Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Thursday, November 8, 2007

Komersialisasi Pendidikan

Oleh Happy Susanto

Dimuat di Harian Jawa Pos, Rabu, 25 Juni 2003.

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia sudah tidak lagi disubsidi oleh pemerintah dan secara otonom menjadi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Masing-masing PTN itu dituntut mencari dana mandiri. Lalu, digelarlah beberapa PTN yang membuka kelas jauh, kelas malam, kelas sabtu-minggu, kelas ekstensi dan sebagainya. Termasuk rekruitmen mahasiswa baru melalui jalur penelurusan potensi minat dan bakat (PMBP) sebagai jalur khusus yang dibedakan dari jalur penerimaan biasa (SPMB) dengan jatah kursi 20 persen.

Jalur khusus penerimaan mahasiswa dinilai sangat diskriminatif dan berbau komersial. Jalur penelusuran minat terlalu bermotif uang sehingga mematikan potensi mahasiswa, terutama bagi yang tidak mampu.

Calon mahasiswa yang memiliki orang tua berpunya dan memang mampu sangat besar kemungkinan peluang dan kesempatannya untuk dapat masuk kuliah di PTN besar. Tinggal memberikan dana antara 15 juta sampai 150 juta, mereka bisa kuliah di PTN yang diharapkannya. Uang lalu menjadi ukuran apakah seseorang itu bisa diterima di PTN atau tidak, bukan sepenuhnya atas dasar kemampuan akademik yang dimilikinya.

Alasan yang dikemukan dalam model PMBP ini biasanya persoalan subsidi silang antara mahasiswa yang mampu dan yang biasa-biasa saja. Di saat PTN sangat membutuhkan dana besar sebagai konsekuensi atas kebijakan otonomi kampus maka pembukaan jalur khusus bisa sebagai jalan untuk penjaringan dana yang amat strategis. Boleh-boleh saja kalau kampus mencari dana untuk membiayai pengembangan dan operasionalisasi pendidikan, tapi kenapa perlu ada jalur khusus itu?

Subsidi silang yang dihasilkan dari jalur khusus justru akan menimbulkan persoalan tersendiri. Ya, persoalannya adalah bagaimana kampus yang menerapkan model ini bisa mengatasi adanya kecenderungan komersialisasi dan diskriminasi. Dalam dunia pendidikan tidak ada kata komersialisasi! Kita bisa membaca secara seksama UU Sisdiknas Pasal 54 ayat (3) yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan badan nirbala (yang tidak mencari keuntungan). Sehingga kebijakan pendidikan yang mengarah pada komersialisasi harus dicegah oleh pemerintah. Kalau arahannya sudah komersil dikhawatirkan manajemen pendidikan akan lebih memusatkan pada persoalan bagaimana mendapat dana sebesar-besarnya, sehingga kualitasnya sendiri bisa kurang diperhatikan.

Logikanya memang seharusnya dengan adanya dana yang besar, kualitas pendidikan bisa diandalkan. Saya kira logika itu bisa jadi malah terbalik. Bagaimana mungkin dengan dana yang besar jika perhatian manajemennya masih terbelenggu oleh perhatian yang amat berlebihan pada pemasukan dana daripada peningkatan kualitas dan mutu pendidikan, bisa memberikan jaminan pendidikan yang bagus dan handal? Itu terletak pada persoalan bagaimana pihak kampus bisa merekrut dan mencetak mahasiswa yang berkualitas, bukan hanya merekrut atau mencetak uang untuk pendidikan.

Ada kekhawatiran bahwa apabila jalur khusus itu diterapkan maka jatah untuk mahasiswa di jalur biasa di mana dari mereka ada yang berpotensi dan tidak begitu mampu malah akan berkurang. Seharusnya jatah kursi mahasiswa disetarakan untuk siapa saja, baik yang mampu atau yang memang pas-pasan. Kalau alasannya mau mencari dana, saya kira, bisa dilakukan dengan program-program partisipatif kampus dengan berbagai lembaga yang bisa diajak bekerjasama. Kalau PTS banyak yang mampu hidup mandiri, kenapa PTN tidak?

Jalur khusus akan menimbulkan benih diskriminasi dalam pelayanan pendidikan, termasuk pelayanan akademik, dan juga dalam dinamika kehidupan kampus. Di sana akan mencolok sekali antara mahasiswa yang mampu dan mahasiswa yang biasa-biasa saja. Jalur ini juga akan menimbulkan gejala komersialisasi pendidikan. Yang penting ada dana, ada jalan! Karena jalur ini sangat bermotif uang maka yang diperhatikan adalah sisi berapa banyaknya dana yang bisa diraih, tanpa mementingkan potensi mahasiswa yang bersangkutan.

Tapi, ternyata komersialisasi pendidikan dalam penerimaan mahasiswa baru didukung oleh Mendiknas Prof. Malik Fajar, yang dinilainya adalah wajar. Kata beliau, “yang penting pengelolaannya dilakukan terbuka, transparan, dan akuntabilitasnya terjamin.” (Jawa pos, 17/6/2003). Yang menjadi perntanyaan: apakah jaminan komersialisasi akan memastikan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan kita? Bukankah apabila dunia pendidikan sudah dikomersialkan lalu yang bermain adalah uang, bukan potensi atau kemampuan mahasiswa itu sendiri? Ini sungguh ironis!

Pendidikan kita memang terlihat agak suram. Setelah perhatian kita disita oleh perdebatan mengenai RUU Sisdiknas yang lebih memusat pada soal pendidikan agama, kini masalahnya beralih pada perdebatan mengenai jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di PTN.

Pendidikan masih menjadi barang mahal yang jauh dari harapan dan kemampuan rakyat. Sudah semestinya pemerintah dan DPR memperhatikan dunia pendidikan sebagai pusat perhatian yang paling urgen dengan memperbesar dana dan kualitas yang dihasilkannya. Di tengah suasana yang amat susah seperti ini, pendidikan malah menjadi barang dagangan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang memang berduit dan mampu mengeluarkan seberapapun besarnya uang yang mesti dibayar.

Fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan dengan menjual mahal kursi PTN harus dicegah secepatnya. Pendidikan bukanlah lahan bagi adanya komersialisasi dan diskriminasi. Pendidikan justru seharusnya menjadi basis peningkatan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang. Pendidikan juga seharusnya bisa menumbuhkan kesadaran kebersamaan dalam menghadapi persoalan yang ada di hadapannya secara kritis dan kontrukstif. Jangan justru malah dibuat secara diskriminatif dan komersil sehingga hanya segelintir mahasiswalah yang mampu mengakses pendidikan itu. Wallahu A'lam.

No comments: