Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Wednesday, November 7, 2007

Bom Bunuh Diri dan Sikap Berani Mati

Oleh Happy Susanto

Dimuat di Harian Sinar Harapan, Sabtu, 23 Agustus 2003.

Aksi bom bunuh diri dan terorisme kian marak terjadi. Pada Selasa (19/8) lalu, terjadi aksi bom bunuh diri yang ditujukan kepada Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irak, yang telah menewaskan 24 orang dan melukai 100 orang lainnya. Pada hari yang sama, juga terjadi pengeboman bunuh diri di Yerusalem yang telah menewaskan sedikitnya 20 orang dan melukai sekitar 80 lainnya. Di Indonesia, beberapa saat yang lalu terjadi pengeboman di Hotel Marriott Jakarta yang telah menewaskan sekitar 10 orang dan melukai ratusan orang lainnya.

Sikap berani mati dengan melakukan bom bunuh diri menjadi bagian penting dari perjuangan suci (jihad) yang dilakukan beberapa kelompok agama. Mereka lebih melihat pada kehidupan eskatalogis (kehidupan setelah mati). Kematian demi menegakkan sebuah agama adalah tujuan mulia. Keabadian hidup hanya di akhirat kelak. Sikap ini tidak begitu memperhitungkan apa akibat tindakan tersebut yang nyata-nyata telah menimbulkan banyak korban kemanusiaan.

Keyakinan agama yang eskatalogis cenderung mengarahkan penganutnya pada sikap-sikap yang berlawanan dengan realitas sosial. Yang terpikir adalah penghambaan pada Tuhan, tanpa mau memahami kenyataan sosial yang ada. Maka, yang dikedepankan adalah sikap-sikap penuh kekerasan. Pada dasarnya, agama tidak menghendaki adanya praktik kekerasan dan sikap anti-kemanusiaan. Kita perlu menghadirkan agama yang bisa menjamin keberlangsungan hidup umat manusia. Agama adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).

Teologi Kematian

Siapa pun manusia yang hidup dan memiliki nyawa pasti akan mati. Kematian adalah sebuah kemestian. Martin Heiddeger menyatakan bahwa kematian adalah ”modalitas fundamental dari eksistensi yang hidup dan konkret” (fundamental modality of living, concrete existence).

Fenomena ”berani mati” sudah banyak terjadi. Biasanya sikap berani seperti ini karena memang dilandasi oleh keyakinan agama. Si pelaku bom bunuh diri yakin bahwa tindakannya adalah benar karena itu mengandung makna jihad untuk ”menghancurkan” ketidakadilan di muka bumi ini. Dorongan keyakinan agama seperti ini memang tidak sepenuhnya salah. Tapi, yang jadi persoalan adalah terletak pada sisi kekakuan dan kesempitan dalam memahami doktrin agama.

Sikap berani mati yang negatif telah menghinggapi banyak keyakinan umat agama. Keyakinan ini mengakibatkan pada aksi kekerasan. Sikap ”berani mati” yang positif, seperti diajarkan dalam banyak pengajian-pengajian keagamaan, justru adalah bagaimana kesiapan kita sebagai manusia yang hidup ini untuk menghadapi kematian. Manusia yang mempunyai amal baik hingga akhir hayatnya adalah insan yang khusnul khatimah (mati dengan baik). Yaitu, manusia yang akan diterima di sisi Tuhannya.

Dalam sikap berani mati, ada sebuah pertanyaan yang muncul: apakah Tuhan menghendaki hamba-Nya mengorbankan jiwa yang kita sendiri tidak tahu apakah itu baik menurut-Nya? Perlu digarisbawahi bahwa mati dan hidup adalah urusan Tuhan.

Yang penting kita lakukan adalah mempersiapkan amal dan ibadah untuk kematian yang mujur dan baik. Jadi, kita lebih melihat pada kenyataan hari ini dengan mempertebal amal shalih dalam pengamalan hidup sehari-hari. Harus ada kepedulian pada keadaan saat ini.

Agama tidak menghendaki adanya kekerasan, apalagi tindakan terorisme. Agama hadir dimaksudkan sebagai ”jalan kebenaran” untuk menegakkan kemanusiaan dan perdamaian di muka bumi. Jangan sampai, citra positif agama dilunturkan dengan sikap-sikap yang cenderung mengarah pada tindak kekerasan dan anti-kemanusiaan.

Irasionalitas pengamalan agama seperti inilah (mengandung sisi kekerasan dan anti-kemanusiaan) yang dikritik banyak filsuf ateis. Salah satunya adalah Sigmund Freud, seorang psikoanalis.

Freud menganggap bahwa agama hanya sebagai pemuasan pengharapan yang ditemukan dalam mimpi dan simtom neurotik. Kata Freud, agama adalah ilusi, pemuasan harapan manusia yang paling tua, paling kuat, dan paling mendasar.

Agama bukanlah cerminan pengalaman atau hasil akhir pemikiran manusia. (Die Zukunft einer Illusion dalam Studienausgabe 9:164).

Tentu, apa yang dimaknai oleh Freud adalah agama yang tidak menyejarah. Fungsi agama yang melulu normatif dan terlepas dari konteks historis pengalaman hidup manusia adalah bentuk ”impotensi” agama.

Agama hanya menjadi ”tempat pelarian” bagi manusia yang penuh keterasingan. Sehingga, agama dicurigai tidak mempunyai peran sosial yang signifikan untuk membebaskan manusia. Justru yang dikehendaki adalah bahwa agama bisa difungsikan sebagai agen transformatif (perubahan sosial).

Hakikat Pembebasan

Kebanyakan kita mungkin sering berpikir bahwa beragama adalah untuk Tuhan saja. Padahal, jika memang bentuk penghambaan itu ditujukan untuk Tuhan saja, tapi Tuhan yang bagaimana? Jangan-jangan, Tuhan hanya dalam proyeksi angan-angan pikirannya sendiri. Beragama adalah untuk Tuhan dan juga manusia. Tidak bisa dipisahkan!

Insan agamis jangan hanya memahami agama menurut keyakinan ilusif yang mengental dalam memori hati dan pikirannya. Apa yang terpikir olehnya bisa saja salah dan itu mesti ”dibenturkan” dengan kenyataan kompleksitas persoalan manusia.

Dalam memahami teks agama jangan sebatas sisi harfiahnya saja, lalu serta-merta diterima sebagai hukum dan makna agama. Dalam menginterpretasikan teks perlu melihat sisi kontekstual, yaitu dimensi ruang dan waktunya.

Apa yang dipahami pada masa lalu bisa saja berubah pada masa kini, disesuaikan dengan kenyataan yang sedang dihadapi manusia. Dalam beragama, kita juga perlu menggunakan pendekatan nalar dan rasionalitas. Untuk memahami teks kita perlu menggunakan pedoman akal budi. Hanya saja, terkadang akal tidak bisa menjangkau hal-hal yang supra-rasional.

Fenomena radikalisme dan atau terorisme disebabkan karena dalam memahami agama hanya terjebak pada sisi normativitasnya saja. Apa yang aku pahami menurut keyakinan harfiahku maka itu benar menurut Tuhan, dan aku harus melakukan apa yang menjadi bagian isi ajarannya.

Padahal, si penafsir juga mesti melihat apa di balik bungkusan teks itu, yang senyatanya pasti tidak akan didapati makna-makna yang cenderung mengarahkan pada tindak penuh kekerasan.Bisa saja kita katakan bahwa fenomena ”berani mati” merupakan bentuk ”pembebasan”. Tapi, pembebasan dalam pengertian melepaskan tanggung jawab atas ”ketidaksadaran” manusia dalam menerapkan hukum Tuhan yang diukur menurut kerangka subyektif pemikiran si penafsir.

Atau pembebasan untuk menghancurkan kekuatan imperialisme negara-negara kolonial, seperti negara AS yang ikut campur mengurusi negara-nagara Muslim. Bukan pembebasan dalam pengertian agama yang memiliki ajaran yang membebaskan umat manusia. Atau bukan dalam pengertian membebaskan manusia dari dosa dan kejahatan karena dengan kematian dia akan terlepas dari pengaruh itu semua. Pembebasan bisa bermakna apabila itu ada kaitan sosialnya. Tidak sebatas kehendak indivual semata.

Islam memiliki semangat pembebasan yang menghendaki penganutnya untuk menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian di muka bumi. Islam yang membebaskan menjadi harapan dunia saat ini.

Jika, pemahaman agama difungsikan menjadi doktrin yang membelenggu kesadaran kemanusiaan maka itu bukanlah agama sejati. Apa yang dilakukan oleh kelompok teroris dengan atas nama agama merupakan bentuk ”pembunuhan” atas jati diri kemanusiaan.
Apa yang dipraktikkan oleh beberapa pelaku ”teroris berbaju agama” menjadi bukti bahwa keyakinan agama yang sempit akan cenderung mengarahkan pada tindak kekerasan. Islam bukanlah agama yang mengajarkan demikian.

Apa pun yang dipikirkan manusia masih dalam frame konteks sosial. Apakah dunia ini hanya milik segelintir penganut agama yang tidak mau melihat realitas secara obyektif?Untuk itulah, sudah waktunya kita merenungi kembali hakikat keberagamaan kita ini.

Beragama adalah untuk Tuhan dan juga manusia. Dalam upaya penegakan keadilan dan kemanusiaan di muka bumi ini yang mesti dikedepankan adalah cara-cara yang baik dan terpuji. Bom bunuh diri bukan merupakan cara jihad positif untuk menghadapi sebuah persoalan pelik yang dihadapi dunia Muslim.Islam benar-benar merupakan agama yang penuh dengan rahmat dan kebaikan buat umat manusia, sangat mengedepankan sikap-sikap penuh perdamaian dan kemanusiaan, serta sangat anti-kekerasan. Wallahu a’lam.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0308/23/opi02.html

Menimbang Islam Humanis

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Republika, Jumat, 14 Nopember 2003.

Ada semacam stigma bahwa agama justru menimbulkan adanya gejala dehumanisasi atas kondisi kehidupan kontemporer. Agama sering dituduh karena menjadi faktor penyebab negatif atas tindak kekerasan dan ketidakadilan yang terekam dalam memori kesadaran manusia modern. Stigmatisasi semacam ini akan menghasilkan pemahaman yang keliru atas peran dan fungsi agama. Apakah agama berlawanan dengan kemanusiaan? Bukankah sejarah pemikiran dalam agama-agama juga menampilkan sisi di mana agama justru meneguhkan cita kemanusiaan sebagai tema sentral dalam objek wacana dan praksis agama?

Sejarah perkembangan pemikiran kemanusiaan pernah mengalami "pertarungan" antara peradaban agama (gereja) dan peradaban rasionalisme. Masing-masing kubu melakukan justifikasi dan saling tuduh mana yang sesungguhnya lebih berperan. Sejarah kemanusiaan mengalami proses kemunduran karena tidak ada ruang dialog antara humanisme yang muncul di Barat dan peradaban lainnya, yaitu agama dan kebudayaan lokal. Jarak antara humanisme dan agama inilah yang menyebabkan kesan bahwa kemanusiaan jauh dari peran agama. Padahal, pengembangan ajaran kemanusiaan bisa digali dari pendekatan agama.

Biasanya, tema-tema yang muncul dalam perdebatan antara Islam dan humanisme adalah seputar: rekonsiliasi antara wahyu dan rasionalisme, tradisi dan modernitas, sains modern dan Islam, dan sebagainya. Tulisan ini mencoba mengangkat tema hubungan antara Islam dan humanisme dengan iktikad untuk mencari konstruksi dialogis antarkeduanya. Sehingga, gagasan "Islam Humanis" dapat dikembangkan sebagai tawaran baru atas reposisi wacana Islam dan kemanusiaan.

Pijakan antroposentris

Penafsiran agama perlu diarahkan pada pembacaan yang lebih humanistik, pluralistik, dan progresif. Pemahaman teks agama yang kaku, rigid, hitam-putih, dan tektualistik, akan mengarahkan sang pembaca menjadi berpikiran sempit dalam mengamalkan agama sehingga yang terjadi adalah kecenderungan atas tindakan kekerasan, klaim-klaim kebenaran, dan sikap anti-pluralisme. Misalnya, kasus takfir (pengkafiran) dan fatwa hukum mati adalah bentuk kepicikan dalam pemikiran keagamaan model ini.

Umumnya, pemahaman agama selalu mengandaikan teosentrisme sebagai titik awal dan akhir pijakan dalam memaknai agama. Agama dan Tuhan menjadi dua term yang seakan sulit untuk dipisahkan. Ketika kita memahami agama ada kecenderungan bahwa itu adalah apa yang maksudkan Tuhan kepada kita. Teks-teks agama yang termaktub dalam Alquran dianggap sebagai kata-kata Tuhan yang sudah jelas dan pasti (mutlak). Padahal, perlu pemahaman secara kontekstual.

Pemahaman agama yang kita yakini kebenarannya merupakan tafsiran yang masih bersifat relatif. Agama adalah "jalan kebenaran" (syir'atan wa minhajan) bagi umat beragama untuk memahami kehidupan ini dengan bayang-bayang tuntunan dan pedoman dari kitab suci dan ajaran ilahi. Dengan agama, penganutnya akan mendekati (kebenaran) Tuhan dalam ragam pemaknaan, walaupun tidak bisa mendekatinya secara sempurna. Agama dan Tuhan harus dipisahkan karena yang satu adalah jalan untuk mendekati Tuhan, sedangkan yang kedua adalah tujuan akhir dari perjalanan. Klaim-klaim kebenaran hanya dimiliki oleh Tuhan, manusia hanya berhak memahami dan menafsirkan agama, dengan cara, bentuk, dan hasil apapun.

Pemahaman agama ada yang sifatnya masih melangit dan ada juga yang sudah membumi. Secara transendental, penerjemahan agama ditujukan sebagai bentuk penghambaan secara personal, vertikal, dan teosentris. Ibadah ritual dan umumnya syariat merupakan bentuk penghayatan dan pengamalan agama dengan orientasi pada Tuhan. Tapi, dalam sifat yang pertama ini tidak terjadi keterputusan makna dengan sifat yang kedua, yaitu imanensi. Pembumian ajaran agama memberikan ruang bagi manusia untuk secara kreatif berhak melakukan kegiatan duniawi secara rasional dengan tidak melepaskan dari ikatan substansial agama. Pembumian agama yang berpijak pada antroposentrisme akan memberikan jalan pada humanisasi agama. Di sinilah terjadi dialektika, yaitu manusia diberikan kebebasan untuk menjalani kehidupan dengan membumikan ajarannya dalam ranah sosial-keduniawiaan.

Pemahaman yang rasional

Merumuskan kembali paradigma agama yang berorientasi pada pemenuhan cita-cita kemanusiaan dan peradaban menjadi agenda yang sangat penting dalam garapan Islam humanis. Kita bisa memastikan bahwa agama tidak kontra dengan realitas kemanusiaan gara-gara secara empirik sering terjadi "devaluasi agama", yaitu penurunan citra agama yang diakibatkan karena merebaknya fenomena kekerasan dan politisasi agama yang dilakukan oleh beberapa oknum pemeluknya.

Ajaran humanisme yang awalnya muncul di Barat, yaitu pada abad pencerahan (Aufklarung), posisi agama terkesan tersisihkan dari wacana pencerahan modernisme. Periode sekularisasi menghantui kehidupan masyarakat saat itu. Sekularisme kemudian mengikis dan menghabisi otoritas gereja yang telah lama menguasai atas kebebasan manusia, yaitu lewat penancapan simbol agama ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia. Hal demikian karena kehadiran agama justru memasung kemanusiaan.

Tentunya, apa yang terjadi di Barat berbeda jauh dengan apa yang terjadi dalam pengalaman sejarah Islam. Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki fondasi kuat tentang ajaran humanisme (kemanusiaan). Ajaran agama yang sangat respek dengan persoalan kemanusiaan mesti dibangun dengan penafsiran agama yang kontekstual. Penafsiran demikian akan lebih melihat kenyataan kebutuhan manusia hari ini. Relevansi penggalian pada aspek kesejarahan Islam dipahami bahwa teks harus berdialog dengan realitas perubahan zaman.

Pandangan humanisme dalam Islam bisa dieksplorasi dengan mengembalikan pemaknaan agama pada nilai-nilai kemanusiaan. Manusia perlu diperhatikan sebagai subjek dan objek dalam proses humanisasi agama. Apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan manusia dan masyarakat adalah tujuan dari pembelaan agama. Secara vertikal dan transedental, bisa saja pengamalan agama untuk orientasi kepada Tuhan, tapi jangan dilupakan bahwa dalam agama juga terkandung dimensi horizontal, imanental, dan humanistik, yaitu beragama untuk manusia dan demi memenuhi harapan kemanusiaan. Tekstualitas Alquran bertujuan untuk merekam kenyataan historis kemaslahatan umat manusia. Artinya, manusia yang melakukan dan untuk manusia pula.

Pemahaman agama secara rasional menjadi kebutuhan sejarah (historical necessity) bagi upaya humanisasi agama. Syariat, yang sering diposisikan sebagai domain wacana agama mesti ditafsirkan secara rasional, menurut ukuran kemaslahatan dan konteksnya. Rasionalisme dalam filsafat bisa membantu dalam pembacaan yang humanistik, dengan terlebih dahulu meyakini bahwa antara filsafat dan agama (syariat) bisa dikompromikan. Dalam at-Turats wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasyah (1991), Al-Jabiry menyatakan bahwa agama tidaklah menafikan metode burhani atau rasionalisme, justru malah menganjurkannya sebagai cara yang efektif untuk memahami agama secara rasional. Upaya untuk mengawinkan syariat dengan filsafat pernah dilakukan oleh Ibnu Rusyd melalui tulisannya berjudul "Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina al-Syari'ah wa al-Hikmah min al-Ittisal", dalam kitab Falsafah Ibn Rusyd (1968). Rasionalisme dalam kaidah hukum Islam bisa dilihat melalui metode Maqashid asy-Syari'ah" yang dikemukakan Asy-Syatibi, ketika memahami teks agama (syariat) dengan mengedepankan kemanusiaan dan kemaslahatan umat manusia.

Ketika sebuah teks berbenturan dengan realitas maka teks harus berdialog dan terjadi tawar-menawar dalam memahaminya. Terjadi dialektika atau dialog antara teks (wahyu) dan kebudayaan masyarakat. Tapi, tidak sepenuhnya teks itu tunduk terhadap realitas. Keberadaan teks merupakan perekaman atas maslahat kemanusiaan yang telah menjadi bagian utuh penampakan realitas.

Gagasan Islam humanis perlu dipertimbangkan. Pemahaman agama yang cenderung terpolarisasi ke dalam kubangan fundamentalisme dan sekularisme akan menyebabkan matinya potensi agama sebagai ajaran kemanusiaan. Menegakkan cita-cita kemanusiaan tidak perlu melepaskan dari baju agama. Tapi, dengan jalan mendialogkan antara wacana agama dan realitas kemanusiaan dalam posisi yang berimbang sehingga dihasilkan pemaknaan baru atas agama yang memang menjamin pemenuhan cita-cita kemanusiaan. Wallahu A'lam.

http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=145703&kat_id=16

Sunday, November 4, 2007

Menyikapi Kasus “Aliran Sesat” Agama

Oleh Happy Susanto

Setelah lama tak terdengar, kini kasus tentang aliran keagamaan yang dinilai “sesat” oleh sejumlah ormas sosial-keagamaan kembali mencuat. Aliran al-Qiyadah al-Islamiyyah kini sedang mendapat sorotan publik. Tidak sedikit pengikut aliran ini yang mendapat teror dan kekerasan dari sejumlah kelompok masyarakat yang tidak setuju atau merasa resah dengan keberadaan mereka. Bahkan, ada banyak pengikut aliran ini yang ditangkap oleh pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.

Kasus ini mengingatkan kita pada kasus serupa pada pertengahan tahun 2005 di mana banyak pengikut jamaah Ahmadiyah yang mendapat perlakuan kekerasan dari sejumlah kelompok masyarakat yang merasa resah dengan keberadaan mereka.

Pemecahan terhadap masalah ini memerlukan cara yang baik dan bijaksama. Artinya, kita tidak boleh lagi gegabah dalam bersikap. Cara yang dapat dianggap gegabah adalah dengan cukup mengeluarkan fatwa bahwa aliran ini itu adalah sesat, maka persoalan dianggap sudah selesai. Namun, bagaimana faktanya? Cara seperti itu justru menyulut kemarahan sejumlah kelompok masyarakat yang memang selama ini sudah gerah dengan keberadaan aliran-alirang yang dianggap “sesat”. Aksi-aksi kekerasan akhirnya timbul. Apalagi, media massa yang ikut mengekspos secara besar-besaran pemberitaan tentang isu ini jangan-jangan juga ikut berperan dalam menyulut emosi publik.

“Aliran Sesat”

Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah telah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena dianggap telah mengingkari ajaran pokok Islam sebagaimana yang telah dibawakan Nabi Muhammad SAW (www.mui.or.id).

Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah didirikan pada tanggal 23 Juli 2006 oleh Acmad Moshaddeq alias H Salam. Ia sendiri mengaku sebagai nabi baru yang menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW dan mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Pengakuan itu muncul setelah dirinya melakukan pertapaan selama 40 hari 40 malam. Pelantikan H Salam sebagai rasul dilakukan pada tanggal yang sama di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat.

Kitab suci yang diyakini aliran ini tetap al-Qur’an. Hanya saja, mereka menafsirkan sendiri kandungan ajaran al-Qur’an, tanpa merujuk pada pendapat para ahli tafsir masa lalu. Mereka tidak mempercayai adanya hadits sebagai rujukan agama yang terpenting setelah al-Qur’an. Aliran ini memiliki syahadat baru yang tidak lazim seperti umumnya, yaitu “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna al-Masih al-Ma’ud Rasul Allah” (Aku bersaksi bahwa tidak Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa al-Masih al-Ma’ud adalah Rasulullah).

Aliran ini tidak mewajibkan ritual-ritual keagamaan, seperti shalat, puasa, dan haji. Dengan argumentasi hijrah sebagaimana dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW, ritual-ritual semacam itu tidak wajib karena umat Islam masih dalam proses pembentukan menuju sebuah al-khilafah al-Islamiyah (khilafah Islam). Ajaran dari aliran ini yang juga terasa aneh adalah sistem “penebusan dosa” yang dilakukan melalui pembayaran sejumlah uang kepada al-Masih al-Ma’ud, yaitu pimpinan jamaah mereka (Kompas Cyber Media, 25/10/2007).

Aliran ini terbilang masih sangat baru karena berumur kurang dari satu setengah tahun. Jika dianalisis secara kritis, memang argumen-argumen aliran ini terlihat banyak yang janggal. Namun demikian, kita perlu juga menghargai pendapat dan argumen mereka, terlepas kita sendiri menganggap bahwa aliran mereka itu adalah keliru atau salah. Mengapa demikian? Karena kita hidup dalam sebuah negara yang demokratis dan menganut prinsip kebebasan beragama. Apapun perbedaan yang ada perlu disikapi dengan cara yang elegan dan santun. Adanya “kelompok lain” (the others) yang bukan termasuk dalam mainstream Islam, tidak lantas menyebabkan kita berlaku diskriminatif dan kemudian “melenyapkan” mereka di muka bumi ini. Tentu, ada proses di mana masing-masing pihak perlu saling belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri.

Apakah era kebebasan dapat dijadikan penyebab mengapa “aliran sesat” sekarang ini banyak bermunculan? Jika kebebasan kemudian dijadikan “kambing hitam”, maka rasanya tidak fair karena sebenarnya ada banyak faktor lain yang dapat kita anggap sebagai penyebab munculnya aliran sesat. Di antara sekian banyak faktor, rupanya faktor kekeliruan pemahaman keagamaan yang diyakini oleh penganut “aliran sesat” adalah sebagai faktor utamanya. Mereka tidak memahai Islam secara komprehensif, namun justru memilah dan memilih mana dasar rujukan keislaman yang menjadi pedoman pemahaman mereka selama ini. Proses semacam itu sangat boleh jadi lebih didasarkan atas kepentingan hawa nafsu semata. Oleh karenanya, aliran semacam itu perlu “dirangkul” untuk diajak berdiskusi bersama tentang bagaimana memahami ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, bukan justru dimusuhi atau dijauhi dengan cara-cara teror dan kekerasan.

Perlukah Cara Kekerasan?

Ketika isu-isu seputar “aliran sesat” menyeruak ke publik, dengan cepat organisasi sosial keagamaan, masyarakat luas, termasuk pihak pemerintah dan aparat keamanan sangat cepat merespon isu-isu ini dengan berbagai cara. Ada yang dengan cara mengeluarkan fatwa sesat, ada yang ingin langsung menyerang para pengikutnya, dan juga ada yang menangkap para pengikut itu dengan dalih pengamanan dan pemeriksaan.

Namun, yang disayangkan respon berlebihan justru akan menimbulkan kontraproduktif terhadap image Islam itu sendiri sebagai agama yang santun dan damai. Sebab, tidak sedikit dari repon-respon yang muncul itu lebih bernuansa kebencian, klaim kesesatan, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah eksesnya terhadap tindak kekerasan dan teror. Masyarakat umum yang awalnya hanya mengetahui bahwa aliran itu tidak sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya, kemudian ikut-ikutan terdorong untuk melakukan tindakan kekerasan.

Cara-cara kekerasan dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan, baik itu menurut agama, etika, maupun prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat sendiri tidak dapat disalahkan begitu saja karena mereka berbuat itu didorong oleh sejumlah faktor penyebab awalnya. Entah itu karena adanya fatwa, ekspos media massa yang amat berlebihan, atau pernyataan-pernyataan sejumlah organisasi sosial-keagamaan yang pada akhirnya ikut mempengaruhi pandangan sempit mereka menjadi seperti itu.

Jadi, kekerasan sama sekali bukan solusi. Sebagaimana dikemukakan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin bahwa jangan sampai ada penghakiman dan tindak kekerasan. Mereka justru perlu dirangkul agar mau kembali ke jalan yang benar (www.detik.com, 29/10/2007).

Departemen Agama telah membentuk tim kecil yang bertugas meneliti lebih lanjut tentang keberadaan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah. Menurut Dirjen Bimbaga Islam, Nasaruddin Umar, pemerintah tidak boleh gegabah dalam menyikapi kasus ini. Oleh karenanya, perlu dibentuk tim kecil untuk meneliti aliran itu. Hasil dari penelitian tim kecil ini akan menjadi bahan acuan Depag untuk membuat rekomendasi tentang status aliran al-Qiayadah al-Islamiyah yang kemudian diteruskan kepada pihak Kejaksaan Agung dan Kepolisian (www.antara.co.id).

Kedepankan Dialog

Salah satu cara yang yang cukup elegan untuk mengatasi kasus “aliran sesat” agama adalah dengan melakukan kegiatan dialog, diskusi, atau debat publik. Melalui kegiatan semacam ini nantinya pemimpin dan pengikut “aliran sesat” al-Qiyadah al-Islamiyah akan dihadapkan pada pengujian terhadap argumentasi pemahaman keagamaan mereka selama ini. Jika ajaran dan pemahaman yang selama ini mereka pahami dan yakini ternyata keliru, maka mau tak mau akan ada proses “penyadaran” secara sendirinya.

Aliran-aliran semacam itu tidak perlu disikapi secara “panas” terlebih dahulu, baik melalui keputusan dan pernyataan sesat oleh sejumlah organisasi sosial-keagamaan atau melalui penangkapan terhadap sejumlah pengikut dan pimpinan jamaahnya. Mereka perlu diajak berdialog terlebih dahulu.

Dengan digelarkan berbagai dialog, diskusi, atau debat antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan kasus “aliran sesat” ini, maka diharapkan nantinya tidak muncul lagi aksi-aksi kekerasan yang tidak bertanggung jawab. Setiap kali ada isu bahwa aliran A atau B itu sesat, sudah sebaiknya isu ini tidak dilempar ke publik terlebih dahulu. Namun, pihak-pihak yang secara langsung berkepentingan dengan masalah ini, seperti Depag dan MUI, perlu melakukan dialog, diskusi, atau debat dengan aliran yang dianggap “sesat” itu. Hingga pada akhirnya biarlah “konsensus publik” yang akan menilai apakah aliran ini-itu sesat atau tidak.

Tentunya, cara di atas akan terasa efektif karena masyarakat juga akan mendapat pencerahan bahwa kita perlu bersikap santun dan bijak dalam menghadapi aliran-aliran yang cenderung dianggap “sesat” oleh kelompok atau organisasi lain. Proses dialog adalah bagian dari spirit demokratisasi yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam kehidupan keberagamaan kita di tanah air. Kapan lagi masyarakat kita dicerahkan melalui dialog dengan penuh keterbukaan, bukan klaim sesat semata? Wallahu A’lam.

Friday, November 2, 2007

Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI)

MelayuOnline.com - Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Yogyakarta

Mengadakan Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional

“Pandangan Politik Orang Melayu”


MelayuOnline.com memaknai istilah Melayu sebagai kultur yang melampaui sekat-sekat identitas berdasarkan kesukuan, etnisitas, ataupun entitas budaya dalam pengertian yang sempit. Ajaran dan budaya Melayu tidak lengkang meski telah dan masih berjalan dalam rentang waktu dan sejarah yang begitu panjang. Melayu bisa menjadi sumber pengetahuan untuk membangun konsep dan praktek politik yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab.

Situasi politik di tanah air akhir-akhir ini menggugah kita untuk memikirkan kembali bagaimanakah sebuah pandangan politik yang bisa disebut etis dan bertanggung jawab. Kondisi politik aktual menarik untuk dicermati melalui sudut pandang kemelayuan dan orang Melayu, mengingat kandungan khazanah Melayu yang begitu luas. Pemikiran, tradisi, dan etika kekuasaan terekam dalam teks-teks dan berbagai khazanah tradisi Melayu klasik.

Melalui lomba karya tulis ini, diharapkan nantinya akan muncul pandangan-pandangan menarik yang meneropong bagaimana potret politik dalam tradisi Melayu. Isi karya tulis ilmiah diharapkan mengandung gagasan yang inovatif dan memberikan sumbangan, baik secara konseptual terhadap wacana politik Melayu maupun secara aktual dalam praktek kehidupan politik nasional. Di samping itu penilaian akan mempertimbangkan keluwesan bahasa, kekuatan analisis, dan kesesuaian isi dengan tema lomba.

Ketentuan-ketentuan Lomba

A. Tema: “Pandangan Politik Orang Melayu” ini mencakup:

1. Etika Politik Melayu; misalnya perilaku politik para raja atau sultannya, hubungan antara Islam, politik, dan Melayu, dan sebagainya.
2. Pandangan tentang perempuan dalam politik Melayu; misalnya peran, kedudukan, dan partisipasi perempuan dalam politik Melayu.
3. Bahasa Melayu dan Politik Kebangsaan: Sudut Pandang Antropolinguistik; misalnya sejarah pembentukan bahasa nasional, serta hubungan antara Bahasa Melayu dan Politik Kebangsaan.

B. Syarat-syarat keikut-sertaan:

1. Lomba hanya dapat diikuti oleh minimal mahasiswa D1, staf pengajar, peneliti, dan aktivis.
2. Peserta dapat mengirimkan lebih dari satu naskah karya tulis.
3. Menyertakan pernyataan bahwa naskah karya tulis adalah asli bukan jiplakan/saduran/terjemahan, belum pernah diikutsertakan dalam lomba sejenis dan belum pernah dimuat di media massa atau jurnal ilmiah.
4. Menyertakan fotocopy KTP/SIM atau tanda pengenal lainnya yang masih
berlaku.
5. Menyertakan daftar riwayat hidup singkat.
6. Peserta dengan persyaratan yang tidak lengkap tidak akan diseleksi.

C. Format Karya Tulis:

1. Menggunakan kaidah-kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
2. Karya tulis dibuat dalam format kertas ukuran A4, spasi 1,5, memakai huruf Arial (11) atau Times New Roman (12).
3. Panjang karya tulis berkisar antara 3500-4500 kata.
4. Mencantumkan halaman di sudut kanan bawah.
5. Karya tulis dikirim rangkap empat, satu di antaranya harus asli bukan tindasan.
6. Untuk menjaga obyektivitas penilaian juri, nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah (lembar pertama).

D. Hadiah Pemenang:

Juara I : Rp. 5.000.000,00 dan tropi Gubernur Provinsi Riau
Juara II : Rp. 3.000.000,00 dan tropi Ketua DPRD Riau
Juara III : Rp. 2.000.000,00 dan tropi BKPBM
Juara Harapan I : Rp. 1.500.000,00
Juara Harapan II : Rp. 1.000.000,00
Juara Harapan III : Rp. 500.000,00

E. Pengumpulan Naskah Karya Tulis:

1. Pengiriman via pos:

Print out dan CD (dalam format Microsoft Word) beserta seluruh kelengkapan syaratnya dapat dikirimkan ke:
Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Jl. Gambiran 85A, Yogyakarta 55161, Telp (0274) 414233.
Batas akhir penerimaan naskah tanggal 15 Desember 2007 (cap pos dan paling lambat sampai di pihak panitia tanggal 17 Desember 2007 untuk pengiriman via pos).

2. Pengiriman via email:

Naskah beserta seluruh kelengkapan syaratnya (attachment KTP, Surat Pernyataan, dan CV) dapat dikirimkan ke lkti@melayuonline.com

F. Hal lain:

1. Pemenang akan dihubungi melalui pos atau email, atau dapat pula dilihat pada website: http://www.melayuonline.com.
2. Semua karya tulis yang masuk tidak akan dikembalikan dan hanya karya tulis yang mendapat penghargaan yang menjadi hak panitia.
3. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.
4. Peserta yang dinyatakan menang akan diundang sebagai peserta acara Milad Perdana MelOn pada tanggal 20 Januari 2008.
5. Untuk keterangan lebih lanjut lihat di www.melayuonline.com