Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Wednesday, November 7, 2007

Menimbang Islam Humanis

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Republika, Jumat, 14 Nopember 2003.

Ada semacam stigma bahwa agama justru menimbulkan adanya gejala dehumanisasi atas kondisi kehidupan kontemporer. Agama sering dituduh karena menjadi faktor penyebab negatif atas tindak kekerasan dan ketidakadilan yang terekam dalam memori kesadaran manusia modern. Stigmatisasi semacam ini akan menghasilkan pemahaman yang keliru atas peran dan fungsi agama. Apakah agama berlawanan dengan kemanusiaan? Bukankah sejarah pemikiran dalam agama-agama juga menampilkan sisi di mana agama justru meneguhkan cita kemanusiaan sebagai tema sentral dalam objek wacana dan praksis agama?

Sejarah perkembangan pemikiran kemanusiaan pernah mengalami "pertarungan" antara peradaban agama (gereja) dan peradaban rasionalisme. Masing-masing kubu melakukan justifikasi dan saling tuduh mana yang sesungguhnya lebih berperan. Sejarah kemanusiaan mengalami proses kemunduran karena tidak ada ruang dialog antara humanisme yang muncul di Barat dan peradaban lainnya, yaitu agama dan kebudayaan lokal. Jarak antara humanisme dan agama inilah yang menyebabkan kesan bahwa kemanusiaan jauh dari peran agama. Padahal, pengembangan ajaran kemanusiaan bisa digali dari pendekatan agama.

Biasanya, tema-tema yang muncul dalam perdebatan antara Islam dan humanisme adalah seputar: rekonsiliasi antara wahyu dan rasionalisme, tradisi dan modernitas, sains modern dan Islam, dan sebagainya. Tulisan ini mencoba mengangkat tema hubungan antara Islam dan humanisme dengan iktikad untuk mencari konstruksi dialogis antarkeduanya. Sehingga, gagasan "Islam Humanis" dapat dikembangkan sebagai tawaran baru atas reposisi wacana Islam dan kemanusiaan.

Pijakan antroposentris

Penafsiran agama perlu diarahkan pada pembacaan yang lebih humanistik, pluralistik, dan progresif. Pemahaman teks agama yang kaku, rigid, hitam-putih, dan tektualistik, akan mengarahkan sang pembaca menjadi berpikiran sempit dalam mengamalkan agama sehingga yang terjadi adalah kecenderungan atas tindakan kekerasan, klaim-klaim kebenaran, dan sikap anti-pluralisme. Misalnya, kasus takfir (pengkafiran) dan fatwa hukum mati adalah bentuk kepicikan dalam pemikiran keagamaan model ini.

Umumnya, pemahaman agama selalu mengandaikan teosentrisme sebagai titik awal dan akhir pijakan dalam memaknai agama. Agama dan Tuhan menjadi dua term yang seakan sulit untuk dipisahkan. Ketika kita memahami agama ada kecenderungan bahwa itu adalah apa yang maksudkan Tuhan kepada kita. Teks-teks agama yang termaktub dalam Alquran dianggap sebagai kata-kata Tuhan yang sudah jelas dan pasti (mutlak). Padahal, perlu pemahaman secara kontekstual.

Pemahaman agama yang kita yakini kebenarannya merupakan tafsiran yang masih bersifat relatif. Agama adalah "jalan kebenaran" (syir'atan wa minhajan) bagi umat beragama untuk memahami kehidupan ini dengan bayang-bayang tuntunan dan pedoman dari kitab suci dan ajaran ilahi. Dengan agama, penganutnya akan mendekati (kebenaran) Tuhan dalam ragam pemaknaan, walaupun tidak bisa mendekatinya secara sempurna. Agama dan Tuhan harus dipisahkan karena yang satu adalah jalan untuk mendekati Tuhan, sedangkan yang kedua adalah tujuan akhir dari perjalanan. Klaim-klaim kebenaran hanya dimiliki oleh Tuhan, manusia hanya berhak memahami dan menafsirkan agama, dengan cara, bentuk, dan hasil apapun.

Pemahaman agama ada yang sifatnya masih melangit dan ada juga yang sudah membumi. Secara transendental, penerjemahan agama ditujukan sebagai bentuk penghambaan secara personal, vertikal, dan teosentris. Ibadah ritual dan umumnya syariat merupakan bentuk penghayatan dan pengamalan agama dengan orientasi pada Tuhan. Tapi, dalam sifat yang pertama ini tidak terjadi keterputusan makna dengan sifat yang kedua, yaitu imanensi. Pembumian ajaran agama memberikan ruang bagi manusia untuk secara kreatif berhak melakukan kegiatan duniawi secara rasional dengan tidak melepaskan dari ikatan substansial agama. Pembumian agama yang berpijak pada antroposentrisme akan memberikan jalan pada humanisasi agama. Di sinilah terjadi dialektika, yaitu manusia diberikan kebebasan untuk menjalani kehidupan dengan membumikan ajarannya dalam ranah sosial-keduniawiaan.

Pemahaman yang rasional

Merumuskan kembali paradigma agama yang berorientasi pada pemenuhan cita-cita kemanusiaan dan peradaban menjadi agenda yang sangat penting dalam garapan Islam humanis. Kita bisa memastikan bahwa agama tidak kontra dengan realitas kemanusiaan gara-gara secara empirik sering terjadi "devaluasi agama", yaitu penurunan citra agama yang diakibatkan karena merebaknya fenomena kekerasan dan politisasi agama yang dilakukan oleh beberapa oknum pemeluknya.

Ajaran humanisme yang awalnya muncul di Barat, yaitu pada abad pencerahan (Aufklarung), posisi agama terkesan tersisihkan dari wacana pencerahan modernisme. Periode sekularisasi menghantui kehidupan masyarakat saat itu. Sekularisme kemudian mengikis dan menghabisi otoritas gereja yang telah lama menguasai atas kebebasan manusia, yaitu lewat penancapan simbol agama ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia. Hal demikian karena kehadiran agama justru memasung kemanusiaan.

Tentunya, apa yang terjadi di Barat berbeda jauh dengan apa yang terjadi dalam pengalaman sejarah Islam. Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki fondasi kuat tentang ajaran humanisme (kemanusiaan). Ajaran agama yang sangat respek dengan persoalan kemanusiaan mesti dibangun dengan penafsiran agama yang kontekstual. Penafsiran demikian akan lebih melihat kenyataan kebutuhan manusia hari ini. Relevansi penggalian pada aspek kesejarahan Islam dipahami bahwa teks harus berdialog dengan realitas perubahan zaman.

Pandangan humanisme dalam Islam bisa dieksplorasi dengan mengembalikan pemaknaan agama pada nilai-nilai kemanusiaan. Manusia perlu diperhatikan sebagai subjek dan objek dalam proses humanisasi agama. Apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan manusia dan masyarakat adalah tujuan dari pembelaan agama. Secara vertikal dan transedental, bisa saja pengamalan agama untuk orientasi kepada Tuhan, tapi jangan dilupakan bahwa dalam agama juga terkandung dimensi horizontal, imanental, dan humanistik, yaitu beragama untuk manusia dan demi memenuhi harapan kemanusiaan. Tekstualitas Alquran bertujuan untuk merekam kenyataan historis kemaslahatan umat manusia. Artinya, manusia yang melakukan dan untuk manusia pula.

Pemahaman agama secara rasional menjadi kebutuhan sejarah (historical necessity) bagi upaya humanisasi agama. Syariat, yang sering diposisikan sebagai domain wacana agama mesti ditafsirkan secara rasional, menurut ukuran kemaslahatan dan konteksnya. Rasionalisme dalam filsafat bisa membantu dalam pembacaan yang humanistik, dengan terlebih dahulu meyakini bahwa antara filsafat dan agama (syariat) bisa dikompromikan. Dalam at-Turats wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasyah (1991), Al-Jabiry menyatakan bahwa agama tidaklah menafikan metode burhani atau rasionalisme, justru malah menganjurkannya sebagai cara yang efektif untuk memahami agama secara rasional. Upaya untuk mengawinkan syariat dengan filsafat pernah dilakukan oleh Ibnu Rusyd melalui tulisannya berjudul "Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina al-Syari'ah wa al-Hikmah min al-Ittisal", dalam kitab Falsafah Ibn Rusyd (1968). Rasionalisme dalam kaidah hukum Islam bisa dilihat melalui metode Maqashid asy-Syari'ah" yang dikemukakan Asy-Syatibi, ketika memahami teks agama (syariat) dengan mengedepankan kemanusiaan dan kemaslahatan umat manusia.

Ketika sebuah teks berbenturan dengan realitas maka teks harus berdialog dan terjadi tawar-menawar dalam memahaminya. Terjadi dialektika atau dialog antara teks (wahyu) dan kebudayaan masyarakat. Tapi, tidak sepenuhnya teks itu tunduk terhadap realitas. Keberadaan teks merupakan perekaman atas maslahat kemanusiaan yang telah menjadi bagian utuh penampakan realitas.

Gagasan Islam humanis perlu dipertimbangkan. Pemahaman agama yang cenderung terpolarisasi ke dalam kubangan fundamentalisme dan sekularisme akan menyebabkan matinya potensi agama sebagai ajaran kemanusiaan. Menegakkan cita-cita kemanusiaan tidak perlu melepaskan dari baju agama. Tapi, dengan jalan mendialogkan antara wacana agama dan realitas kemanusiaan dalam posisi yang berimbang sehingga dihasilkan pemaknaan baru atas agama yang memang menjamin pemenuhan cita-cita kemanusiaan. Wallahu A'lam.

http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=145703&kat_id=16

No comments: