakat. Kalau ditelisik, konsep rasionalitas dan efisiensi yang membingkai dalam ramuan birokrasi adalah susunan hirarki, di mana ukurannya tergantung kebutuhan pada masing-masing zaman. Zaman kita sangat berbeda dengan zaman yang tengah terjadi pada saat Weber masih hidup.

Weber memaksudkan rasionalitas agar segala tindakan manusia didasarkan atas ukuran dan kualifikasi rasional sehingga tidak ada unsur subyektif dan politis yang masuk dalam proses penyelenggaraan sistem administrasi negara. Karakteristik dan ciri-ciri yang melekat dalam birokrasi sangat bermuatan rasional. Kita tidak bisa menampik bahwa apa yang dikemukakan oleh Weber sangatlah rasional. Tapi, ada banyak hal yang justru dilakukan tanpa melalui jalur formal-rasional. Ada intervensi manusia secara subyektif dalam memperlakukan sebuah sistem. Tentu, hal demikian dilihat menurut ukuran kebutuhan dan kepentingan yang mendesak.

Rasionalitas yang kemudian dikaitkan dengan efisiensi tidak lagi menjadi dua ukuran sebab-akibat yang pasti. Bisa saja, efisiensi itu melepaskan dari ukuran rasional dan formal. Dan ternyata kerangka konseptual rasionalitas birokratik yang disebutkan Weber membuat kita kaku dalam memperlakukan birokrasi, dan akhirnya terjebak pada rutinitas yang berjarak dengan fenomena sosial. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi kondisi birokrasi di negara kita.

Dan apalagi, penggunaan konsep Weberian dalam menerapkan konsep birokrasi akan terjebak pada kondisi di mana konsep ini menjadi “rasionalitas instrumental”, yaitu konsep yang sakral dan menjadi ukuran serba pasti dalam proses penerapananya di waktu dan tempat manapun. Reintepretasi atas gagasan Weber mengenai birokrasi menjadi urgen untuk dilakukan karena perlu dihubunkan dengan konteks pada saat ini.

Hal yang sangat menarik adalah kritik yang disampaikan Warren Bennis melalui tulisannya “Organizational Developments and the Fate of Bureucracy” dalam Industrial Management Review 7 (1966). Bennis mencoba melakukan prediksi masa depan tentang berbagai macam perubahan yang pada gilirannya akan mempengerahui eksistensi birokrasi. Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan yang produktif pada masa Revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan pengurangan peran-peran persobal, persoalan subyektivitas yang keterlaluan, dan tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan. Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya.

Kita sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual semata tapi merambah pada dataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin. Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih emnjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus serius digarap oleh para pemerhati masalah-masalah adminsitrasi negara dan kebijakan publik.

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/01/opi01.html

No comments: