Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Sunday, November 11, 2007

Peran Agama dan Tanggung Jawab Global

Oleh Happy Susanto

Dimut dalam Harian Suara Pembaruan, Kamis,13 Januari 2004.

Problem terorisme dan ketidakadilan global menyisakan tanda tanya besar. Kedua persoalan ini menjadi ancaman besar bagi proses perdamaian dunia. Peran tokoh lintas agama dirasa perlu untuk bersama-sama ikut serta dalam menyelesaikan persoalan yang amat pelik ini.

Selama ini sering dianggap bahwa dunia mengalami penguatan arus sekularisasi. Agama hanya ditaruh pada ruang privat, tidak memiliki akses luas pada dinamika masyarakat. Ternyata, sekarang ini teori sekularisasi mengalami fenomena pembalikan fakta. Masyarakat dunia justru menguat religiusitasnya.

Dampak modernisasi tidak seluruhnya berimplikasi pada perombakan karakter religiusitas dalam ranah individual walaupun secara sosial kurang begitu tampak. Sehingga di mana-mana kian muncul berbagai macam identitas keagamaan.

Lebih tepatnya bila dikatakan bahwa masyarakat dunia mengalami arus desekularisasi (desecularization of society). Penguatan religiusitas ini biasanya dihubungkan dengan fenomena fundamentalisme.

Kita tidak memungkiri bahwa fundamentalisme agama menjadi sorotan publik global karena kecenderungan mereka dalam memahami tekstualitas agama secara sempit dan kaku akan berimplikasi pada tindakan-tindakan kekerasan.

Munculnya fundamentalisme agama disebabkan karena ketidakmampuan dalam menyikapi modernitas dan segala bentuk tantangannya. Jawaban fundametalisme ataupun radikalisme tidaklah tepat karena hanya akan menimbulkan masalah-masalah besar bagi perdamaian dunia. Terorisme tidak bisa dilepaskan dari fenomena ketidakadilan global. Mengatasi persoalan terorisme perlu pula dibarengi dengan upaya membangun tatanan dunia baru yang adil dan beradab.

Global Ethic

Agama-agama di dunia ini memiliki "tanggung jawab global" (global responsibility) untuk menyelesaikan pelbagai problematika yang ada di permukaan bumi. Hans Kung (1991) mengajukan tiga tesis penting mengapa agama perlu memerankan fungsi semacam itu: "No survival without a world ethic; No world peace without religious peace; No religious peace without religious dialogue (Tidak ada kelangsungan hidup tanpa etika dunia; Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama; Tidak ada perdamaian agama tanpa dialog antar-agama)".

Bagi Kung, agama-agama mampu memberikan kontribusi penting bagi upaya kuat untuk membangun perdamaian dan keadilan. Tesis Kung berlawanan dengan tesis sekularisasi yang menganggap bahwa agama sedang mengalami disfungsi sosial. Kontribusi agama-agama dirasa sangat efektif karena memang sekarang ini banyak orang masih memegang teguh keyakinan agamanya. Dengan perkataan lain, agama masih menjadi harapan besar umat manusia.

Untuk menyelesaikan persoalan terorisme dan ketidakadilan global, para kaum agamawan perlu melakukan kerja sama internasional untuk merumuskan langkah-langkah strategis bagi penyelesaian masalah tersebut. Salah satu tawaran yang pernah mencuat dan perlu dikembangkan lebih lanjut adalah tentang "etika global" (global ethic).

Pada tahun 1993, di Chicago AS, The World Parliament of Religions menyelenggarakan pertemuan internasional lintas agama bertajuk "Declaration of a Global ethic". Acara ini dihadiri sekitar 200 tradisi agama-agama di seluruh dunia yang menghasilkan konsensus untuk bekerja sama dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan (peace and justice) di muka bumi.

Sebenarnya, tawaran etika global adalah sebagai jawaban atas keterbatasan wacana yang diusung oleh eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Ketiganya hanya berhenti pada persoalan internal dan eksternal, yaitu tentang bagaimana menyikapi identitas diri sendiri dan bagaimana menghadapi identitas orang lain, tapi belum bisa beranjak pada upaya membangun wacana interreligius.

Etika global menyimpan sebuah pesan bahwa sesungguhnya etika itu lebih penting daripada agama. Karena memang etika bukan persoalan melulu dari Tuhan, tapi itu sudah menjadi sikap natural manusia untuk saling cinta-mencintai antar sesama. Agama sering membuat pengotakan identitas antarmanusia, tapi etika justru meleburkan semua bentuk identitas itu agar secara bersama-sama masuk pada komitmen bersama tentang nilai-nilai utama moral kemanusiaan.

Menurut Paul Knitter dalam bukunya Satu Bumi Banyak Agama (2003), Etika Global berupaya menyelesaikan dua persoalan mendasar yang harus dijawab oleh agama-agama.
Pertama, persoalan human suffering (penderitaan manusia), yang mencakup hal-hal berkenaan tentang kemiskinan, kekerasan, dan penipuan (victimization).

Kedua, persoalan yang berkenaan mengenai environment suffering (lingkungan hidup). Yang terakhir ini juga sangat penting untuk disikapi secara serius karena memang berbagai peristiwa bencana alam dan kerusakan lingkungan, termasuk makin menipisnya lapisan ozon bumi menjadi ancaman eksistensial bagi kehidupan umat manusia.

Perspektif etika global yang ingin direkomendasikan adalah tentang common understanding bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi. Ketidakadilan dan penindasan harus diberantas dan diatasi secara serius. Agama perlu memberikan komitmen dasar bahwa ketidakadilan dan penindasan adalah musuh utama kita bersama.

Secara sederhana, dalam rumusan etika global perihal human suffering ini, ada empat komitmen global yang harus dipegang, yaitu: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan menipu, dan jangan berzina.

Bila kita kontektualisasikan dalam bentuk makro, keempat komitmen itu bisa dipahami bahwa kita perlu menghindari tindakan kekerasan (violence), membangun solidaritas dan tatanan ekonomi baru yang berkeadilan, mengembangkan sikap-sikap toleransi, serta menciptakan kesetiaan dalam setiap bentuk hubungan sosial.

Kerja Sama Antaragama

Kerja sama internasional antaragama sebagai bagian dari komitmen etika global sudah pernah diadakan di Yogyakarta, 6-7 Desember 2004, beberapa minggu yang lalu. Pertemuan itu berinisiatif untuk menggalang komitmen agama-agama untuk menghadapi kasus terorisme global dengan jalan perdamaian.

Selama ini solusi terhadap kasus ini dilakukan dengan jalan kekerasan, sehingga tidak mampu mengeliminasi bagi kemungkinan-kemungkinan munculnya di masa mendatang. Karena, solusi kekerasan hanya akan dijawab oleh kekerasan itu sendiri.

Hanya saja, acara semacam itu diharapkan tidak sekadar berhenti pada wacana saja, tapi yang lebih penting adalah sudah beranjak pada langkah praksis dan nyata. Biasanya, di mana pembicaraan penting dan serius tentang sebuah persoalan besar hanya berhenti pada wacana saja, dijadikan sebagai bagian dari simbolisasi pertemuan. Padahal, langkah praksisnya yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat umum.

Kerja sama antaragama tidak cukup hanya dilakukan oleh kelompok elite agama saja. Sudah saatnya masyarakat bawah (grass-roots) perlu juga diajak dalam setiap perhelatan interreligious dialogue. Disebabkan karena perhelatan semacam itu diupayakan untuk merumuskan persoalan-persoalan mendasar dalam masyarakat, maka partisipasi grass-roots tidak dapat dielakkan.

Mereka sangat tahu tentang konfigurasi dan karakteristik dasar persoalan yang sedang dirasakan masyarakat kelas bawah. Misalnya, persoalan tentang kelaparan, kekerasan, penggusuran, perburuhan, pertanian, dan berbagai macam persoalan wong cilik lainnya.
Para tokoh lintas agama perlu melakukan advokasi-advokasi dalam bentuk menghadirkan pembacaan agama secara moderat, humanis, dan progresif. Agama harus diproyeksikan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan dan keadilan.

Orthopraksis agama menjadi bagian penting dalam upaya membangun tujuan-tujuan positif agama. Sehingga penafsiran agama perlu diorientasikan pada dimensi kemanusiaanya. Pemahaman seperti itu perlu dibumi-praksiskan dalam kesadaran masyarakat-agama kita. Karena kalau tidak, agama hanya sebuah ritus peribadatan tanpa makna apa-apa.

Kita pun memerlukan perangkat teologi agama yang secara tegas menjamin pemihakan terhadap kaum tertindas. Teologi revolusioner berupaya memberikan perspektif baru tentang bagaimana sikap agama dalam menyelesaikan problem ketidakadilan sosial. Agama tidak bisa tinggal diam ketika penindasan dan ketidakadilan masih merajalela di mana-mana.

Agama bukanlah sebuah kartu mati. Jangan sampai beragama justru berpotensi melahirkan sikap kekerasan. Agama manapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan. Sikap saling curiga-mencurigai antarpenganut agama harus dihapus. Sikap bijak yang harus selalu dikedepankan adalah toleransi dan kerja sama dalam menghadapi masalah bersama.

Tahun-tahun ini adalah lintasan sejarah yang akan kita hadapi, namun sangat tidak mustahil akan dipenuhi oleh beragam persoalan pelik yang kian menambah daftar masalah kita bersama. Oleh sebab itu, peran agama dalam bentuk kerjasama-kerjasama konstruktif sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi positif bagi perbaikan hidup di masa mendatang. Wallahu A'lam.

http://www.suarapembaruan.com/last/index.htm

3 comments:

Anonymous said...

Hmm, peran agama memang terasa perlu di era yang kering dengan spritualitas. Hanya saja, saya pesimis dengan pendekatan para tokoh agama yang banyak menekankan pada kebenaran tidak pada keadilan.
Sampai kapan kita akan menjadi budak kebenaran yang kita ciptakan?

Semoga, pengalaman berikut ini tidak menimpa Anda sebab spritualitas itu sudah begitu menipis.
http://kenken-pe-tualang.blogspot.com/2008/01/kesan-dari-jogja.html

Anonymous said...

kalau saja kebanyakan muslim seperti anda aman dindonesia ini. saya yakin kita hanya segelintir orang yang berjuang atas nama kemanusiaan, kebangsaan. terus terang saya ragukan kedemokratan agam islam apalagi dalam konteks pluralisme. semoga kita dapat duduk bersama tanpa saling curiga untuk etika global adalah gagasan yang harus dipertimbangkan.

Anonymous said...

Agama dan Peran sosial dalam konteks ke Indonesiaan sepertinya harus ditinjau ulang. Agama di Indonesia tak ubahnya bagai pisau bermata dua. Satu sisi mempertajam keimanan dan mempertajam konflik. apalai kalau agama dijadikan dasar/legitimasi untuk melakukan kekerasan, maka muncullah terma "kekerasan atas nama agama"
(M. Mahrus Ali, alumni MAKN MAN Yogyakarta I angkatan 1997/1998)