Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Wednesday, November 7, 2007

Bom Bunuh Diri dan Sikap Berani Mati

Oleh Happy Susanto

Dimuat di Harian Sinar Harapan, Sabtu, 23 Agustus 2003.

Aksi bom bunuh diri dan terorisme kian marak terjadi. Pada Selasa (19/8) lalu, terjadi aksi bom bunuh diri yang ditujukan kepada Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irak, yang telah menewaskan 24 orang dan melukai 100 orang lainnya. Pada hari yang sama, juga terjadi pengeboman bunuh diri di Yerusalem yang telah menewaskan sedikitnya 20 orang dan melukai sekitar 80 lainnya. Di Indonesia, beberapa saat yang lalu terjadi pengeboman di Hotel Marriott Jakarta yang telah menewaskan sekitar 10 orang dan melukai ratusan orang lainnya.

Sikap berani mati dengan melakukan bom bunuh diri menjadi bagian penting dari perjuangan suci (jihad) yang dilakukan beberapa kelompok agama. Mereka lebih melihat pada kehidupan eskatalogis (kehidupan setelah mati). Kematian demi menegakkan sebuah agama adalah tujuan mulia. Keabadian hidup hanya di akhirat kelak. Sikap ini tidak begitu memperhitungkan apa akibat tindakan tersebut yang nyata-nyata telah menimbulkan banyak korban kemanusiaan.

Keyakinan agama yang eskatalogis cenderung mengarahkan penganutnya pada sikap-sikap yang berlawanan dengan realitas sosial. Yang terpikir adalah penghambaan pada Tuhan, tanpa mau memahami kenyataan sosial yang ada. Maka, yang dikedepankan adalah sikap-sikap penuh kekerasan. Pada dasarnya, agama tidak menghendaki adanya praktik kekerasan dan sikap anti-kemanusiaan. Kita perlu menghadirkan agama yang bisa menjamin keberlangsungan hidup umat manusia. Agama adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).

Teologi Kematian

Siapa pun manusia yang hidup dan memiliki nyawa pasti akan mati. Kematian adalah sebuah kemestian. Martin Heiddeger menyatakan bahwa kematian adalah ”modalitas fundamental dari eksistensi yang hidup dan konkret” (fundamental modality of living, concrete existence).

Fenomena ”berani mati” sudah banyak terjadi. Biasanya sikap berani seperti ini karena memang dilandasi oleh keyakinan agama. Si pelaku bom bunuh diri yakin bahwa tindakannya adalah benar karena itu mengandung makna jihad untuk ”menghancurkan” ketidakadilan di muka bumi ini. Dorongan keyakinan agama seperti ini memang tidak sepenuhnya salah. Tapi, yang jadi persoalan adalah terletak pada sisi kekakuan dan kesempitan dalam memahami doktrin agama.

Sikap berani mati yang negatif telah menghinggapi banyak keyakinan umat agama. Keyakinan ini mengakibatkan pada aksi kekerasan. Sikap ”berani mati” yang positif, seperti diajarkan dalam banyak pengajian-pengajian keagamaan, justru adalah bagaimana kesiapan kita sebagai manusia yang hidup ini untuk menghadapi kematian. Manusia yang mempunyai amal baik hingga akhir hayatnya adalah insan yang khusnul khatimah (mati dengan baik). Yaitu, manusia yang akan diterima di sisi Tuhannya.

Dalam sikap berani mati, ada sebuah pertanyaan yang muncul: apakah Tuhan menghendaki hamba-Nya mengorbankan jiwa yang kita sendiri tidak tahu apakah itu baik menurut-Nya? Perlu digarisbawahi bahwa mati dan hidup adalah urusan Tuhan.

Yang penting kita lakukan adalah mempersiapkan amal dan ibadah untuk kematian yang mujur dan baik. Jadi, kita lebih melihat pada kenyataan hari ini dengan mempertebal amal shalih dalam pengamalan hidup sehari-hari. Harus ada kepedulian pada keadaan saat ini.

Agama tidak menghendaki adanya kekerasan, apalagi tindakan terorisme. Agama hadir dimaksudkan sebagai ”jalan kebenaran” untuk menegakkan kemanusiaan dan perdamaian di muka bumi. Jangan sampai, citra positif agama dilunturkan dengan sikap-sikap yang cenderung mengarah pada tindak kekerasan dan anti-kemanusiaan.

Irasionalitas pengamalan agama seperti inilah (mengandung sisi kekerasan dan anti-kemanusiaan) yang dikritik banyak filsuf ateis. Salah satunya adalah Sigmund Freud, seorang psikoanalis.

Freud menganggap bahwa agama hanya sebagai pemuasan pengharapan yang ditemukan dalam mimpi dan simtom neurotik. Kata Freud, agama adalah ilusi, pemuasan harapan manusia yang paling tua, paling kuat, dan paling mendasar.

Agama bukanlah cerminan pengalaman atau hasil akhir pemikiran manusia. (Die Zukunft einer Illusion dalam Studienausgabe 9:164).

Tentu, apa yang dimaknai oleh Freud adalah agama yang tidak menyejarah. Fungsi agama yang melulu normatif dan terlepas dari konteks historis pengalaman hidup manusia adalah bentuk ”impotensi” agama.

Agama hanya menjadi ”tempat pelarian” bagi manusia yang penuh keterasingan. Sehingga, agama dicurigai tidak mempunyai peran sosial yang signifikan untuk membebaskan manusia. Justru yang dikehendaki adalah bahwa agama bisa difungsikan sebagai agen transformatif (perubahan sosial).

Hakikat Pembebasan

Kebanyakan kita mungkin sering berpikir bahwa beragama adalah untuk Tuhan saja. Padahal, jika memang bentuk penghambaan itu ditujukan untuk Tuhan saja, tapi Tuhan yang bagaimana? Jangan-jangan, Tuhan hanya dalam proyeksi angan-angan pikirannya sendiri. Beragama adalah untuk Tuhan dan juga manusia. Tidak bisa dipisahkan!

Insan agamis jangan hanya memahami agama menurut keyakinan ilusif yang mengental dalam memori hati dan pikirannya. Apa yang terpikir olehnya bisa saja salah dan itu mesti ”dibenturkan” dengan kenyataan kompleksitas persoalan manusia.

Dalam memahami teks agama jangan sebatas sisi harfiahnya saja, lalu serta-merta diterima sebagai hukum dan makna agama. Dalam menginterpretasikan teks perlu melihat sisi kontekstual, yaitu dimensi ruang dan waktunya.

Apa yang dipahami pada masa lalu bisa saja berubah pada masa kini, disesuaikan dengan kenyataan yang sedang dihadapi manusia. Dalam beragama, kita juga perlu menggunakan pendekatan nalar dan rasionalitas. Untuk memahami teks kita perlu menggunakan pedoman akal budi. Hanya saja, terkadang akal tidak bisa menjangkau hal-hal yang supra-rasional.

Fenomena radikalisme dan atau terorisme disebabkan karena dalam memahami agama hanya terjebak pada sisi normativitasnya saja. Apa yang aku pahami menurut keyakinan harfiahku maka itu benar menurut Tuhan, dan aku harus melakukan apa yang menjadi bagian isi ajarannya.

Padahal, si penafsir juga mesti melihat apa di balik bungkusan teks itu, yang senyatanya pasti tidak akan didapati makna-makna yang cenderung mengarahkan pada tindak penuh kekerasan.Bisa saja kita katakan bahwa fenomena ”berani mati” merupakan bentuk ”pembebasan”. Tapi, pembebasan dalam pengertian melepaskan tanggung jawab atas ”ketidaksadaran” manusia dalam menerapkan hukum Tuhan yang diukur menurut kerangka subyektif pemikiran si penafsir.

Atau pembebasan untuk menghancurkan kekuatan imperialisme negara-negara kolonial, seperti negara AS yang ikut campur mengurusi negara-nagara Muslim. Bukan pembebasan dalam pengertian agama yang memiliki ajaran yang membebaskan umat manusia. Atau bukan dalam pengertian membebaskan manusia dari dosa dan kejahatan karena dengan kematian dia akan terlepas dari pengaruh itu semua. Pembebasan bisa bermakna apabila itu ada kaitan sosialnya. Tidak sebatas kehendak indivual semata.

Islam memiliki semangat pembebasan yang menghendaki penganutnya untuk menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian di muka bumi. Islam yang membebaskan menjadi harapan dunia saat ini.

Jika, pemahaman agama difungsikan menjadi doktrin yang membelenggu kesadaran kemanusiaan maka itu bukanlah agama sejati. Apa yang dilakukan oleh kelompok teroris dengan atas nama agama merupakan bentuk ”pembunuhan” atas jati diri kemanusiaan.
Apa yang dipraktikkan oleh beberapa pelaku ”teroris berbaju agama” menjadi bukti bahwa keyakinan agama yang sempit akan cenderung mengarahkan pada tindak kekerasan. Islam bukanlah agama yang mengajarkan demikian.

Apa pun yang dipikirkan manusia masih dalam frame konteks sosial. Apakah dunia ini hanya milik segelintir penganut agama yang tidak mau melihat realitas secara obyektif?Untuk itulah, sudah waktunya kita merenungi kembali hakikat keberagamaan kita ini.

Beragama adalah untuk Tuhan dan juga manusia. Dalam upaya penegakan keadilan dan kemanusiaan di muka bumi ini yang mesti dikedepankan adalah cara-cara yang baik dan terpuji. Bom bunuh diri bukan merupakan cara jihad positif untuk menghadapi sebuah persoalan pelik yang dihadapi dunia Muslim.Islam benar-benar merupakan agama yang penuh dengan rahmat dan kebaikan buat umat manusia, sangat mengedepankan sikap-sikap penuh perdamaian dan kemanusiaan, serta sangat anti-kekerasan. Wallahu a’lam.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0308/23/opi02.html

No comments: