tag:blogger.com,1999:blog-81500440248539386782024-03-12T18:22:00.674-07:00Blog Happy SusantoRefleksi dan Pemikiran yang Mencerahkan sebagai Kontribusi terhadap Peradaban Manusia yang HumanisHappy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.comBlogger33125tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-2681609583491855452015-06-02T16:58:00.002-07:002015-06-02T16:58:17.429-07:00Kajian Islam kontemporerHappy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-1764161640484161672010-03-02T19:06:00.000-08:002010-03-02T19:09:47.071-08:00DEBAT: Cesc Fabregas Sebaiknya Pilih Barcelona, Real Madrid, Atau Arsenal?Fabregas merupakan pemain vital di skuad Arsenal yang kini sedang diperebutkan Barcelona dan Real Madrid. Bagaimana sebaiknya ia menentukan sikap?<br /><br />Oleh Happy Susanto<br /><br />28 Feb 2010 23:45:00<br /><br />http://www.goal.com/id-ID/news/1570/debat/2010/02/28/1810927/debat-cesc-fabregas-sebaiknya-pilih-barcelona-real-madrid<br /><br />Pada Januari dan Februari yang lalu, sepakbola Spanyol banyak diwarnai dengan “perang kata-kata” di antara sejumlah klub raksasa tentang peluang transfer pemain pada musim panas mendatang. Barcelona dan Real Madrid masih melanjutkan persaingan, baik dalam perebutan gelar maupun dalam perebutan pemain bintang.<br /><br />Barcelona kini masih memimpin puncak klasemen Primera Liga dengan kenggulan dua poin dari rival terdekat Real Madrid. Mereka baru saja mengalahkan Malaga di Nou Camp akhir pekan lalu dengan skor 2-1. Madrid tak kalah mentereng. Pasukan Manuel Pellegrini menghempaskan Tenerife dengan skor besar 5-1. Persaingan kedua tim raksasa Spanyol itu masih sangat terbuka hingga musim ini berakhir.<br /><br />Barcelona dan Real Madrid sudah menyiapkan rencana transfer untuk musim panas nanti. Kondisi perekonomian yang tengah terjadi di Spanyol tak menghalangi niat kedua tim untuk berbelanja pemain dengan jor-joran, seperti yang dilakukan pada tahun lalu. Kedua raksasa itu sudah menyiapkan dana besar untuk memboyong sejumlah pemain top Eropa. Salah satu pemain yang mereka perebutkan adalah playmaker Arsenal Cecs Fabregas.<br /><br />Sebelum bergabung ke Arsenal, Fabregas merupakan didikan asli akademi sepakbola Barcelona. Karena kurang mendapat kesempatan tampil di tim inti Barcelona, sejumlah tim Eropa pun menyatakan minat untuk memboyongnya. Manajer Arsene Wenger memang dikenal piawai dalam membaca talenta-talenta muda. Pelatih asal Prancis itu akhirnya bisa mendidik Febregas menjadi seorang pemain Arsenal yang amat berharga.<br /><br />Arsenal tampil di Final Liga Champions 2005/06, tapi kalah dari Barcelona. Meski demikian, laga tersebut menjadi moment indah buat Fabregas untuk semakin dikenal oleh publik sepakbola, terutama di negaranya Spanyol. Sejak saat itu, Febregas mulai disebut-sebut sebagai salah satu gelandang terbaik di dunia. Ia pun berhasil selalu tampil sebagai pemain reguler bersama Tim Matador. Ia tampil di Piala Dunia 2006, tapi tidak begitu berpengaruh secara signifikan. Baru di ajang Euro 2008, ia layak disebut sebagai pemain penting yang sangat berkontribusi membawa Spanyol menjuarai kompetisi terakbar di Eropa itu.<br /><br />Fabregas memang telah berhasil meraih gelar internasionalnya bersama timnas Spanyol. Tapi, bagaimana dengan kesuksesan yang ia raih di Arsenal? Selama membela The Gunners, ia tak banyak mencicipi gelar juara. Tercatat hanya Community Shield 2004 dan Piala FA 2005. Bagaimana dengan Liga Primer? Belum.<br /><br />Sedikitnya gelar yang diraih Fabegas bersama Arsenal bisa jadi menjadi dorongan kuat baginya untuk meninggalkan Emirates Stadium. Ia tentunya ingin mencicipi banyak gelar yang lebih prestisius, terutama Liga Champions.<br /><br />Barcelona sudah membuka pintu. Pelatih Pep Guardiola pun mengaku kagum dengan kemampuan yang dimiliki Fabregas. Keahlian Febregas dalam mengolah si kulit bundar pastinya mengingatkan kita pada sosok Xavi. Posisi gelandang terbaik di dunia itu tak tergantikan di skuad Azulgrana. Fabregas berpeluang sebagai suksesor Xavi, tentunya jika ia jadi pindah ke Nou Camp.<br /><br />Selain Fabregas, Barcelona ternyata juga berminat mendatangkan bintang Bayern Munich Franck Ribery. Publik Catalunya sepertinya memimpikan Ribery bisa berduet dengan Lionel Messi, yang diyakini bakal menjadi duet maut gelandang serang terbaik di dunia. Tapi, Barcelona harus memutar otak jika ingin mendatangkan dua pemain bintang sekaligus. Alasannya tiada lain soal uang. Ya, Barcelona harus memilih Fabregas atau Ribery!<br /><br />Bagi sebagian besar fans Barcelona, mendatangkan Fabregas tak ada bedanya dengan mendatangkan seorang pemain biasa-biasa saja. Entah apa alasan mereka. Meski kurang begitu mendapat sambutan antusias, kehadiran Fabregas memiliki makna amat penting. Fabregas memiliki DNA Barcelona. Jadi, andaikata ia kembali bermain di klub yuniornya dulu, tentu itu akan terasa indah. Pemain didikan akademi Barcelona akan sukses di klub sendiri.<br /><br />Keinginan Barcelona untuk mendatangkan Fabregas dan atau Ribery mendapat saingan berat dari rival abadi mereka, siapa lagi kalau bukan Real Madrid. Klub pimpinan Florentino Perez itu sangat berambisi kembali mendatangkan sejumlah pemain bintang pada musim panas mendatang. Ribery memiliki hubungan yang amat dekat dengan penasihat dan mantan pemain bintang Los Merengues, Zinedine Zidane. Akhir-akhir ini tersiar kabar Ribery telah mendapat kesepakatan untuk bergabung ke Santiago bernabeu musim panas nanti.<br /><br />Bagaimana dengan peluang Madrid dalam merebut Fabregas dari jangkauan Barcelona? Peluang Madrid bisa dibilang tidak kecil. Pasalnya, Madrid sangat membutuhkan sosok pemain seperti Febregas. Sejak Zidane pensiun dari dunia sepakbola, praktis belum ada pemain yang layak menggantikan peran sang superstar. Jadi, kedatangan Fabregas ke ibukota Spanyol sangat ditunggu-tunggu.<br /><br />Meski memiliki peluang untuk meninggalkan Emirates Stadium, namun sosok Fabregas masih sangat kental disebut-sebut sebagai ikon Arsenal. Selain memegang ban kapten The Gunners, ia juga bertindak sebagai playmaker yang sangat menentukan permainan Arsenal selama ini. Bagaimana jadinya jika sang bintang hengkang?<br /><br />Banyak orang tak menduga Cristiano Ronaldo akan meninggalkan Manchester United pada musim lalu, mengingat betapa besar peran pemain asal Portugal itu di skuad The Red Devils. Sir Alex Ferguson pun sangat membutuhkan sosok Ronaldo untuk terus mendulang pundi-pundi gol United. Tapi, kini Ronaldo sudah berseragam Madrid. Dan, bisa saja hal itu menimpa pada diri Fabregas.<br /><br />Selain minimnya gelar dan prestasi yang diraih selama membela Arsenal, Febregas ternyata ingin sekali pulang kampung ke negaranya. Dengan kata lain, jika itu bakal terjadi, maka pilihannya tinggal Barcelona atau Madrid? Tapi, apakah Febregas memang perlu meninggalkan Arsenal hanya karena masalah nir-prestasi? Ia sangat muda dan masih berpeluang untuk mengukir prestasi di musim-musim berikutnya bersama The Gunners?<br /><br />Bagaimana menurut pendapat Anda, apa yang sebaiknya diputuskan oleh Fabregas pada bursa transfer musim panas mendatang? Bertahan atau hengkang? Jika pergi, sebaknya memilih Barcelona atau Real Madrid?Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-58723669456407913682009-01-29T22:42:00.000-08:002009-01-29T22:43:16.473-08:00Buku Baru tentang Panduan Menyusun ProposalJudul : Panduan Praktis Menyusun Proposal<br />Penulis : Happy Susanto<br />Tebal : x + 174 hlm<br />Ukuran : 15x23 cm<br />ISBN : 979-10044-19-8<br />Harga : Rp30.000,-<br /><br /><br /><br />Tidak semua orang dengan mudah bisa membuat proposal dan mengajukannya kepada pihak yang dituju hingga mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Yang terjadi justru kebanyakan orang hanya mampu membuat konsep rencana atau program, tanpa bisa menjabarkannya ke dalam sebuah proposal. Hal paling utama yang harus diperhatikan dalam membuat proposal adalah sifat "menjual" dari proposal tersebut. Artinya, proposal yang dibuat harus bisa memengaruhi orang, lembaga, atau pihak yang dituju, agar mereka mau menerima dan menyetujui hal-hal yang dijelaskan di dalam proposal.<br /><br />Buku ini merupakan buku panduan untuk menyusun proposal yang memiliki nilai jual tinggi. Di dalamnya dijelaskan cara menyusun proposal pengajuan dana, proposal pendirian usaha, proposal permohonan kredit, proposal pendirian usaha, proposal permohonan kredit, proposal penelitian, proposal kegiatan, dan proposal pengadaan barang/jasa. Sebagai pelengkap, di dalam buku ini juga dilampirkan contoh lengkap dari proposal-proposal tersebut. Buku ini sangat cocok untuk pelaku usaha, mahasiswa, dan masyarakat umum.Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-87803361479550458942008-12-01T22:56:00.000-08:002008-12-01T22:57:44.758-08:00Talkshow Buku Hak-Hak Konsumen di YogyaPelanggaran terhadap hak konsumen disebabkan beberapa faktor. Di antaranya faktor sikap pelaku usaha yang sering memandang konsumen sebagai pihak yang mudah dieksploitasi dan dipengaruhi untuk mengonsumsi segala bentuk barang/jasa yang ditawarkan. Faktor ini diperparah dengan kurang mengertinya masyarakat umum sebagai konsumen terhadap hak-haknya. Jika haknya diabaikan, konsumen tidak bisa berbuat apa-apa karena memang tidak tahu dan tidak sadar. Ketika sadar, mereka justru tidak mengerti bagaimana tata cara atau prosedur pengaduan dan penuntutan atas hak-haknya yang dilanggar.<br /><br />Ingin berdiskusi soal Hak-Hak Konsumen?<br />Kami undang Anda di Talkshow Buku Hak-Hak Konsumen (VisiMedia),<br />bersama: Happy Susanto<br />Sabtu, 6 Desember 2008<br />Waktu : 19.45-21.00 WIB<br />di Balai Kunthi<br />Gedung Mandala Bhakti Wanitatama<br /><br /><br />Acara ini tergelar dalam rangkaian Pesta Buku Murah Jogja: 5 Hari Obral Buku Cuci Gudang Akhir Tahun di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, 4-8 Desember 2008 <br /><br />www.visimediapustaka.comHappy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-20685364284692391382008-08-11T06:59:00.000-07:002008-08-11T07:01:49.852-07:00Promosi Buku "Hak-hak Konsumen JIka Dirugikan" di Solo 9 Agustus 2008Run Down Acara Super Pesta Buku Murah Solo 2008 "The Spirit of Book"<br />Graha Wisata Niaga Solo, 06-10 Agustus 2008<br /><br />Rabu, 06 Agustus 2008<br /><br />15.00-16.30 : Workshop Keterampilan "Aneka Aksesoris dari Roti Tawar"<br />oleh Dwi Ani (Gradien Mediatama) di panggung II<br /><br />19.30-21.00 : Pentas Band "The Glow" Bandung, Games, dan Talkshow<br />Buku "Kutu Kupret Sandal Jepret; Berani Buang Berani Sial" oleh<br />Michan (Gradien Mediatama) di Panggung I<br /><br />Kamis, 07 Agustus 2008<br /><br />10.00-12.00 : Workshop "Jarimatika" oleh Septi Peni W (Kawan Pustaka)<br />di Panggung I<br /><br />Jum'at, 8 Agustus 2008<br /><br />18.30-20.00 : Talkshow Buku "Mukjizat Gerakan Sholat" oleh Dr.<br />Sagiran (QultumMedia) di Panggung II<br /><br />Sabtu, 09 Agustus 2008<br /><br />10.00-12.00 : Workshop Penulisan Guru #1 oleh Redaksi Agromedia Group<br />di Panggung I<br /><br />13.00-15.00 : Workshop Penulisan Guru #2 oleh Redaksi Agromedia Group<br />di Panggung I<br /><br />15.30-16.30 : Talkshow "Humor Ganas" oleh Setyawan Tiada Tara<br />(Indonesia Tera) di Panggung I<br /><br />16.00-17.30 : Talkshow Buku "Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan" oleh<br />Happy Susanto (Visi Media) di Panggung II<br /><br />19.30-20.00 : Talkshow Buku "Istikharah Cinta" oleh Shodik<br />(QultumMedia) di Panggung II<br /><br />20.00-21.30 : Talkshow Buku "Asoy, Geboy, Bohay; Cerita Jayus<br />Mahasiswa Gokil" oleh M. Yudhi (Gradien Mediatama) di Panggung II<br /><br />Minggu, 10 Agustus 2008<br /><br />10.00-11.30 : Workshop Keterampilan "Membuat Bross Cantik dari Manik-<br />Manik" oleh Eryza Susilo (QultumMedia) di Panggung II<br /><br />11.30-13.00 : Workshop Keterampilan "Aneka Kreasi Kain Flanel" oleh<br />Retguntari (QultumMedia) di Panggung II<br /><br />13.00-15.00 : Bengkel Penulisan Remaja oleh GagasMedia di Panggung II<br /><br />16.00-17.30 : Talkshow Buku "Muka Marketplace" oleh Aca (Bukuné) di<br />Panggung II<br /><br />19.00-21.30 : Talkshow Buku "Babi Ngesot" oleh Raditya Dika (Bukuné)<br />di Panggung IIHappy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-43077841090462580672008-07-12T01:17:00.000-07:002008-07-12T01:19:21.958-07:00Telah terbit buku baru tentang perlindungan konsumenBuku ini merupakan buku ketiga saya tentang hukum (sebelum membahas hukum nikah Islam dan hukum gono-gini):<br /><br />Judul: HAK-HAK KONSUMEN JIKA DIRUGIKAN<br />Penulis: Happy Susanto<br />Penerbit: Visimedia Pustaka<br />Terbitan: Juli, 2008<br />Ukuran buku: 15 x 23 cm<br />Tebal viii+108 hal<br />ISBN 979-104-397-3<br />Harga: Rp 22.500,00<br /><br />Abstrak:<br /><br />Pelanggaran terhadap hak konsumen disebabkan beberapa faktor. Di antaranya faktor sikap pelaku usaha yang sering memandang konsumen sebagai pihak yang mudah dieksploitasi dan dipengaruhi untuk mengonsumsi segala bentuk barang/jasa yang ditawarkan. Faktor ini diperparah dengan kurang mengertinya masyarakat umum sebagai konsumen terhadap hak-haknya. Jika haknya diabaikan, konsumen tidak bisa berbuat apa-apa karena memang tidak tahu dan tidak sadar. Ketika sadar, mereka justru tidak mengerti bagaimana tata cara atau prosedur pengaduan dan penuntutan atas hak-haknya yang dilanggar.<br /><br />Buku ini mengajak kita semua, para konsumen, untuk mencermati masalah-masalah perlindungan konsumen, termasuk soal hak dan tata cara pengaduan jika dirugikan. Buku ini juga dilengkapi prosedur pengaduan yang dapat dilakukan oleh konsumen, serta dilengkapi alamat badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) se-Indonesia. Harapannya, konsumen yang dirugikan bisa segera bertindak sebelum kerugian yang ditanggung semakin besar. Dengan kata lain, menjadi bijak sebelum diinjak-injak.<br /><br />Salam,<br />Happy Susanto<br />08174849877<br />hpysusanto@yahoo.co.id<br /><br />VISI MEDIA <br />Jl. H. Montong No. 57<br />Ciganjur-Jagakarsa<br />Jakarta Selatan 12630<br />Phone: 021 788 83030<br />Fax: 021 727 0996Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-72766277663742256762008-06-05T21:14:00.000-07:002008-06-05T21:15:30.420-07:00Observing the Phenomena of Religious RadicalismBy Happy Susanto<br /><br />The Marriot Hotel’s bombing and previous bombings indicate that the “religious radicalism” movement is a dangerous latent power that suddenly emerges. Violence in the name of religion leads to a situation where religion is enduring a critical historical test. Religion’s pendulum hangs on the perception and behavior of its disciples and swings toward two sides, ‘humanization’ or ‘dehumanization’. <br /><br />Violence has been occurring for a long time. Violence is used as the effective means to fulfill the desire of individuals or groups of very complex matters. Violence is descending upon religions.<br /><br />Within the fading attraction of modernity, as conveyed by Max Weber, the attraction of religion is fading too. For a long time, research in Islamic thinking focused on the debate about the relation between tradition (religion) and modernity (transformation)<br /><br />Anyone who tends to reject modernity and uphold the function of religion’s formal role would tend toward the attitude of ‘fundamentalism’, and vice versa. While people who consider modernity as the only reality which could not be denied by shifting religious role, have a tendency to ‘secularism’; separating religion from the worldly life and separating religion from politics and the state. <br /><br />Violence results from the polarization of both parties. Violence often is committed by the religious fundamentalist group because they are often marginalized and oppressed by the secular power of the authorities such that there is no other means of struggle except violence. <br /><br />The Genealogy of Radicalism<br /><br />Sometimes we often generalize the terms of ‘fundamentalism’ and ‘radicalism’. Yet, both are different although they are originated from the same root. Fundamentalism (al-ushuliyah) is a belief to return to the fundaments of religion. It could be positive or negative. Negative excess caused by the fundamentalist view is an attitude of violence (extreme radicalism). <br /><br />Radical groups often use violence to fulfill their desire or interest. But, radical groups are not identical to violence. In this article, what is meant as religious radicalism is ‘the rigid religious attitude which contains violence”. It is mentioned in order to simplify the categorization. <br /><br />The genealogy of religious radicalism appears due to many reasons. In the case of Islam, Hassan Hanafi (2001) mentions that at least there are two reasons behind the violence in contemporary Islam. Firstly, it is due to the oppression of the prevailing political regimes. Islamic groups have no freedom of opinion. Secondly, the failures of secular ideology of the prevailing regime, hence the present of religious fundamentalism or radicalism are considered as ideological alternative as the only choice for Muslim communities.<br /><br />Violence within religion appears due to the lack of capability to face modernity and transformation. It should be highlighted that fundamentalism is the movement’s spirit of religious radicalism. Reading of fundamentalism has been done by Martin E. Marty and R. Scott Appleby in Fundamentalisms Observed (Chicago and London, 1991). They affirmed that those fundamentalisms are a defense mechanism which appears as a reaction over the threatening crisis. It is the circumstantial crisis that determines their existence. Karen Armstrong (2000) has written also that the growing fundamentalism currently has a strong connection to modernity.<br /><br />Since radicalism appears as a response to modernity we had better see the relation between tradition and modernity objectively. Modernity contained many negative excess too. We can’t deny that the influence of modernity implicate destruction of humanity’s existence. Modernity should be anticipated. But, anticipation does not cause a total denial in the name of religion. Modernity is a historical phase where there are positive and negative sides. <br /><br />The solution for violence. <br /><br />Violence is not a wise strategy for facing the world’s polarization due to the great upshot of modernity. Islam has many thoughtful frameworks for actualizing peace in the world. But exploration over the meaning of peace in Islam is contaminated by several violent attitudes by radical movements. The task of religionists is to find a solution to this violence, since violence is not an Islamic teaching. <br /><br />The fact that some actors of bombing or terrorism come from religious Islamic groups can be justified by radical Islam. But, is Islam like that? No. whatever is done by the radical Islamic movement contains conditional complexity. It means that under the shield of religion, what they have done is participate in political, ideological and non religious interests. So, it is not due to a narrow religious interpretation. <br /><br />Using Michael Foucault’s analysis, what has been done by radical Islam group has led religion toward its relation between knowledge and power. The discourse of knowledge of radical Islam group is that God’s law should be implemented in human life. In political terms, the discourse is a unification of ad-dien wad-daulah (religion and state). But the notion (knowledge) of religion is strengthened by the authority’s apparatus. Hence, the movement contains an ideological element. Negative excess due to violence leads religion to have a bad face. That’s why religion and power should be separated. <br /><br />Since violence is the consequence of modernity, so Peter L. Berger (2003) suggested two strategies for responding to modernity and secularization: ‘religious revolution’ and ‘religion subcultures’. The former is how clerics are capable to transform the society totally and present the modern model of religion. The later is how our effort is to prevent outside influences from affecting religion. <br /><br />This radical Islam movement emerges due to a rather textual, narrow, and black-white religious understanding. This understanding would easily lead the reader toward a rigid religiosity. Religious reading is being detached from its historical context. Religious understanding is dynamic. That’s why an open reading would deter us from the violence attitude. <br /><br />Solutions suggested in facing religious radicalism are: firstly, demonstrate Islam as the universal teaching giving direction toward the creation of peace on the earth. Secondly, there must be action to reject violence and terrorism. This action involves all groups within religions which do not desire violence. Terrorism and violence is a form of despising the name of religion and humanity. <br /><br />Thirdly, it is the time to raise a moderate religious characteristic and understand life’s dynamics by accepting “the other’s” thinking plurality outside of this group. A moderate plurality would eliminate polarization between fundamentalism and secularism in facing modernity and transformation. The middle Islam (ummatan wasathan) would form an Islam characterized by being democratic, open and rational.<br /><br />Islam fulfills humanity and summons peace as well. It is our task to deliver a positive image for Islam which is indeed humanist and is against violence. Only history would prove whether religion can be present as it is wished for. Wallahu a’lam.<br /><br />The article retrieved from: http://islamlib.com/en/page.php?page=article&id=657Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-9497122525000831132008-06-05T21:12:00.000-07:002008-06-05T21:13:38.651-07:00Kelantan Sultanate1. History <br />Little is known about the early years of Kelantan history. Some records and notes kept by the European and the Chinese people snap only parts of Kelantan’s picture in the past. They tell us about the origin of Kelantan as an administered land. Below are the aforementioned brief records: <br />1. According to the records of Claudius Ptolemy, the Greek geographer and astronomer, in his book Geography of Eastern Asia written in the second century, there are three locations laid in the East shore of Semenanjung Melayu (Malay Peninsula): “Kole Polis”, “Primula”, and “Tharra”. <br />2. G.E. Gerini, an Italian researcher, said that “Kole Polis” located in Kelantan. He contended that the name of Kelantan is derived from two combined words: “Kolo” and “Thana” or “Tanah” to become “Kolathana”, “Kolamtanah”, or “Kolantan”. <br />3. The Chinese writings, since the 6th century, have mentioned Kelantan in various ways. In the Liang Kingdom period (502-557 A.D), the Chinese said “Tann-Tann”, referring to Kelantan. While in the period of Sung Kingdom (960-1279 A.D), Kelantan was called as “Chi-lan-chau” or “Chi-lan-tan”. In the early 17th century, the Chinese said “Ko-lan-tan”, or “Ku-lan-tan”, all of which refer to Kelantan. <br />4. Besides “Tan-Tan” or “Tann-Tann”, there is a land often mentioned by the Chinese, namely “Chit-tu”, meaning Negeri Tanah Merah (The Red Land). It was associated with Negeri Kelantan. <br /><br />Many geographers, based on topographic and geographic consideration, contended that Chit-tu (Tanah Merah) or Raktamrittika was the Kelantan. A European historian, Paul Wheatley, was in line with the premise that Chit-tu was located in Kelantan. He based his statement on the early years of Raktamrittika Kingdom history, established by King Gautama in the 6th century. The King was the son of King Kalahtana. Chit-tu once was one of the Funan Kingdom’s colonies. Kelantan, in 1225 A.D, had ever been under the authority of Crivijaya Kingdom. <br /><br />Historically, in 1411 A.D. (814 H) Negeri Kelantan was ruled by the first King named King Kumar. Some historians still have wider debate over the genealogy of King Kumar. There is only one record confirming the King Kumar’s relations with one of the Chinese Kings. For example, in 1412 A.D, it is stated that King Kumar had ever received gifts included silk and diplomatic letters from a Chinese King <br /><br />King Kumar, who passed away in 1418 A.D, was succeeded by Sultan Iskandar Shah, the grandson of King Culan. According to the manuscript of Sejarah Melayu (Malay History), Culan was the King of Negeri Ganggayu or Klang Kio, located in the upper course of Johor River. Another reference, Ringakasan Cetera Kelantan (Summary of Kelantan History) written by Nik Mahmud Ismail, revealed another opinion saying that King Culan was the King of Negeri Perak. Up to now, still not found yet the sufficient data confirming what kinds of relation between King Kumar and Sultan Iskandar Shah. In addition, there is no sufficient evidence explaining the way Islam came to the land of Kelantan, considering that the second ruler, Sultan Iskandar Shah, had embraced Islam. <br /><br />After Sultan Iskandar passed away in 1465 A.D, the Kelantan was leaded by Sultan Mansur Shah. There are three versions of premises confirming the cognation of Sultan Mansur Shah with Sultan Iskandar Shah. The first version, cited from “Sejarah Melayu”, mentioned that Sultan Mansur Shah was the son of Sultan Iskandar Shah’s cousin. The second version, from “Ringkasan Cetera Kelantan”, contended that Sultan Mansur Shah was the son of Sultan Iskandar Shah. The last version, “Sejarah Negeri-Negeri Melayu” (History of Malay Kingdoms) written by Haji Muhammad Sidi Haji Muhd. Rasyid, mentioned that Sultan Mansur Shah was the cousin of Sultan Iskandar Shah. <br /><br />The Kelantan Sultanate entered its golden age during the period of Sultan Mansur Shah, especially in terms of its economic growth, depending largely on the agricultural sector. The Kelantan’s prestige was heard to the Malacca Sultanate, ruled then by Sultan Mahmud Shah. In 1477 A.D., he ordered the armed troops to attack the Kelantan Sultanate. Sultan Mansur Shah, at the time, had three sons: Raja Gombak, Unang Kening who married later on to Sultan Mahmud Shah, and Cubak. Sultan Mahmud Shah and Unang Kening had three sons, namely Raja Mah (daughter), Raja Muzaffar (son), and Raja Dewi (daughter). Raja Muzaffar who was born in 1505 A.D., became the Sultan Perak I with title Muzaffar Shah (1528-1540 A.D.). Raja Gombak replaced his father, Sultan Mansur Shah, who passed away in 1526 A.D., as the forth Sultan Kelantan, bearing the title Sultan Gombak (1526-1584 M).<br /><br />In 1548 A.D, Raja Ahmad, bearing the title of Sultan Ahmad, replaced the position of Sultan Gombak, who passed away, as the next Sultan. Sultan Ahmad, the grandson of Sultan Gombak, married to Cik Banun, the youngest daughter of Kelantan Nobleman Seri Nara Diraja. They had a daughter named Cik Wan Kembang. When Sultan Ahmad passed away in 1588 A.D., Cik Wan Kembang had been four years old. Therefore, Raja Hussin, the son of Raja Umar bearing the title of Sultan Ala Jalla Abdul Jalil Shah (King Johor, 1580-1597 A.D.), was asked to come to Kelantan to be the next (the sixth) Sultan of Kelantan with title Sultan Hussin. However, another source reveals that the coronation of Sultan Hussin was not proposed by then Kelantan administration. By then, in the 16th century, the Kelantan was one of the colonies of Johor. <br /><br />After Raja Hussin passed away in 1610 A.D., Cik Wan Kembang had reached the mature age and been installed as the seventh Sultan of Kelantan (1610-1663 A.D.). She was the first female Sultan in Kelantan. When she ruled the Sultanate, he settled in Mount Chinta Wangsa, Ulu Kelantan, located about 40 kilometers to the South East of Kuala Krai. The strategic location of the central Sultanate lured the domestic merchantmen and foreign traders to visit Kelantan, boosting its economic growth. <br /><br />During the period of Cik Wan Kembang, a small kingdom, named Jembal, had established in the North-east part of Kelantan. The Jembal Kingdom was ruled by Raja Sakti (1638 A.D). He was the foster child of Raja Bersiung Kedah. Raja Sakti died in 1649 A.D., and be replaced by his son, Raja Loyor. Cik Wan Kembang established close relation with the Jembal Kingdom especially with Raja Loyor. She, even, had adopted Princess Saadong, the daughter of Raja Loyor, as her foster daughter. After Cik Wan Kembang died in 1663 A.D., the Kelantan Sultanate was no longer ruled by the offspring of Sultan Iskandar Shah. The Kelantan’s ruler also no longer used Sultan, but King to name the higher position. The Kelantan afterwards was ruled by the Kings of Jembal. <br /><br />Regarding Princess Saadong, the foster daughter of Cik Wan Kembang, she married to King Abdullah, her cousin, after being persuaded by Cik Wan. They lived in Tegayong City (Tanah Serendah Sekebun Bunga Cherang Tegayong), and then moved to Jelasin City in Mahligai Region. She had ever been kidnapped by Commander of Siam named Phraya Decho to be brought to Narai Maharaja Siam (1656-1688 A.D.). The reason for kidnapping is still unknown. When going back to Kelantan, Princess Saadong had several arguments with her husband. King Abdullah died of puncture of hair bun’s Saadong. It was done unintentionally. Afterwards, Princess Saadong installed King Abdul Rahim, King Abdullah’s brother, as the Sultan in Mahligai City. <br /><br />Not much literature confirm the ruling period of King Loyor. He passed away in 1675 A.D. He was replaced by his brother, Temanggung Umar, bearing the title King Umar (1675-1719 A.D.). He had five sons, namely Raja Kecil Sulung, Raja Ngah with title Raja Hudang, Raja Nah, Raja Sakti, and Raja Pah. Being left by King Umar in 1719 A.D., Long Besar or Long Bahar was installed as the next King in Jembal (1719-1733 A.D.). This installation was proposed by the oldest daughter of King Umar, Raja Kecil Sulung. Long Bahar was the son of Raja Petani (Wan Daim) who bore the title of Datuk Pengkalan Tua. He had ever made a journey to the Kelantan Sultanate, together with his father. Long Bahar married to Raja Pah, the daughter of Sultan Omar. <br /><br />Long Bahar passed away in 1733 A.D. His position was replaced by his son, Long Sulaiman or Wan Anom Long Nik, bearing the title of Mas Kelantan. Long Sulaiman had three sons namely Long Yunus, Tuan Dewi, and Tuan Kembang. The last married to Long Deraman, the son of Tuan Senik Getting who ruled Legeh region. In 1756 A.D., a mysterious war broke out, aiming at overthrowing Long Sulaiman, who was murdered in the war. His position was then replaced by his cousin, Long Pendak as Raja Kubang Labu. Whereas his brother, Long Muhammad, was installed as Raja Muda. <br /><br />In 1758 A.D., Long Pendak passed away, murdered by Long Deraman for taking revenge. Long Pendak was accused of killing his own wife and Long Deraman’s brother named Tengku Tengah. Long Muhammad, then, replaced the Sultan Position, becoming the King in Kubang Labu City. During his period, some wars and conflicts broke out between Long Muhammad, who was assisted by Long Deraman, and Long Yunus, who was assisted by Long Gaffar, prince of King Reman in Hulu Perak. In 1762 A.D., both Long Muhammad and Long Deraman were killed in a fierce war. Finally, Long Yunus gained the full control of Kubang Labu Kingdom. As a reward, Long Yunus appointed Long Gaffar as Perdana Menteri (Prime Minister) in Kelantan who ruled from Jeram to Pasir Tumbuh. <br /><br />Long Yunus took the lead of Kelantan Sultanate between 1775 A.D and 1794 A.D. He was famous for his great capability in unifying the whole territory of Kelantan, which was once separated from the central Sultanate. He could make them submit to the one governmental system. <br /><br />2. Sultans of Kelantan<br />Below are the Sultans who had ever ruled the Kelantan Sultanate. The list is codified systematically according to the tenure of each Sultan:<br />1. King Kumar (1411-1418 A.D)<br />2. Sultan Iskandar (1418-1465 A.D)<br />3. Sultan Mansur Shah (1465-1526 A.D)<br />4. Sultan Gombak (1526-1584 A.D)<br />5. Sultan Ahmad (1584-1588 A.D)<br />6. Sultan Hussin (1588-1610 A.D)<br />7. Cik Wan Kembang (1610-1663 A.D) <br />8. Raja Loyor (1649-1675 A.D)<br />9. Raja Umar (1675-1719 A.D)<br />10. Long Besar or Long Bahar (1719-1733 A.D)<br />11. Long Sulaiman (1733-1756 A.D)<br />12. Long Pendak (1756-1758 A.D)<br />13. Long Muhammad (1758-1762 A.D)<br />14. Long Gaffar (1762-1775 A.D)<br />15. Long Yunus (1775-1794 A.D)<br />16. Sultan Muhammad (1794-1839 A.D)<br />17. Sultan Muhammad II or Sultan Mulut Merah (1839-1886 A.D)<br />18. Sultan Muhammad III (1886-1900 A.D)<br />19. Sultan Muhammad IV or Long Senik bin (son of) Long Kundur (1900-1920 A.D)<br />20. Sultan Ismail (1920-1944 A.D)<br />21. Sultan Ibrahim (1944-1960 A.D)<br />22. Sultan Yahya Petra (1960-1979 A.D)<br />23. Sultan Ismail Petra (1979 A.D - now)<br /><br />3. Sultanate Period<br />The Kelantan Sultanate have existed for about six centuries. During that period, Kelantan had experienced the political cleavage, beginning from the period of Cik Wan Kembang (1610-1663 A.D). The separation commenced when Jembal Kingdom proclaimed its independence from the Kelantan. By then, Kelantan was gradually overwhelmed with the wave of Patani wanderers who migrated from their region. The migrant could dominate the government in the period of Long Bahar. Long Yunus, the 15th ruler, could finally restore the Kelantan Sultanate’s power and made it as a unified territory. <br /><br />In the history of modern Malaysia, the Kelantan Sultanate is one of the 14 Negeri (States) under the federation of Malaysia Kingdom. Kelantan is also called as Negeri Kelantan Darul Iman, which is ruled now by Sultan Ismail Petra (Since 1979 A.D)<br /><br />4. Sultane Territory<br />The territory of Kelantan Sultanate covered the below region: Gua Musang (8,177 km2), Kuala Krai (2,277 km2), Jeli (1,318 km2), Tanah Merah (880 km2), Pasir Mas (569 km2), Machang (527 km2), Pasir Puteh (424 km2), Kota Bharu (394 km2), Bachok (279 km2), and Tumpat (177 km2). The Kelantan Sultanate located North-East of Semenanjung Malaysia (Malay peninsula), facing directly the South China Sea, bordered by Southern Thailand. <br /><br />5. Sultanate Structure<br />The structure of Kelantan Sultanate was inherited from the traditional Malay political system, in which the Sultan held the highest authority of Sultanate mandate. In administering the government, he was assisted by three clusters of Sultan assistants, namely: <br />1. Cluster of Sultan’s relatives; they are the offspring of the Sultan. <br />2. Cluster of noblemen; Those people bore title syed, nik, and wan.<br />3. Cluster of commoners who hold high position in the Kelantan sultanate.<br /><br />Their main job was to do all of their responsibilities and to carried out the direct order of Sultan. Their responsibilities included the palace’s custom affairs, administration, financial, legal, security, and foreign relations. One of the main jobs for the cluster of Sultan’s relatives is to install the Sultan who will rule the Sultanate. <br /><br />The above structure was effectively stipulated at the end of the 18th century, during the period of Long Yunus (1775-1794 A.D). He appointed his sons as such: Long Ismail (as Raja Muda), Long Jenal (as Treasurer), Long Tan (as Temenggung). His close friend, Long Ghafar, was appointed as Mangkubumi and Panglima Perang (Commander) bearing the title Tengku Sri Maharaja Perdana Menteri. Besides, there were other for positions: Raja Bukit Pancor (assumed by Long Yunus bin Long Yunus), Tengku Kota (assumed by Long Muda or Tuan Dagang bin Long Yunus), and Dato’ Kaya Hulubalang (assumed by son of Penghulu Adas). <br /><br />In the period of Sultan Muhammad the Second, or Sultan Mulut Merah (1839-1886 A.D), the then political structure experienced slight change with some additional positions and new titles, like below: <br />1. Sultan (Tuan Senik Mulut Merah)<br />2. Sultan Dewa (Tuan Senik Kota or Tuan Senik Penambang-baharu)<br />3. Hakim/Judge(Syed Jaafar-baharu)<br />4. Mufti/Religious Adviser (Tuan Abdul Rahman Muda bin Wan Othman-baharu)<br />5. Kadi/ (no sufficient data)<br />6. Perdana Menteri/Prime Minister (Engku Limbat bin Long Jaafar)<br />7. Pembantu Menteri Besar/Deputy of Prime Minister (Nik Abdul Majid atau Wan Abdul Majid bin Wan Yusuf bersama Nik Yahya)<br />8. Juru Tulis Diraja (the palace writer) or Setiausaha Sultan (Wan Abdul Kadir)<br />9. Ketua Istiadat (Head of customary affair) with the title of Dato Megat Mahkota <br />(picture)<br />The Gate in the Balai Besar Palace.<br /><br />In 1845 A.D, the above political system was changed along with the initiation of Jamaah Ahli Mensyuarat (Discussion team), whose members come from Sultanate officials. The major change was effective after the establishment of Bandar Kota Bharu (City) and Istana Balai Besar (Palace) in 1844 A.D. Below are the job desk for each positions: <br />1. Financial affairs, administered by:<br />1. Bendahara (treasurer) (conferred with Tengku before his name if the treasurer is one of Sultan’s offspring)<br />2. Seri Maharaja (conferred with Tengku before his name if the treasurer is one of Sultan’s offspring)<br />3. Seri Pakerma Raja<br />4. Seri Akar Raja<br />2. Military affairs, managed by:<br />1. Temenggung Aria Pahlawan<br />2. Seri Nara Diraja<br />3. Laksamana (Admiral)<br />4. Seri Kelana Diraja<br />3. Political affairs, administered by:<br />1. Seri Paduka Raja<br />2. Seri Amar Diraja<br />3. Seri Setia Diraja<br />4. Seri Diraja<br />4. Foreign affairs, run by:<br />1. Biji Sura<br />2. Biji Wangsa<br />3. Lela Utama<br />4. Lela Negara<br />5. Domestic affairs, arranged by:<br />1. Kaya Perba<br />2. Kaya Pahlawan<br />3. Kaya Hulubalang<br />4. Kaya Perwira<br />6. Administrative affairs (in palace), run by:<br />1. Seri Rakna Diraja<br />2. Bentara Guna<br />3. Penghulu Balai<br />7. Legal affairs, arranged by:<br />1. Senior Judge (borne by Hakim)<br />2. Kadi (responsible for Islamic law/Shariah affairs)<br />3. Hakim (Responsible for non-Shariah affairs)<br />8. Sultan Consultants:<br />1. Tengku Bendahara (similar to treasurer)<br />2. Tengku Temenggung<br />3. Seri Paduka<br /><br />The person who would replace the incumbent Sultan bore the title Raja Muda (literally means the Young King). In the Sultan Muhammad the fourth’s administration (Long Senik bin Long Kundur 1900-1920 A.D), 1911 in exact time, the title of “Raja Kelantan” was given to the candidate Sultan. But in 1944 A.D., by the suggestion of some advisers, the title was no longer used. It was so since many people assumed that the candidate would take the Sultanate’s responsibilities in the absence of Sultan when going abroad. The people thought that Raja Kelantan (Candidate) and Sultan Kelantan (The incumbent Sultan) were the same. Tengku Ibrahim, bearing the title Raja Kelantan, ascended the throne of kelantan Sultanate in June 1944 A.D. The title for the candidate was changed to the previous title: Raja Muda. <br /><br />6. Socio-cultural Life<br />According to the 2005 census of central government, the total population of Kelantan Darul Iman amounted about 1,373,173 people, consisting of: Gua Musang (80,167), Kuala Krai (97,836), Jeli (38,185), Tanah Merah (108,228), Pasir Mas (172,692), Machang (82,653), Pasir Puteh (111,001), Kota Bharu (425,294), Bachok (116,128), Tumpat (140,989). The Malay, about 95%, constitutes the biggest majority of Kelantan population, while the rests place the second, the third etc, namely Chinese (3,8%), Indian (0,3%), and others (0,9%). Islam is embraced by most of Kelantan citizens, for about 95 % of total population. Buddha ranks the second (4,4%), Christianity and Hindu the third (0,2% respectively), and other religion (0,2%). <br /><br />Agriculture and industry are the main livelihood of Kelantan population. In terms of agriculture, the population rely mostly on the sap, oil palm, and paddy. The wood industry, especially round timber, and plywood is the main revenue of Kelantan. <br /><br />The Kelantan Sultanate had strong relation economically and politically with the Patani Sultanate. Geographically, the two sultanates are very close. In terms of culture, Kelantan adopted a multicultural system, combinative of Malay, Islam, and Siam culture. Among the form of acculturation are folk games of Dikir barat, Main Puteri, Mak Yong, and other. Mak Yong, specifically, is influenced by the culture of Siam, Dikir Barat is largely adopted from Islam, and the Main Puteri came from Hindu-Siam culture. Another unique feature of Kelantan Sultanate is the gastronomic culture, different from Malay cuisine, such as Budu food. <br />(HQ/ter/106/04-08)<br /><br />References:<br />• Hamid, Rogayah A. and Mariyam Salim, Kesultanan Melayu Kelantan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006).<br />• “Kelantan”, in http://ms.wikipedia.org/wiki/Kelantan, retrieved at January 17th 2008.<br />• “Kota Bharu”, in http://sklaloh.kelantan.edu.my/kotabharu.htm, retrieved at January 26th 2008.<br />• “Sejarah Kelantan”, in http://ms.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kelantan, retrieved at Januariy 17th 2008.<br />• “Sultan-Sultan Kelantan”, in http://www.ppak.kelantan.edu.my/kelantan/kerajaan, retrieved at January 24th 2008.<br />Photo Credit :<br />• raykinzoku.fotopages.com<br />• www.geocities.comHappy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-24161380890736132372008-06-05T21:08:00.000-07:002008-06-05T21:09:47.796-07:00Folk Theatre of Mamanda1. The Origin<br />Mamanda, the native performing art of Banjar people in South Kalimantan Indonesia, was originally brought by some noble entourages to Malacca in 1897 A.D. Establishing trade relationship with the inhabitants of Kalimantan, the entourages introduced a completely foreign art as well. The performing art, known later on as Badamuluk, is originally based on the poems of Abdoel Moeloek. As the time goes by, the local people preferred to call it as Bamanda or Mamanda. Below, the history and development of Mamanda as a performing art in South Kalimantan will be presented. <br /><br />Beforehand, several traditional performing arts such as wayang topeng and joged were familiar to the South Kalimantan society since the Negara Dipa Kingdom ruled the region. Those arts gained more popularity and developed amidst the people after the coming of Islam, particularly since the establishment of Banjar Kingdom that was supported by Demak Sultanate. Thanks to the kingdom’s policy providing the freedom for its people to show freely their art expression. As a result, some other arts with Islamic feature, such as hadrah, rudat, and zapen Arab, begun to develop.<br /><br />The 16th century witnessed the beginning of fast development of art in South Kalimantan. By 1620 A.D, during the Panembahan Batu Putih (Sultan Rahmatillah) administration, some dance and music arts were introduced by some Javanese and Malay art experts. Prince Singa Marta, who was ordered to purchase a Bima horse by Sultan Banjar in 1701 A.D., was fascinated by the Princess Bima, a famous female artist. Later on, he asked her for marriage. Both sailed back to the South Kalimantan, familiarizing some original arts of Bima, among which were Jambangan Kaca dance and Pagar Mayang. The art received special attention from the people as well as from the kingdom. During the Prince Hidayat administration (1845-1859 A.D), the art was in the utmost importance and received special attentions. <br /><br />In 1897 A.D, Abdoel Moeloek entourage, commonly known as Komedi Indra Bangsawan, migrated from the Malacca Sultanate to South Kalimantan. Encik Ibrahim bin Wangsa and his wife, Cik Hawa, presided the group. Despite relatively short time of staying, the group was able to make the Malacca-origin-arts popular among the Banjarnese. In the 19th century, emerged a new performing art named Ba Abdoel Moeloek ar Badamuluk that was introduced by Anggah Putuh and Anggah Datu Irang. The art was inspired by a title of story on Abdoel Moeloek written by Raja Ali Haji’s nephew, Saleha. The popularity of Ba Abdoel Moeloek grew; it was heard to Pasar Lama Margasari, Periuk (Margasari Ilir), Pabaung, Merapian, and Hulu Sungai. Later on, Banjar people preferred to call it as Mamanda. <br /><br />According to Hermansyah (2007), Mamanda, as other folk theatres, constitutes an art emerging inside the society. It means that the development of Mamanda was inspired by the real need of then society; Mamanda was adapted to be relevant to the fast-growing society. At the onset, the society was in need of entertainment; gradually they were in need of combining the existing ceremony with the entertainment. Then, the Mamanda was created as a result of human creativity and interaction with their environs. <br /><br />Usually, simplicity is the key feature of folk theatre that emerges as society cultural expression. In Indonesia, such folk theatre, which is performed only by one to three people, can be easily found. Mamanda was a rhythmic expression of literature; later on it was accompanied by sounds of traditional music instruments. <br /><br />The word “Mamanda” is derived from two combined words: “mama” which means paman (uncle) and “nda” which means the respected. Thus, the word mamanda means the respected uncle. The word “paman”, in Banjar familial system, is widely used to identify someone in father’s age or older; Kings also utilized the word paman to accost his Mangkubumi (Deputy) or Wazir (Minister). In this regard, the kings said Mamanda Mangkubumi or Mamanda Wazir. Besides, poems of Banjar repeatedly mention Mamanda. <br /><br />There are two mainstreams of Mamanda:<br />1. Batang Banyu Mainstream is the performing art of Mamanda which is performed on the stage made on the water/river. Then, it is called Mamanda Batang Banyu (banyu means water). This performing art, usually called Mamanda Periuk, came from Margasari; it was the origin seed of Mamanda. <br />2. Tubau Mainstream (created in 1937 A.D): This kind of performing art originated from Tubau Rantai Village, and constitutes the new upgrading of Mamanda. Compared to the previous type of Mamanda, Tubau is more popular and widely practiced by Banjar people. The theme played on the stage is based on the stories or Hikayat of contemporary script. Overall, the performance follows the common pattern of folk theatre; it is commenced by ladon or konom, kingdom’s meeting, and a monologue. Instead of relying on music or dance, Tubau Mainstream gives priority to the plot of story. Different from Batang Banyu, Mamanda of Tubau is performed on the ground. Some people call it as Mamanda Batubau (batu means rock). <br /><br />Recently, Mamanda tends to be a pop-performing art. However, it still keeps its original features. Three main things are maintained in Mamanda: Banjar Language, symbols of cultural values, and social messages delivered to the audiences. Thus, the structure and the mainframe of Mamanda remain the same as it was. Other things that experience changes in Mamanda performing art are the dresses, music, some improvisation and art expressions. <br /><br />The Mamanda reached not only South Kalimantan, but also other regions including Kutai, East Kalimantan, Indonesia. In addition, Mamanda becomes known and performed in one of region in Sumatra Island that is Tembilahan Sub-district, Indragiri Hilir District, Riau Province, Indonesia. The development of Mamanda in Tembilahan is something to do with the history of Banjar community exodus from South Kalimantan to the region. This theme will be discussed in depth in other chapters. <br /><br />2. Forms of Mamanda<br />2.1. Players <br />Like other traditional performing arts, Mamanda is an art expression that shows the character of the players embroiling in the scene. Some of them play as the main player while the rest as supporting ones. The former should present in every scene while the last is expected to show up when the scene needs them. <br /><br />The main players in Mamanda are:<br />1. Sultan<br />2. Mangkubumi (Deputy)<br />3. Wazir (Minister)<br />4. Perdana Menteri (Prime Minister)<br />5. Panglima perang (Commander)<br />6. Harapan I and Harapan II<br />7. Khadam/Badut (Joker)<br />8. Sandut/Putri (Princess)<br />The players who acted as Sultan should be good looking, interesting and have clear voice. The role of Sultan, to manage the whole sultanate administration, will be played by Mangkubumi provided that the Sultan is sick or has activities outside the palace. For the sultanate’s affairs, the Sultan consults Wazir (Minister). Harapan I and Harapan II, in charge of security affairs and meeting administration, are under the monitor of Perdana Menteri. Khadam or badut is to entertain to the people especially to putri/sandut. <br /><br />The supporting players in Mamanda are:<br />1. Anak Sultan<br />2. Anak muda (Young man)<br />3. Dayang (Ladies)<br />4. Komplotan bial/penyamun (Robber)<br />5. Raja jin (King of genie) <br />6. Orang miskin (The needy)<br />7. Orang tua (Wise man)<br /><br />2.2. The Order of Performance<br />The stage appearance of Mamanda players is codified chronologically. Prior to the Sultanate meeting, some dances and songs, usually called baladon or ladun, are performed. The number of players in baladon is uneven; one of them, act as the leader while the others as the followers. Afterwards the players will go to the stage one after another. Below is the order:<br /><br />1. Harapan I and Harapan II<br />Harapan I and Harapan II appear in the stage, walking to the center, right beside the table court of Sultan. Both of them will mention their names, positions and their ability. <br /><br />2. Perdana Menteri<br />Perdana Menteri will walk forward and stand behind the Harapan I and Harapan II . As previous, the Perdana Menteri states his name and duty. Then, he inspects works of both Harapan. <br /><br />3. Sultan and his Staff<br />After receiving report from the Perdana Menteri, the Sultan enters the courtroom followed by his staff including Mangkubumi, Wazir, and Perdana Menteri. Sitting on the chair, the Sultan moves his stick and appraises the works of Harapan. Like Harapan and Perdana Menteri, the Sultan also mentions his name, position and responsibility. He also sings a song that commended his Sultanate. Some of the examples of the songs are:<br />a. Dua Mamanda Banyu Song<br />Batari yadan wayuhai lanya pangbastari yadan sayang saying<br />Angkaumu dangar, kasian banarai barpai sayang lanya pang barpari yadan sayang sayang<br />Salama saya dinagni pang dinagni<br />Salama lanya pang la sayang, yadan sayang sayang<br />Ramai bagaimana, ramai bagaimana, waduhai Ayahnda Wazir nang kusayangi nagri, dalam lanya pang, la nagri yadan sayang sayang<br />Ramai bagaimana, Ayahnda, Mamanda Mangkubumi nang kusayangi nagri di dalam lanya la nagri yadan sayang saya<br /><br />b. Dua Mamanda Tubau Song<br />Aduhai wazir<br />Usullah Darmawan<br />Aduhai wazir<br />Usullah Darmawan<br />Cukup atawa bukan<br />Waduhai uang pemberian <br />Yalan yalan yalan<br />Dengan sabanar jua wayuhai nang<br />Lamak sadang mangatakan<br />Betalah mangatakan, katakan,<br /> betalah mangatakan<br />Yalan yalan yalan<br />The Sultan, together with his staff, sing and dance. The stage is full of laugh and happiness. Sultan, then, expresses his thank to the audience. <br /><br />4. Panglima Perang <br />If the Sultan has sons, they should go to the stage before wards. They will be accompanied by several ladies. Sultan, after that, orders Harapan I and Harapan II to pick Panglima Perang up to the courtroom. At the end of meeting, the players will walk backside of the stage. Occasionally, some dances and songs are performed to fill the time. <br /><br />5. Other Players<br />In this scene, the players will go to the stage in order, according to the main script. <br /><br />6. Anak (Son of ) Sultan “Kurang Satu Empat Puluh”<br />This scene constitutes the last part of Mamanda folk theatre. The main performance is babujukan, asking for marriage conducted by Anak Sultan “Kurang Satu Empat Puluh”. Babujukan is mainly the dialogue mixed with dances and songs. Besides, Anak Sultan will try to get his loved princess through flattery. <br /><br />Each player going to the stage will be introduced by different monologues, according to their roles. The monologue will give brief information about the players, his name, position, competency, duties, and responsibilities. <br /><br />2.3. Language<br />In Mamanda, language is a means of communication to conduct a dialogue. There are two kinds of languages used in Mamanda <br />1. Language Used in the Sultanate Meetings<br />It is Malay Language with Dutch dialect and structure. It is so since the Mamanda first emerged in the colonial time. <br /><br />2. Language Used outside the Sultanate Meetings<br />Outside the Sultanate meetings, Banjar Language is used to communicate between the players. Banjar Language is the combination between Malay language and old Java Language. <br /><br />2.4. Clothing<br />The main clothing of Mamande folk theatre is the traditional costume of Banjar, consisting of clothes used for formal events such as meeting, court and informal events. Those clothes are used by the Sultan, noblemen, officials, prominent figures and commoners. Those clothes are:<br />1. Laung (headband).<br />2. Kamban naga balimbur.<br />3. Seluar singkat berliris tepi.<br />4. Belt, made of woven fabric with gold embroidery, like ukal belt, miring belt, and long belt used above the knee. <br />5. Main clothing, consisting of cloth used inside and outside. The last is usually knitted with gold yarn. The clothing for men is different from that for women. The women players usually wear baju kurung (Malay traditional clothing like dress), covered the chest and its length till the knee. They also use glove, long kebaya with gold yarn in its fringe; small droplets about three to five are put in its sleeve <br />Besides, the women also use the adornment of Banjar like: <br />1. Cucuk baju: pancar matahari, bulan saliris, and bulu ayam made of gold and silver. <br />2. Bracelet: kelana bracelet, jepon bracelet, marjan bracelet, and gelang rantai (chained bracelet).<br />3. Cucuk galing: daun, kembang sisir, and kembang goyang.<br />4. Necklace, such as cekak necklace, madapun necklace, marjan necklace, and tabu-tabu karawang.<br />5. Galung decoration: kembang goyang and untaian kembang melati (string of jasmine)..<br />6. Ring: agar mayang ring, batu ring, etc.<br />7. Rawing: rawing bulus, baitan, kili-kili, and bonil berumbai.<br /><br />Specifically, below are the details of Banjar clothing used by the players: <br />1. Sultan<br />The Sultan wears seluar bersirit tepi (cloth with small droplets) He puts crown, adorned with fur of white bird, on his head. <br />2. Prime Minister<br />The clothing worn by the Prime Minister is quite similar to that worn by the Sultan with slight difference. The Prime Minister, different from Sultan, doesn’t put the crown on his head; sometimes he doesn’t use any headgears. <br />3. Wazir (Minister)<br />The Wazir usually wears the inside cloth that is longer than the outside. He covers his head with the headgear with circle brim.<br />4. Panglima Perang <br />Panglima perang uses clothing with small droplets and he is equipped with sword. Lotus made of gold yarn is put on his shoulder. His headgear is laung, or like what is used by the other polices. <br />5. Harapan I dan Harapan II<br />Harapan I dan harapan II wear the clothing similar that used by cowboy, but with some small droplets. Both bring weapon and headgear.<br />6. Princess <br />The princess usually puts kebaya (blouse) or Baju Kurung (Malay traditional dress for women) on. She also wears crown. <br />7. Raja Jin (King Genie) <br />Commonly, Raja jin has mask on. If not, the Raja jin will cover his face with charcoal or red chalk.<br />8. Robber<br />The robbers use a headgear similar to the hat used usually in the western theatre. In addition, they use black glasses. <br />9. Young man<br />The young man usually uses white t-shirt with black bow tie. <br /><br />2.5. The Performance <br />The performance of Mamanda is basically simple and quite spontaneous. The instruments needed can be easily found, the point is the suitability with the need of Mamanda scenario. Regarding the place, Mamanda can be performed anywhere; it needs only stage and spaces for the audiences.<br /><br />The main equipments are chair and table, which are arranged according to scenario and plot. The performance is usually opened by emitting sounds to tell the audiences that the Mamanda will be commenced soon. The players will introduce themselves, interspersed with songs and dances. Afterwards, they will act like what has been written in the script. Each player will appear in the stage according to the scenario. Not only dialogue, but also dances and song that are shown in the stage. All of which are combined to vary the atmosphere. Some satires and constructive critiques are also conveyed within the dialogue. The players in Mamanda are demanded to improvise their role during the performance. <br /><br />2.6. Stories in the Script <br />The scenario of Mamanda is varied; it can be history, romantic, critique, social, and information. It is written from various sources and is adapted usually from hikayat, syair, 1001 night story, romantic books, history books, folk story, or it can use the common problem of current society as its main background. From those sources, the main story is created to be clear-cut message, white and black, good and bad, or angel and devil. The scenario in Mamanda, therefore, is simple and easily digested by the audiences. They can tell difference between what is accepted and is rejected. The audiences will not find any difficulties in comprehending the whole story and also find it easy the very moral message that is being delivered. <br /><br />2.7. Accompanying Music <br />During the performance, the folk theatre of Mamanda is combined with music, in forms of pantun (quatrain), syair (poem), hikayat (story), and dialogue, all of which are presented in arranged rhythm. The often songs chanted during the Mamanda are: <br />1. Dua Harapan Song <br />2. Dua Raja Song<br />3. Dua Gandut Song<br />4. Raja Sarik Song<br />5. Tarima Kasih (Sultan) Song<br />6. Baladun Song<br />7. Mambujuk Song<br />8. Danding Song<br />9. Nasib Song<br />10. Tirik Song<br />11. Japen Song<br />12. Mandung-mandungan Song<br />13. Stambul Song.<br /><br />3. Cultural Values<br />Not only for entertainment, the Mamanda is also performed for delivering some moral messages to the audiences. Like other performing arts, Mamanda took the setting of society as its main frame. It narrates and questions everyday life in form of artistic performance and dialogue. According to Hermansyah (2007), folk theatre functions, besides as a means of expression of artists and entertainment, it is also educational tools for the society. <br /><br />Looking at the plot of Mamanda, it can be found that most of stories used in the theatre are related to the human life. Those stories convey some important moral messages which one can take it as a guidance; they tell us about certain chapter of human life and teach us how to take it as an example. Even those stories reveal the worldview of society and their traditions. It means that, through Mamanda, the audiences can feel the beauty of Mamanda. At the same time, Mamanda also calls them to comprehend the experiences and suggestions presented in the performing art; that all bad deed, disloyalty, dishonesty, all of which will end in failure at last. What presented in Mamanda, more often than not, be the moral reference for the society. <br /> <br />Besides, Mamanda functions as a means of social critics. The players of Mamanda always provide satire and critique of social imbalance, injustice, and crime occurred in the society. Therefore, this form of performing art can be also interesting media for the society to convey their aspirations and hopes. In other words, Mamanda is a means of democratization within the local culture. <br /><br />4. Mamanda in Tembilahan<br />Besides in South Kalimantan, the folk theatre of Mamanda is also popular amongst the population of Tembilahan Sub-district, Indragiri Hilir District, Riau Province, Indonesia. How the Mamanda could win the heart of Tembilahan people? The main reason for that is the wave of Banjarnese migration from South Kalimantan to Tembilahan that happened in the 19th century. <br /><br />Looking at the exodus of Banjarnese, the next question is why such intriguing phenomenon happened? Problem and circumstance in South Kalimantan had encouraged some people to leave the region and find the new one. <br /><br />There are at least 11 ethnics of Banjarnese living in Tembilahan, Indragiri Hilir District namely Banjar Keluak, Banjar Amuntai, Banjarnegara, Banjar Kandangan, Banjar Barabai, Banjar Kuala, Banjarmasin, Banjar Pamengkeh, Banjar Martapura, Banjar Alabio, and Banjar Rantau. Among those ethnics, only three of them dominated the population of migrant that are Banjar Keluak, Banjar Amuntai, and Banjar Kandangan. Those people, along with their move, carried the art of Mamanda and developed it in the new homeland. <br /><br />The first wave of migration happened in 1859 A.D. The travel from Banjar to Tembilahan, which took long time, was motivated by the increasing pressure of the Dutch colonialism. The situation worsened as the Dutch succeeded at conquering the Banjarmasin Kingdom. The colonialists stipulated unpopular policy, called in Banjarnese irakan. This policy, same to kerja rodi, coerced the people into labor-intensive work. Hoping the better future, those people migrated to several areas, most of them to Tembilahan. <br /><br />Why did they choose Tembilahan? At an onset, they were about to settle either in Malaysia or Singapore. According to the 1824 A.D. London Treaty, both countries were under the rule of Great Britain. Those Banjarnese thought that the life under British’s rule was better than Dutch’s, popular as their inhuman treatment to the inlanders. However, desperate to the same circumstance under Britain, they continued the journey, and arrived in Indragiri Hilir in 1885 A.D. Perigi Raja was their first area to settle. <br /><br />One of ethnics in Tembilahan, Arbain, had ever organized an association of Mamanda, Perkumpulan Mamanda Parit Empat Belas. It is estimated to happen prior to 1950 A.D (between 1947-1949 A.D.). In 1950 A.D., Encik Arbain handed over the leadership of Perkumpulan Mamanda Parit Empat Belas to Encik Usman Ancau. His period marked the fast development of Mamanda. The story used in Mamanda still based on old literature such as Hikayat and Syair. In 1960 A.D., there was a shift amongst Mamanda artists to use the stories of people surrounding them. The musical instruments used in Mamanda was combined the modern instruments like violin, guitar, and accordion. <br /><br />The activities of arts were banned following the incident of G 30 S/PKI/1965. Encik Abdul Hamid restarted the Mamanda Parit Empat Belas in 1967 A.D. By then, about 12 associations of Mamanda were established. However, those associations were lost in the mists of time. Up to now, only two associations, Mamamanda Parit Empat Belas Association headed by Encik Ardani, and Mamanda Pulau Palas Association, that still exist. <br /> <br />References<br />Asmuni, F Raji. “Mamanda Nasibmu Kini”, in http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/7438/92/, retrieved on January 28th 2008.<br />Hermansyah. 2007. Mamanda Sebuah Teater Eksodus. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu in cooperation with Adicita Publisher . <br /> “Mamanda yang Makin Pudar”, in http://www.indomedia.com/bpost/052005/1/ragam/ragam2.htm, retrieved on Desember 24th 2007.Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-62558109629553734242008-02-13T00:08:00.000-08:002008-02-15T19:18:08.461-08:00Menginformasikan bahwa telah terbit buku baru:<strong>Judul : "Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian"</strong><br /><strong>Penulis : Happy Susanto</strong><br /><strong>Penerbit : Visimedia Pustaka Jakarta</strong><br /><strong>Ukuran : 13 x 20 cm<br />Cetakan : 1, Februari 2008</strong><br /><strong>Tebal : x + 110 halaman</strong><br /><strong>ISBN : 979-104-393-0</strong><br /><strong>Harga: Rp. 18.500,00<br /></strong><br /><strong>Abstrak</strong><br /><br />Masalah harta gono-gini ini sering menjadi isu hangat di masyarakat kita. Yang pada akhirnya menyita perhatian media, terutama pemberitaan perceraian di antara sejumlah artis yang sampai pada perselisihan tentang pembagian harta gono-gini. Kasus-kasus perceraian mengenai pembagian harta gono-gini di kalangan artis atau pejabat sering di-<em>blow up</em> oleh media massa.<br /><br />Membahas masalah harta gono-gini sangat penting dalam kehidupan rumah tangga. Masalah ini bisa menyangkut pengurusan, penggunaan, dan pembagian harta gono-gini jika ternyata hubungan perkawinan pasangan suami istri itu "bubar", entah karena perceraian maupun kematian.<br /><br />Pasangan suami istri yang bercerai biasanya akan disibukkan dengan urusan pembagian harta gono-gini. Bahkan, menurut kenyataan yang sering terjadi di masyarakat, masalah ini kerap menyebabkan proses perceraian menjadi berbelit-belit. Perceraian yang hanya tinggal selangkah lagi justru malah menjadi runyam. Mereka selalu berdebat dan menyoalkan mana yang menjadi bagiannya dalam harta gono-gini. Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa dirinya yang berhak mendapatkan jatah harta gono-gini lebih besar dibandingkan pasangannya.<br /><br />Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta gono-gini itu diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gono-gini ini diakui secara hukum, termasuk dalam hal pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Ketentuan tentang harta gono-gini juga diatur dalam hukum Islam. Pembahasan hukum harta gono-gini, baik menurut hukum positif maupun hukum Islam, dibahas secara mendalam dalam buku ini.<br /><br />Buku ini juga mengulas secara mendalam pembahasan mengenai perjanjian perkawinan. Penyelesaian masalah pembagian harta gono-gini jarang sekali diselesaikan secara tuntas dan memuaskan karena banyak pasangan suami istri yang tidak membuat perjanjian perkawinan sebelum menikah. Padahal, perjanjian ini sangat penting sebagai pedoman jika suatu saat nanti pasangan suami istri terpaksa harus bercerai karena permasalahan rumah tangga mereka yang tidak bisa diselesaikan dengan cara damai.<br /><br />Perbincangan tentang harta gono-gini dan juga perjanjian perkawinan sering luput dari perhatian masyarakat karena mereka sering menganggap perkawinan adalah suatu perbuatan yang suci sehingga tidak etis jika membicarakan masalah harta benda material. Namun faktanya, perbincangan mengenai isu-isu itu sangat penting sebagai panduan bagi pasangan suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga.<br /><br />Dengan membaca buku ini diharapkan masyarakat di tanah air dapat memahami secara jelas bagaimana pengaturan harta gono-gini yang sesungguhnya. Sehingga, diharapkan buku ini juga bisa memberikan kontribusi pemikiran yang berarti dalam perbincangan seputar harta gono-gini.<br /><br /><strong>Berikut ini adalah daftar isi buku ini:<br /></strong><br /><strong>Prakata</strong><br /><br /><strong>Bab I: Konsep Harta Gono-Gini dalam Perkawinan</strong><br /><br />A. Definisi Harta Gono-Gini<br />B. Realitas Harta Gono-Gini<br />C. Dasar Hukum Harta Gono-Gini<br />D. Harta Gono-Gini Menurut Hukum Adat<br />E. Klasifikasi Harta Benda dalam Perkawinan<br />F. Sifat dan Luasnya Harta Gono-Gini<br />G. Bubarnya Harta Gono-Gini<br /><br /><strong>Bab II: Ketentuan Hukum Positif tentang Harta Gono-Gini</strong><br /><br />A. Ketentuan Umum Hukum Harta Gono-Gini<br />a. Pengurusan Harta Gono-Gini<br />b. Hak Istri dalam Harta Gono-Gini<br />c. Penggunaan Harta Gono-Gini<br />d. Harta Gono-Gini dalam Perkawinan Poligami<br /><br />B. Pembagian Harta Gono-Gini<br />a. Cerai Hidup<br />b. Cerai Mati<br />c. Perkawinan Poligami<br /><br />C. Aspek Keadilan dalam Harta Gono-Gini<br /><br />D. Kiat Strategis Perhitungan Harta Gono-Gini<br /><br /><strong>Bab III: Harta Gono-Gini dalam Perspektif Hukum Islam</strong><br /><br />A. Pandangan Umum Hukum Islam<br />a. Pandangan Umum<br />b. Pemetaan Pandangan<br />c. Batasan Harta Istri<br /><br />B. Konsep Syirkah dan Harta Gono-Gini<br />a. Pengertian Syirkah<br />b. Macam-Macam Syirkah<br />c. Bentuk Syirkah dalam Harta Gono-Gini<br /><br />C. Pembagian Harta Gono-Gini Secara Adil<br /><br /><strong>Bab IV: Perjanjian Perkawinan</strong><br /><br />A. Seputar Perjanjian Perkawinan<br />a. Definisi Perjanjian Perkawinan<br />b. Tujuan Perjanjian Perkawinan<br /><br />B. Manfaat Perjanjian Perkawinan<br /><br />C. Peraturan tentang Perjanjian Perkawinan<br />a. Dasar Hukum<br />b. Masa Berlakunya Perjanjian Perkawinan<br />c. Syarat Perjanjian Perkawinan<br />d. Isi Perjanjian Perkawinan<br /><br /><strong>Daftar Pustaka </strong><br /><br /><strong>Tentang Penulis</strong><br /><br /><br /><strong>Happy Susanto</strong><br /><a href="mailto:hpysusanto@yahoo.co.id"><strong>hpysusanto@yahoo.co.id</strong></a><br /><strong>08174849877</strong><br /><strong></strong><br /><strong>VISI MEDIA</strong><br /><strong>Jl. H. Montong No. 57 Ciganjur-Jagakarsa Jakarta Selatan 12630</strong><br /><strong>Phone: 021 788 83030</strong><br /><strong>Fax: 021 727 0996</strong>Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-23122021890678790032007-11-11T18:17:00.000-08:002007-11-11T18:44:23.947-08:00Peran Agama dan Tanggung Jawab GlobalOleh Happy Susanto<br /><br />Dimut dalam <em>Harian Suara Pembaruan</em>, Kamis,13 Januari 2004.<br /><br />Problem terorisme dan ketidakadilan global menyisakan tanda tanya besar. Kedua persoalan ini menjadi ancaman besar bagi proses perdamaian dunia. Peran tokoh lintas agama dirasa perlu untuk bersama-sama ikut serta dalam menyelesaikan persoalan yang amat pelik ini.<br /><br />Selama ini sering dianggap bahwa dunia mengalami penguatan arus sekularisasi. Agama hanya ditaruh pada ruang privat, tidak memiliki akses luas pada dinamika masyarakat. Ternyata, sekarang ini teori sekularisasi mengalami fenomena pembalikan fakta. Masyarakat dunia justru menguat religiusitasnya.<br /><br />Dampak modernisasi tidak seluruhnya berimplikasi pada perombakan karakter religiusitas dalam ranah individual walaupun secara sosial kurang begitu tampak. Sehingga di mana-mana kian muncul berbagai macam identitas keagamaan.<br /><br />Lebih tepatnya bila dikatakan bahwa masyarakat dunia mengalami arus desekularisasi (<em>desecularization of society</em>). Penguatan religiusitas ini biasanya dihubungkan dengan fenomena fundamentalisme.<br /><br />Kita tidak memungkiri bahwa fundamentalisme agama menjadi sorotan publik global karena kecenderungan mereka dalam memahami tekstualitas agama secara sempit dan kaku akan berimplikasi pada tindakan-tindakan kekerasan.<br /><br />Munculnya fundamentalisme agama disebabkan karena ketidakmampuan dalam menyikapi modernitas dan segala bentuk tantangannya. Jawaban fundametalisme ataupun radikalisme tidaklah tepat karena hanya akan menimbulkan masalah-masalah besar bagi perdamaian dunia. Terorisme tidak bisa dilepaskan dari fenomena ketidakadilan global. Mengatasi persoalan terorisme perlu pula dibarengi dengan upaya membangun tatanan dunia baru yang adil dan beradab.<br /><br /><strong>Global Ethic</strong><br /><br />Agama-agama di dunia ini memiliki "tanggung jawab global" (<em>global responsibility</em>) untuk menyelesaikan pelbagai problematika yang ada di permukaan bumi. Hans Kung (1991) mengajukan tiga tesis penting mengapa agama perlu memerankan fungsi semacam itu: "<em>No survival without a world ethic; No world peace without religious peace; No religious peace without religious dialogue</em> (Tidak ada kelangsungan hidup tanpa etika dunia; Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama; Tidak ada perdamaian agama tanpa dialog antar-agama)".<br /><br />Bagi Kung, agama-agama mampu memberikan kontribusi penting bagi upaya kuat untuk membangun perdamaian dan keadilan. Tesis Kung berlawanan dengan tesis sekularisasi yang menganggap bahwa agama sedang mengalami disfungsi sosial. Kontribusi agama-agama dirasa sangat efektif karena memang sekarang ini banyak orang masih memegang teguh keyakinan agamanya. Dengan perkataan lain, agama masih menjadi harapan besar umat manusia.<br /><br />Untuk menyelesaikan persoalan terorisme dan ketidakadilan global, para kaum agamawan perlu melakukan kerja sama internasional untuk merumuskan langkah-langkah strategis bagi penyelesaian masalah tersebut. Salah satu tawaran yang pernah mencuat dan perlu dikembangkan lebih lanjut adalah tentang "etika global" (<em>global ethic</em>).<br /><br />Pada tahun 1993, di Chicago AS, The World Parliament of Religions menyelenggarakan pertemuan internasional lintas agama bertajuk "Declaration of a Global ethic". Acara ini dihadiri sekitar 200 tradisi agama-agama di seluruh dunia yang menghasilkan konsensus untuk bekerja sama dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan (<em>peace and justice</em>) di muka bumi.<br /><br />Sebenarnya, tawaran etika global adalah sebagai jawaban atas keterbatasan wacana yang diusung oleh eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Ketiganya hanya berhenti pada persoalan internal dan eksternal, yaitu tentang bagaimana menyikapi identitas diri sendiri dan bagaimana menghadapi identitas orang lain, tapi belum bisa beranjak pada upaya membangun wacana interreligius.<br /><br />Etika global menyimpan sebuah pesan bahwa sesungguhnya etika itu lebih penting daripada agama. Karena memang etika bukan persoalan melulu dari Tuhan, tapi itu sudah menjadi sikap natural manusia untuk saling cinta-mencintai antar sesama. Agama sering membuat pengotakan identitas antarmanusia, tapi etika justru meleburkan semua bentuk identitas itu agar secara bersama-sama masuk pada komitmen bersama tentang nilai-nilai utama moral kemanusiaan.<br /><br />Menurut Paul Knitter dalam bukunya <em>Satu Bumi Banyak Agama</em> (2003), Etika Global berupaya menyelesaikan dua persoalan mendasar yang harus dijawab oleh agama-agama.<br />Pertama, persoalan human suffering (penderitaan manusia), yang mencakup hal-hal berkenaan tentang kemiskinan, kekerasan, dan penipuan (<em>victimization</em>).<br /><br />Kedua, persoalan yang berkenaan mengenai <em>environment suffering</em> (lingkungan hidup). Yang terakhir ini juga sangat penting untuk disikapi secara serius karena memang berbagai peristiwa bencana alam dan kerusakan lingkungan, termasuk makin menipisnya lapisan ozon bumi menjadi ancaman eksistensial bagi kehidupan umat manusia.<br /><br />Perspektif etika global yang ingin direkomendasikan adalah tentang common understanding bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi. Ketidakadilan dan penindasan harus diberantas dan diatasi secara serius. Agama perlu memberikan komitmen dasar bahwa ketidakadilan dan penindasan adalah musuh utama kita bersama.<br /><br />Secara sederhana, dalam rumusan etika global perihal <em>human suffering</em> ini, ada empat komitmen global yang harus dipegang, yaitu: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan menipu, dan jangan berzina.<br /><br />Bila kita kontektualisasikan dalam bentuk makro, keempat komitmen itu bisa dipahami bahwa kita perlu menghindari tindakan kekerasan (<em>violence</em>), membangun solidaritas dan tatanan ekonomi baru yang berkeadilan, mengembangkan sikap-sikap toleransi, serta menciptakan kesetiaan dalam setiap bentuk hubungan sosial.<br /><br /><strong>Kerja Sama Antaragama</strong><br /><br />Kerja sama internasional antaragama sebagai bagian dari komitmen etika global sudah pernah diadakan di Yogyakarta, 6-7 Desember 2004, beberapa minggu yang lalu. Pertemuan itu berinisiatif untuk menggalang komitmen agama-agama untuk menghadapi kasus terorisme global dengan jalan perdamaian.<br /><br />Selama ini solusi terhadap kasus ini dilakukan dengan jalan kekerasan, sehingga tidak mampu mengeliminasi bagi kemungkinan-kemungkinan munculnya di masa mendatang. Karena, solusi kekerasan hanya akan dijawab oleh kekerasan itu sendiri.<br /><br />Hanya saja, acara semacam itu diharapkan tidak sekadar berhenti pada wacana saja, tapi yang lebih penting adalah sudah beranjak pada langkah praksis dan nyata. Biasanya, di mana pembicaraan penting dan serius tentang sebuah persoalan besar hanya berhenti pada wacana saja, dijadikan sebagai bagian dari simbolisasi pertemuan. Padahal, langkah praksisnya yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat umum.<br /><br />Kerja sama antaragama tidak cukup hanya dilakukan oleh kelompok elite agama saja. Sudah saatnya masyarakat bawah (<em>grass-roots</em>) perlu juga diajak dalam setiap perhelatan <em>interreligious dialogue</em>. Disebabkan karena perhelatan semacam itu diupayakan untuk merumuskan persoalan-persoalan mendasar dalam masyarakat, maka partisipasi <em>grass-roots</em> tidak dapat dielakkan.<br /><br />Mereka sangat tahu tentang konfigurasi dan karakteristik dasar persoalan yang sedang dirasakan masyarakat kelas bawah. Misalnya, persoalan tentang kelaparan, kekerasan, penggusuran, perburuhan, pertanian, dan berbagai macam persoalan wong cilik lainnya.<br />Para tokoh lintas agama perlu melakukan advokasi-advokasi dalam bentuk menghadirkan pembacaan agama secara moderat, humanis, dan progresif. Agama harus diproyeksikan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan dan keadilan.<br /><br />Orthopraksis agama menjadi bagian penting dalam upaya membangun tujuan-tujuan positif agama. Sehingga penafsiran agama perlu diorientasikan pada dimensi kemanusiaanya. Pemahaman seperti itu perlu dibumi-praksiskan dalam kesadaran masyarakat-agama kita. Karena kalau tidak, agama hanya sebuah ritus peribadatan tanpa makna apa-apa.<br /><br />Kita pun memerlukan perangkat teologi agama yang secara tegas menjamin pemihakan terhadap kaum tertindas. Teologi revolusioner berupaya memberikan perspektif baru tentang bagaimana sikap agama dalam menyelesaikan problem ketidakadilan sosial. Agama tidak bisa tinggal diam ketika penindasan dan ketidakadilan masih merajalela di mana-mana.<br /><br />Agama bukanlah sebuah kartu mati. Jangan sampai beragama justru berpotensi melahirkan sikap kekerasan. Agama manapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan. Sikap saling curiga-mencurigai antarpenganut agama harus dihapus. Sikap bijak yang harus selalu dikedepankan adalah toleransi dan kerja sama dalam menghadapi masalah bersama.<br /><br />Tahun-tahun ini adalah lintasan sejarah yang akan kita hadapi, namun sangat tidak mustahil akan dipenuhi oleh beragam persoalan pelik yang kian menambah daftar masalah kita bersama. Oleh sebab itu, peran agama dalam bentuk kerjasama-kerjasama konstruktif sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi positif bagi perbaikan hidup di masa mendatang. <em>Wallahu A'lam</em>.<br /><br /><a href="http://www.suarapembaruan.com/last/index.htm">http://www.suarapembaruan.com/last/index.htm</a>Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-10691411049800255962007-11-09T19:21:00.000-08:002007-11-09T19:27:04.185-08:00Pendidikan Gratis untuk Rakyat KecilOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat dalam <em>Harian Sinar Harapan</em>, Jum’at, 19 September 2003.<br /><br />Seorang siswa sekolah dasar menggantung diri karena tak mampu membayar kegiatan esktrakurikuler yang jumlahnya hanya Rp 2.500. Ia merasa malu karena ibunya tidak memiliki uang untuk memenuhi apa yang dibutuhkannya (<em>Kompas</em>, 25/8/2003). Berita ini sangat mengejutkan! Kemiskinan benar-benar sangat tampak dalam problem pendidikan kita. Dan kita tidak bisa hanya tinggal diam dengan melihat keadaan seperti ini. Mungkin masih banyak siswa sekolah lain yang keadaannya seperti bocah malang ini.<br /><br />Pada dasarnya, pendidikan adalah sebagai wahana kultural untuk mentransformasikan pengetahuan atau wawasan kepada masyarakat umum. Pendidikan merupakan instrumen pokok dalam proses pengembangan intelektual manusia, bukan sebagai tujuan material yang kemudian diperalat hanya untuk memenuhi kepentingan finansial. Sungguh sangat disayangkan, pendidikan di negara kita masih sangat terasa mahal. Bahkan, praktik pendidikan sering dijadikan ajang komersial untuk memenuhi kepentingan akumulasi kapital bagi sekelompok orang/pihak.<br /><br />Jika ditelisik, sebenarnya pendidikan harus menjadi perhatian terpenting dalam program pembangunan bangsa. Pendidikan sangat terkait dengan karakter pembangunan bangsa. Jika pendidikan bobrok maka pembangunan yang akan dihasilkannya pun akan bobrok pula. Bukankah kita telah mengetahui bahwa salah satu tujuan negara adalah bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa? Dan lagipula UUD hasil amandemen menyebutkan bahwa seperlima bagian dari seluruh APBN diperuntukkan bagi pendidikan. Tapi, apakah itu sudah diterapkan? Jika kita tanyakan pada masyarakat maka –sangat dimungkinkan-- banyak dari mereka akan berargumentasi bahwa lembaga-lembaga pendidikan saat ini lebih berorientasi mencari keuntungan ketimbang menciptakan misi mencerdaskan masyarakat.<br /><br />Ivan Illich menyatakan bahwa ”Pendidikan yang ada sekarang tidak membawa perubahan di masyarakat, melainkan hanya memperkuat struktur atas saja”. Artinya, pendidikan hanya dinikmati oleh kalangan atas saja, kalangan bawah tidak bisa mendapat akses ke arah penerimaan pendidikan yang bermutu dan benar-benar menjamin. Sekolah kita ibaratkan bagai membeli barang di supermarket, ternyata harganya serba mahal dan tak terjangkau. Hanya orang yang berdompet tebal yang mampu membayar (barang) pendidikan itu.<br /><br /><strong>Otokritik Pendidikan</strong><br /><br />Dalam literatur mengenai pendidikan kita menemukan dua tokoh yang sangat gencar mengkritik konsep pendidikan, yaitu Ivan Illich dan Paulo Freire. Pertama kita tengok pemikiran Ivan Illich. Dalam <em>Deschooling Society</em> (1974), ia mengkritik dua hal mengenai dunia pendidikan.<br /><br />Pertama, kecenderungan pendidikan formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipraktikkan dan melalui pemaketan nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Sehingga, peserta didik hanya diminta untuk mengejar formalitas nilai tanpa mengharapkan lebih pada kualitas proses pembelajaran.<br /><br />Yang penting dapat nilai bagus, yang penting lulus, dan yang penting bisa dapat ijazah --itulah yang menjadi ukuran dan kepentingan pendidikan, bukan proses bagaimana mencetak siswa yang berwawasan luas dan berkepribadian baik.<br /><br />Kedua, Illich mengkritik pendidikan hanya sebagai ”barang dagangan”. Tidak ada sekolah yang terbuka untuk menampung semua anak usia sekolah di masyarakat. Biasanya, kelas tertindas tidak mendapat akses pendidikan karena problem administratif atau birokasi sekolah. Dan yang jelas, ini dikarenakan tiada biaya untuk sekolah. Oleh karena itu, dalam pemikiran Illich, misi lembaga pendidikan modern sebenarnya mengabdi pada kepentingan modal, bukan sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Maka, dia sering disebut sebagai pengusung ide ”<em>emoh</em> sekolah!”.<br /><br />Di samping Illich, ada juga Paulo Freire yang sepuluh judul bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang sangat terkenal adalah Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES:1985). Seperti halnya Illich, arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan pada kaum tertindas (<em>the oppressed</em>). Ada dua konsep orang tertindas dalam pandangan Freire, yaitu tertindas karena ketergantungan dengan lingkungan sosial dan tertindas karena self<em>-depreciation</em> (karena perasaan diri sendiri bahwa dirinya bodoh). Untuk menghadapi permasalahan demikian, Freire dengan pandangan yang sangat humanistik menyoal mengenai konsepsi manusia. Manusia adalah incomplete dan unfinished beings. Untuk itulah, menurut Freire, manusia menjadi subyek harus mampu mengubah eksistensi dirinya untuk mengubah keadaan atau obyek yang ada di depannya.<br /><br />Konsep ”pembelajaran secara berproses” (sebutlah ”<em>learning by process</em>”) tidak mengenal kata akhir dalam pendidikan. Artinya, yang lebih kita perlukan adalah bagaimana proses untuk menciptakan manusia yang berkualitas dengan menjadikan pendidikan sebagai basis sosial pemenuhan kebutuhan bagi wawasan dan pengetahuan masyarakat. Kita sering berpikir bahwa manusia dalam hidupnya sering dikendalikan oleh dua faktor, yaitu genetik dan lingkungan. Tapi, kita sering lupa bahwa faktor manusia juga sangat menentukan. Untuk itulah, pendidikan yang membebaskan adalah bagaimana melepaskan manusia dari ”terali besi” (<em>iron cage</em>) kebodohan yang ada dalam dirinya. Kualitas pendidikan lebih melihat kondisi (internal) manusia, daripada hanya terbelenggu oleh ukuran-ukuran kuantitatif dan formalistik.<br /><br /><strong>Pendidikan Berbasis Kerakyatan</strong><br /><br />Dengan melihat realitas pendidikan saat ini maka sudah saatnya kita memikirkan kembali gagasan untuk menciptakan model pendidikan gratis bagi rakyat kecil. Yaitu model pendidikan yang berbasis kerakyatan, terutama rakyat kecil yang tidak mampu. Upaya ini perlu digelar agar bisa menampung beberapa anak usia sekolah yang memang tidak mampu untuk bisa mengenyam dunia pendidikan dengan baik. Hanya dengan kepedulian sosial yang tinggi langkah demikian akan menjadi kenyataan yang tentu akan terealisasi.<br /><br />Di tengah sulitnya mendapatkan pendidikan bagi rakyat kecil gagasan mengenai pendidikan gratis menjadi agenda penting yang perlu digulirkan. Hal ini kiranya bisa dikerjakan oleh beberapa oraganisasi masyarakat (ormas), yayasan, atau LSM yang bergerak di bidang sosial-kemasyarakatan untuk membuka kelas atau sekolah yang memberikan pendidikan gratis bagi masyarakat yang tak mampu.<br /><br />Tidak perlu dibuat dalam bentuk struktur birokratik atau menjadi terkesan formal. Kalau memang terbentur soal dana operasionalisasi pendidikan, seperti pengadaan buku pelajaran, maka strategi yang tepat adalah berani untuk memfotokopi buku atau modul sebagai acuan dalam proses pembelajaran.<br /><br />Lantas bagaimana dengan nilai dan ijazah? Mengenai nilai dan ijazah, dalam proses pendidikan ala kaum tertindas ini, keduanya tidak menjadi acuan utama. Seperti dikatakan Illich, nilai atau formalitas pendidikan hanya akan menghasilkan anak didik yang tak bermutu karena dipenuhi otak proyek pengumpulan nilai bagus dan demi ijazah saja, tanpa memperhatikan proses pengembangan diri secara dinamis.<br /><br />Dengan begitu, maka setidaknya kaum tertindas tidak lagi terjebak pada permainan komersial yang gencar dilakukan beberapa oknum kapitalis pendidikan (termasuk negara). Kita merasa sedih melihat banyak kaum miskin yang tidak sanggup membayar biaya sekolah. Siapa yang akan perduli dengan mereka?<br /><br />Piere Bourdieu, seorang sosiolog pendidikan, menyebut bahwa manusia saat ini tidak hanya melakukan kegiatan saham dalam bentuk material, tapi juga dalam bentuk symbolic capital, yaitu kapital yang bersifat simbolik tapi sarat makna dengan ragam kepentingannya. Kehidupan yang sangat aristokratis dalam relasi sosial akan sangat mudah membawa sistem pendidikan ke dalam model <em>symbolic capital</em>. Dengan gagasan pendidikan gratis untuk rakyat kecil, maka umumnya kaum tertindas akan bisa keluar dari kubangan dan jebakan aristokrasi pendidikan ini.<br /><br />Usulan untuk membebasan biaya pendidikan dasar dan menengah terkesan masih utopis bila melihat keadaan saat ini. Apalagi itu masih masuk dalam struktur negara atau pemerintah karena aturan prosedural tidak(?) menghendaki demikian. Langkah yang lebih memungkinkan adalah bagaimana meningkatkan subsidi pemerintah yang lebih menjanjikan bagi pendanaan pendidikan. Pendidikan gratis untuk rakyat kecil ini adalah sebuah langkah nonformal yang penting untuk digelar oleh beberapa komunitas sosial yang sangat konsern dengan dunia pendidikan saat ini. Sehingga, kejadian seperti yang menimpa bocah SD di Garut itu tidak akan terulang dan bertambah lagi. <em>Wallahu A'lam</em>.<br /><br /><a href="http://www.sinarharapan.co.id/berita/0309/19/opi02.html">http://www.sinarharapan.co.id/berita/0309/19/opi02.html</a>Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-53111843217351385432007-11-08T23:52:00.000-08:002007-11-08T23:59:18.358-08:00Komersialisasi PendidikanOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat di <em>Harian Jawa Pos</em>, Rabu, 25 Juni 2003.<br /><br />Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia sudah tidak lagi disubsidi oleh pemerintah dan secara otonom menjadi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Masing-masing PTN itu dituntut mencari dana mandiri. Lalu, digelarlah beberapa PTN yang membuka kelas jauh, kelas malam, kelas sabtu-minggu, kelas ekstensi dan sebagainya. Termasuk rekruitmen mahasiswa baru melalui jalur penelurusan potensi minat dan bakat (PMBP) sebagai jalur khusus yang dibedakan dari jalur penerimaan biasa (SPMB) dengan jatah kursi 20 persen.<br /><br />Jalur khusus penerimaan mahasiswa dinilai sangat diskriminatif dan berbau komersial. Jalur penelusuran minat terlalu bermotif uang sehingga mematikan potensi mahasiswa, terutama bagi yang tidak mampu.<br /><br />Calon mahasiswa yang memiliki orang tua berpunya dan memang mampu sangat besar kemungkinan peluang dan kesempatannya untuk dapat masuk kuliah di PTN besar. Tinggal memberikan dana antara 15 juta sampai 150 juta, mereka bisa kuliah di PTN yang diharapkannya. Uang lalu menjadi ukuran apakah seseorang itu bisa diterima di PTN atau tidak, bukan sepenuhnya atas dasar kemampuan akademik yang dimilikinya.<br /><br />Alasan yang dikemukan dalam model PMBP ini biasanya persoalan subsidi silang antara mahasiswa yang mampu dan yang biasa-biasa saja. Di saat PTN sangat membutuhkan dana besar sebagai konsekuensi atas kebijakan otonomi kampus maka pembukaan jalur khusus bisa sebagai jalan untuk penjaringan dana yang amat strategis. Boleh-boleh saja kalau kampus mencari dana untuk membiayai pengembangan dan operasionalisasi pendidikan, tapi kenapa perlu ada jalur khusus itu?<br /><br />Subsidi silang yang dihasilkan dari jalur khusus justru akan menimbulkan persoalan tersendiri. Ya, persoalannya adalah bagaimana kampus yang menerapkan model ini bisa mengatasi adanya kecenderungan komersialisasi dan diskriminasi. Dalam dunia pendidikan tidak ada kata komersialisasi! Kita bisa membaca secara seksama UU Sisdiknas Pasal 54 ayat (3) yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan badan nirbala (yang tidak mencari keuntungan). Sehingga kebijakan pendidikan yang mengarah pada komersialisasi harus dicegah oleh pemerintah. Kalau arahannya sudah komersil dikhawatirkan manajemen pendidikan akan lebih memusatkan pada persoalan bagaimana mendapat dana sebesar-besarnya, sehingga kualitasnya sendiri bisa kurang diperhatikan.<br /><br />Logikanya memang seharusnya dengan adanya dana yang besar, kualitas pendidikan bisa diandalkan. Saya kira logika itu bisa jadi malah terbalik. Bagaimana mungkin dengan dana yang besar jika perhatian manajemennya masih terbelenggu oleh perhatian yang amat berlebihan pada pemasukan dana daripada peningkatan kualitas dan mutu pendidikan, bisa memberikan jaminan pendidikan yang bagus dan handal? Itu terletak pada persoalan bagaimana pihak kampus bisa merekrut dan mencetak mahasiswa yang berkualitas, bukan hanya merekrut atau mencetak uang untuk pendidikan.<br /><br />Ada kekhawatiran bahwa apabila jalur khusus itu diterapkan maka jatah untuk mahasiswa di jalur biasa di mana dari mereka ada yang berpotensi dan tidak begitu mampu malah akan berkurang. Seharusnya jatah kursi mahasiswa disetarakan untuk siapa saja, baik yang mampu atau yang memang pas-pasan. Kalau alasannya mau mencari dana, saya kira, bisa dilakukan dengan program-program partisipatif kampus dengan berbagai lembaga yang bisa diajak bekerjasama. Kalau PTS banyak yang mampu hidup mandiri, kenapa PTN tidak?<br /><br />Jalur khusus akan menimbulkan benih diskriminasi dalam pelayanan pendidikan, termasuk pelayanan akademik, dan juga dalam dinamika kehidupan kampus. Di sana akan mencolok sekali antara mahasiswa yang mampu dan mahasiswa yang biasa-biasa saja. Jalur ini juga akan menimbulkan gejala komersialisasi pendidikan. Yang penting ada dana, ada jalan! Karena jalur ini sangat bermotif uang maka yang diperhatikan adalah sisi berapa banyaknya dana yang bisa diraih, tanpa mementingkan potensi mahasiswa yang bersangkutan.<br /><br />Tapi, ternyata komersialisasi pendidikan dalam penerimaan mahasiswa baru didukung oleh Mendiknas Prof. Malik Fajar, yang dinilainya adalah wajar. Kata beliau, “yang penting pengelolaannya dilakukan terbuka, transparan, dan akuntabilitasnya terjamin.” (<em>Jawa pos</em>, 17/6/2003). Yang menjadi perntanyaan: apakah jaminan komersialisasi akan memastikan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan kita? Bukankah apabila dunia pendidikan sudah dikomersialkan lalu yang bermain adalah uang, bukan potensi atau kemampuan mahasiswa itu sendiri? Ini sungguh ironis!<br /><br />Pendidikan kita memang terlihat agak suram. Setelah perhatian kita disita oleh perdebatan mengenai RUU Sisdiknas yang lebih memusat pada soal pendidikan agama, kini masalahnya beralih pada perdebatan mengenai jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di PTN.<br /><br />Pendidikan masih menjadi barang mahal yang jauh dari harapan dan kemampuan rakyat. Sudah semestinya pemerintah dan DPR memperhatikan dunia pendidikan sebagai pusat perhatian yang paling urgen dengan memperbesar dana dan kualitas yang dihasilkannya. Di tengah suasana yang amat susah seperti ini, pendidikan malah menjadi barang dagangan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang memang berduit dan mampu mengeluarkan seberapapun besarnya uang yang mesti dibayar.<br /><br />Fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan dengan menjual mahal kursi PTN harus dicegah secepatnya. Pendidikan bukanlah lahan bagi adanya komersialisasi dan diskriminasi. Pendidikan justru seharusnya menjadi basis peningkatan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang. Pendidikan juga seharusnya bisa menumbuhkan kesadaran kebersamaan dalam menghadapi persoalan yang ada di hadapannya secara kritis dan kontrukstif. Jangan justru malah dibuat secara diskriminatif dan komersil sehingga hanya segelintir mahasiswalah yang mampu mengakses pendidikan itu. <em>Wallahu A'lam</em>.Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-32958822395359976062007-11-08T00:10:00.001-08:002007-11-08T23:52:14.215-08:00Tafsir Agama, Feminisme, dan Teori PoskolonialOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat di <em>Harian Republika</em>, Rabu, 04 Februari 2004.<br /><br />Kajian mengenai feminisme tidak bisa dilepaskan dari proses reproduksi pemaknaan agama dalam menyoal perempuan. Wacana agama yang dihasilkan dari proses penafsiran itu pada dasarnya sangat tergantung kehendak si penafsir. Dalam tulisan ini, wacana tafsir agama mengenai feminisme dianalisa dengan pendekatan teori poskolonial. Dalam studi poskolonial, monopoli tafsir dalam memaknai sebuah pemahaman agama, tanpa menghendaki adanya "tafsiran yang demokratis" maka itu berarti bahwa agama justru menjadi ajang "kolonialisasi".<br /><br />Dalam wacana agama dan feminisme, perempuan sering diposisikan sebagai kelompok yang ter(di)pinggirkan, ter(di)tindas, dan tidak memiliki hak bicara secara signifikan. Gayatri Spivak pada tahun 1985 menulis sebuah esai berjudul "Dapatkah Subaltern Berbicara?" Tulisan itu merupakan "gugatannya" atas kebutaan ras dan kelas -- terutama dalam memposisikan perempuan -- yang terjadi di dunia akademik Barat. Subaltern secara harafiah diartikan sebagai "peringkat yang lebih rendah".<br /><br />Spivak ingin mengatakan bahwa perempuan seringkali diposisikan sebagai pihak yang lebih rendah -- dan ternyata penciptaan seperti ini sering "terpampang" dalam wacana agama. Apakah agama memang menghendaki perempuan sebagai "barang rendahan", sepenuhnya di bawah otoritas laki-laki (ideologi patriarkat), dan tidak mungkin mendapatkan keadilan jender? Tentu tidak! Ternyata, problemnya terletak pada ketiadaan penafsiran yang elegan, kontekstual, dan terbuka dalam membicarakan feminitas (persoalan perempuan). Hanya dengan penafsiran yang terbuka dan kontekstual maka agama sejatinya memiliki semangat dan kepekaan yang sangat besar dalam menghendaki keadilan jender.<br /><br />Dalam buku <em>Postcolonialism, Feminism, and Religious Discourse</em> (Routledge: 2002) yang merupakan hasil editing Laura E Donalson, Pui-Lan Kwok, dan Kwok Pui-Lan, ditegaskan bahwa kaitan antara wacana agama dan feminisme yang dihubungkan dengan wacana poskolonialisme sangat erat sekali -- hampir tidak bisa dipisahkan. Kuncinya terletak pada wacana agama yang dikondisikan oleh situasi dan kehendak sang penafsir.<br /><br />Apabila, wacana agama ditafsirkan menjadi anti-jender maka kecenderungannya adalah "kolonialisasi" (penjajahan) atas perempuan dalam bentuk apapun, baik secara fisik maupun pada sisi pembelengguan atas kesadaran dalam konstruksi berpikir kaum hawa. Dalam wacana agama, khususnya mengenai perempuan, terjadi ajang "kontestasi" antarberbagai pihak yang berkepentingan dalam memproduksi makna agama. Sehingga yang muncul adalah makna (<em>meaning</em>) yang lebih memenuhi kebutuhan laki-laki, dengan catatan bahwa itu tidak didasari atas pengharapan dan kenyataan bahwa perempuan tidak selayaknya diposisikan di bawah. Makna semacam ini perlu dicurigai (<em>suspiced</em>), tentunya!<br /><br />Hubungan final antara teks dengan tafsirnya harus "dibongkar". Teks dan tafsir sangat terikat pada si penafsir dan konteks yang "menggumuli" selama proses pembentukan teks. Untuk itulah, perlu ada "rekonstruksi tafsir" dalam memahami teks mengenai perempuan. Dengan demikian upaya ini akan berimplikasi pada penghapusan monopoli tafsir yang dilakukan oleh otoritas tertentu yang berbicara atas nama Tuhan, agama, dan juga kekuasaan. Tafsir yang berlaku dalam wacana poskolonial adalah tafsir yang demokratis, menegasikan kecenderungan potensi hegemonisasi, dan pemaknaan yang tidak menghendaki absolusitas terhadap pemaknaan yang diwacanakan "yang lain" (<em>the others</em>), alias penafsir di luar dirinya.<br /><br />Rekonstruksi tafsir semacam itu sebenarnya pernah digagas oleh Edward Said, yang terkenal lewat bukunya <em>Orientalism</em> (1978) dan merupakan salah satu pemikir poskolonial. Said ingin menguraikan praktik multikultural yang berlangsung dalam bidang sejarah tafsir. Dan proses rekonstruksi ini dimaksudkan sebagai jalan pembebasan menuju pemahaman transnasional yang lebih persuasif atas sejarah suatu kaum melalui peninjauan ulang atas heterogenitas dan hibriditas. Dengan meminjam kerangka pikir Said ini, pembacaan kita terhadap wacana agama dan feminisme lebih melihat pada "pembebasan perempuan" (<em>liberty of women</em>) dan melihatnya menurut keragaman budaya masyarakat yang ada, bukan patriarkhi semata.<br /><br />Penciptaan makna agama yang lebih mengukuhkan kekuasaan patriarkhi, sesungguhnya dalam prosesnya terselubung "ideologisme" antara tafsir agama dan konteks kekuasaan kaum laki-laki pada saat itu. Michel Foucault, seorang filsuf posmodernis, menengarai adanya hubungan antara "pengetahuan" dan "kekuasaan" (<em>knowledge and power</em>), yaitu bahwa kekuasaan menentukan pengetahuan, dalam arti: menetapkan tipe-tipe diskursus yang benar dalam arti yang "<em>works</em>"; menetapkan mekanisme yang memungkinkan untuk membedakan proposisi yang benar dan yang salah; menetapkan teknik dan prosedur dalam mencapai kebenaran di atas; menetapkan status dari mereka yang ditugasi untuk mengatakan hal-hal yang dianggap benar. (Foucault: 1980, 131).<br /><br />Kekuasaan tidak selamanya diartikan sebagai negara, lebih jauh lagi adalah segala sesuatu yang menjamin "normalitas", "regularitas", dan "familiaritas". Yaitu, segala upaya untuk menjamin stabilitas status sebuah pemikiran atau tindakan. Jika, pemahaman absolut itu diterapkan maka di situ kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan sangat jelas. Yaitu bahwa kondisi penafsir yang memiliki kekuasaan dan kepentingan dalam memaknai agama mengenai persoalan-persoalan perempuan, biasanya memposisikan perempuan sebagai sesuatu di peringkat terbawah. Dengan alasan, itu adalah hasil penafsiran yang sudah dianggap jelas dan dengan legitimasi tekstualitas agama. Padahal, model penafsiran seperti ini tidak lagi melihat konteks perubahan zaman dalam memahami kembali persoalan perempuan di masa sekarang ini.<br /><br />Jika, pemaknaan dalam memproduksi tafsir agama lebih mengukuhkan kekuatan patriarkhi maka pada dasarnya agama di sini kemudian menjadi ajang ideologisasi, dan tentunya menimbulkan "kolonialisasi" terhadap hak-hak perempuan. Pemahaman seperti ini sangat berbahaya. Agama tidak seharusnya menjadi legitimasi prosedural dalam menciptakan diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan.<br /><br />Berbagai teks agama yang tersebar dalam lembaran-lembaran Kitab Suci perlu ditafsirkan kembali secara kontekstual. Teks dan konteks sangat dipengaruhi oleh kondisi bagaimana si penafsir itu mampu "menggumuli" teks. Penafsiran secara kontekstual akan memahami kenyataan pluralitas bahwa makna teks tidak bisa dianggap satu, final, dan absolut. Persoalan perempuan sangat kompleks sehingga membutuhkan perangkat alat penafsiran yang komprehensif dengan melihat realitas secara objektif.<br /><br />Jika, penafsiran secara tekstualis itu ditambah dengan kecenderungan adanya "ideologisasi" maka akan sangat sulit sekali mengurai proses pemaknaannya secara objektif. Biasanya kita memahami sebuah tafsir secara sakral. Padahal, tidak demikian! Letak persoalan kolonialisme wacana agama dalam memosisikan perempuan sebagai kelas terendah disebabkan oleh dua kecenderungan di atas, yaitu kehendak penafsir (laki-laki sebagai pencipta makna) yang tidak melihat pluralitas kebutuhan perempuan di masa kini, dan kedua adalah karena kecenderungan pada ideologisasi dalam memahami teks yang direproduksi secara anti-jender.<br /><br />Persoalannya sangat jelas, yaitu bahwa tafsir agama yang membebaskan dalam memaknai hakikat kemerdekaan perempuan menjadi kebutuhan saat ini. Dan itulah realitas objektif dalam penampakan kondisi kekinian. Yang seharusnya dikedepankan adalah bagaimana kita menciptakan rekonstruksi tafsir yang lebih dimaknai secara demokratis dan kontekstual. Sehingga, agama benar-benar memang berwajah sebagai ajaran yang sangat respek dengan berbagai persoalan keadilan jender. <em>Wallahu A'lam</em>.<br /><br /><a href="http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=152217&kat_id=16">http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=152217&kat_id=16</a>Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-56135850684550668102007-11-07T23:59:00.000-08:002007-11-08T00:07:51.477-08:00Bom Bunuh Diri dan Sikap Berani MatiOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat di Harian <em>Sinar Harapan</em>, Sabtu, 23 Agustus 2003.<br /><br />Aksi bom bunuh diri dan terorisme kian marak terjadi. Pada Selasa (19/8) lalu, terjadi aksi bom bunuh diri yang ditujukan kepada Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irak, yang telah menewaskan 24 orang dan melukai 100 orang lainnya. Pada hari yang sama, juga terjadi pengeboman bunuh diri di Yerusalem yang telah menewaskan sedikitnya 20 orang dan melukai sekitar 80 lainnya. Di Indonesia, beberapa saat yang lalu terjadi pengeboman di Hotel Marriott Jakarta yang telah menewaskan sekitar 10 orang dan melukai ratusan orang lainnya.<br /><br />Sikap berani mati dengan melakukan bom bunuh diri menjadi bagian penting dari perjuangan suci (jihad) yang dilakukan beberapa kelompok agama. Mereka lebih melihat pada kehidupan eskatalogis (kehidupan setelah mati). Kematian demi menegakkan sebuah agama adalah tujuan mulia. Keabadian hidup hanya di akhirat kelak. Sikap ini tidak begitu memperhitungkan apa akibat tindakan tersebut yang nyata-nyata telah menimbulkan banyak korban kemanusiaan.<br /><br />Keyakinan agama yang eskatalogis cenderung mengarahkan penganutnya pada sikap-sikap yang berlawanan dengan realitas sosial. Yang terpikir adalah penghambaan pada Tuhan, tanpa mau memahami kenyataan sosial yang ada. Maka, yang dikedepankan adalah sikap-sikap penuh kekerasan. Pada dasarnya, agama tidak menghendaki adanya praktik kekerasan dan sikap anti-kemanusiaan. Kita perlu menghadirkan agama yang bisa menjamin keberlangsungan hidup umat manusia. Agama adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (<em>rahmatan lil ‘alamin</em>).<br /><br /><strong>Teologi Kematian</strong><br /><br />Siapa pun manusia yang hidup dan memiliki nyawa pasti akan mati. Kematian adalah sebuah kemestian. Martin Heiddeger menyatakan bahwa kematian adalah ”modalitas fundamental dari eksistensi yang hidup dan konkret” (<em>fundamental modality of living, concrete existence</em>).<br /><br />Fenomena ”berani mati” sudah banyak terjadi. Biasanya sikap berani seperti ini karena memang dilandasi oleh keyakinan agama. Si pelaku bom bunuh diri yakin bahwa tindakannya adalah benar karena itu mengandung makna jihad untuk ”menghancurkan” ketidakadilan di muka bumi ini. Dorongan keyakinan agama seperti ini memang tidak sepenuhnya salah. Tapi, yang jadi persoalan adalah terletak pada sisi kekakuan dan kesempitan dalam memahami doktrin agama.<br /><br />Sikap berani mati yang negatif telah menghinggapi banyak keyakinan umat agama. Keyakinan ini mengakibatkan pada aksi kekerasan. Sikap ”berani mati” yang positif, seperti diajarkan dalam banyak pengajian-pengajian keagamaan, justru adalah bagaimana kesiapan kita sebagai manusia yang hidup ini untuk menghadapi kematian. Manusia yang mempunyai amal baik hingga akhir hayatnya adalah insan yang khusnul khatimah (mati dengan baik). Yaitu, manusia yang akan diterima di sisi Tuhannya.<br /><br />Dalam sikap berani mati, ada sebuah pertanyaan yang muncul: apakah Tuhan menghendaki hamba-Nya mengorbankan jiwa yang kita sendiri tidak tahu apakah itu baik menurut-Nya? Perlu digarisbawahi bahwa mati dan hidup adalah urusan Tuhan.<br /><br />Yang penting kita lakukan adalah mempersiapkan amal dan ibadah untuk kematian yang mujur dan baik. Jadi, kita lebih melihat pada kenyataan hari ini dengan mempertebal amal shalih dalam pengamalan hidup sehari-hari. Harus ada kepedulian pada keadaan saat ini.<br /><br />Agama tidak menghendaki adanya kekerasan, apalagi tindakan terorisme. Agama hadir dimaksudkan sebagai ”jalan kebenaran” untuk menegakkan kemanusiaan dan perdamaian di muka bumi. Jangan sampai, citra positif agama dilunturkan dengan sikap-sikap yang cenderung mengarah pada tindak kekerasan dan anti-kemanusiaan.<br /><br />Irasionalitas pengamalan agama seperti inilah (mengandung sisi kekerasan dan anti-kemanusiaan) yang dikritik banyak filsuf ateis. Salah satunya adalah Sigmund Freud, seorang psikoanalis.<br /><br />Freud menganggap bahwa agama hanya sebagai pemuasan pengharapan yang ditemukan dalam mimpi dan simtom neurotik. Kata Freud, agama adalah ilusi, pemuasan harapan manusia yang paling tua, paling kuat, dan paling mendasar.<br /><br />Agama bukanlah cerminan pengalaman atau hasil akhir pemikiran manusia. (Die Zukunft einer Illusion dalam Studienausgabe 9:164).<br /><br />Tentu, apa yang dimaknai oleh Freud adalah agama yang tidak menyejarah. Fungsi agama yang melulu normatif dan terlepas dari konteks historis pengalaman hidup manusia adalah bentuk ”impotensi” agama.<br /><br />Agama hanya menjadi ”tempat pelarian” bagi manusia yang penuh keterasingan. Sehingga, agama dicurigai tidak mempunyai peran sosial yang signifikan untuk membebaskan manusia. Justru yang dikehendaki adalah bahwa agama bisa difungsikan sebagai agen transformatif (perubahan sosial).<br /><br /><strong>Hakikat Pembebasan</strong><br /><br />Kebanyakan kita mungkin sering berpikir bahwa beragama adalah untuk Tuhan saja. Padahal, jika memang bentuk penghambaan itu ditujukan untuk Tuhan saja, tapi Tuhan yang bagaimana? Jangan-jangan, Tuhan hanya dalam proyeksi angan-angan pikirannya sendiri. Beragama adalah untuk Tuhan dan juga manusia. Tidak bisa dipisahkan!<br /><br />Insan agamis jangan hanya memahami agama menurut keyakinan ilusif yang mengental dalam memori hati dan pikirannya. Apa yang terpikir olehnya bisa saja salah dan itu mesti ”dibenturkan” dengan kenyataan kompleksitas persoalan manusia.<br /><br />Dalam memahami teks agama jangan sebatas sisi harfiahnya saja, lalu serta-merta diterima sebagai hukum dan makna agama. Dalam menginterpretasikan teks perlu melihat sisi kontekstual, yaitu dimensi ruang dan waktunya.<br /><br />Apa yang dipahami pada masa lalu bisa saja berubah pada masa kini, disesuaikan dengan kenyataan yang sedang dihadapi manusia. Dalam beragama, kita juga perlu menggunakan pendekatan nalar dan rasionalitas. Untuk memahami teks kita perlu menggunakan pedoman akal budi. Hanya saja, terkadang akal tidak bisa menjangkau hal-hal yang supra-rasional.<br /><br />Fenomena radikalisme dan atau terorisme disebabkan karena dalam memahami agama hanya terjebak pada sisi normativitasnya saja. Apa yang aku pahami menurut keyakinan harfiahku maka itu benar menurut Tuhan, dan aku harus melakukan apa yang menjadi bagian isi ajarannya.<br /><br />Padahal, si penafsir juga mesti melihat apa di balik bungkusan teks itu, yang senyatanya pasti tidak akan didapati makna-makna yang cenderung mengarahkan pada tindak penuh kekerasan.Bisa saja kita katakan bahwa fenomena ”berani mati” merupakan bentuk ”pembebasan”. Tapi, pembebasan dalam pengertian melepaskan tanggung jawab atas ”ketidaksadaran” manusia dalam menerapkan hukum Tuhan yang diukur menurut kerangka subyektif pemikiran si penafsir.<br /><br />Atau pembebasan untuk menghancurkan kekuatan imperialisme negara-negara kolonial, seperti negara AS yang ikut campur mengurusi negara-nagara Muslim. Bukan pembebasan dalam pengertian agama yang memiliki ajaran yang membebaskan umat manusia. Atau bukan dalam pengertian membebaskan manusia dari dosa dan kejahatan karena dengan kematian dia akan terlepas dari pengaruh itu semua. Pembebasan bisa bermakna apabila itu ada kaitan sosialnya. Tidak sebatas kehendak indivual semata.<br /><br />Islam memiliki semangat pembebasan yang menghendaki penganutnya untuk menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian di muka bumi. Islam yang membebaskan menjadi harapan dunia saat ini.<br /><br />Jika, pemahaman agama difungsikan menjadi doktrin yang membelenggu kesadaran kemanusiaan maka itu bukanlah agama sejati. Apa yang dilakukan oleh kelompok teroris dengan atas nama agama merupakan bentuk ”pembunuhan” atas jati diri kemanusiaan.<br />Apa yang dipraktikkan oleh beberapa pelaku ”teroris berbaju agama” menjadi bukti bahwa keyakinan agama yang sempit akan cenderung mengarahkan pada tindak kekerasan. Islam bukanlah agama yang mengajarkan demikian.<br /><br />Apa pun yang dipikirkan manusia masih dalam frame konteks sosial. Apakah dunia ini hanya milik segelintir penganut agama yang tidak mau melihat realitas secara obyektif?Untuk itulah, sudah waktunya kita merenungi kembali hakikat keberagamaan kita ini.<br /><br />Beragama adalah untuk Tuhan dan juga manusia. Dalam upaya penegakan keadilan dan kemanusiaan di muka bumi ini yang mesti dikedepankan adalah cara-cara yang baik dan terpuji. Bom bunuh diri bukan merupakan cara jihad positif untuk menghadapi sebuah persoalan pelik yang dihadapi dunia Muslim.Islam benar-benar merupakan agama yang penuh dengan rahmat dan kebaikan buat umat manusia, sangat mengedepankan sikap-sikap penuh perdamaian dan kemanusiaan, serta sangat anti-kekerasan. <em>Wallahu a’lam</em>.<br /><br /><a href="http://www.sinarharapan.co.id/berita/0308/23/opi02.html">http://www.sinarharapan.co.id/berita/0308/23/opi02.html</a>Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-875949147548311542007-11-07T23:51:00.000-08:002007-11-07T23:56:51.717-08:00Menimbang Islam HumanisOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat dalam <em>Harian Republika</em>, Jumat, 14 Nopember 2003.<br /><br />Ada semacam stigma bahwa agama justru menimbulkan adanya gejala dehumanisasi atas kondisi kehidupan kontemporer. Agama sering dituduh karena menjadi faktor penyebab negatif atas tindak kekerasan dan ketidakadilan yang terekam dalam memori kesadaran manusia modern. Stigmatisasi semacam ini akan menghasilkan pemahaman yang keliru atas peran dan fungsi agama. Apakah agama berlawanan dengan kemanusiaan? Bukankah sejarah pemikiran dalam agama-agama juga menampilkan sisi di mana agama justru meneguhkan cita kemanusiaan sebagai tema sentral dalam objek wacana dan praksis agama?<br /><br />Sejarah perkembangan pemikiran kemanusiaan pernah mengalami "pertarungan" antara peradaban agama (gereja) dan peradaban rasionalisme. Masing-masing kubu melakukan justifikasi dan saling tuduh mana yang sesungguhnya lebih berperan. Sejarah kemanusiaan mengalami proses kemunduran karena tidak ada ruang dialog antara humanisme yang muncul di Barat dan peradaban lainnya, yaitu agama dan kebudayaan lokal. Jarak antara humanisme dan agama inilah yang menyebabkan kesan bahwa kemanusiaan jauh dari peran agama. Padahal, pengembangan ajaran kemanusiaan bisa digali dari pendekatan agama.<br /><br />Biasanya, tema-tema yang muncul dalam perdebatan antara Islam dan humanisme adalah seputar: rekonsiliasi antara wahyu dan rasionalisme, tradisi dan modernitas, sains modern dan Islam, dan sebagainya. Tulisan ini mencoba mengangkat tema hubungan antara Islam dan humanisme dengan iktikad untuk mencari konstruksi dialogis antarkeduanya. Sehingga, gagasan "Islam Humanis" dapat dikembangkan sebagai tawaran baru atas reposisi wacana Islam dan kemanusiaan.<br /><br />Pijakan antroposentris<br /><br />Penafsiran agama perlu diarahkan pada pembacaan yang lebih humanistik, pluralistik, dan progresif. Pemahaman teks agama yang kaku, rigid, hitam-putih, dan tektualistik, akan mengarahkan sang pembaca menjadi berpikiran sempit dalam mengamalkan agama sehingga yang terjadi adalah kecenderungan atas tindakan kekerasan, klaim-klaim kebenaran, dan sikap anti-pluralisme. Misalnya, kasus takfir (pengkafiran) dan fatwa hukum mati adalah bentuk kepicikan dalam pemikiran keagamaan model ini.<br /><br />Umumnya, pemahaman agama selalu mengandaikan teosentrisme sebagai titik awal dan akhir pijakan dalam memaknai agama. Agama dan Tuhan menjadi dua term yang seakan sulit untuk dipisahkan. Ketika kita memahami agama ada kecenderungan bahwa itu adalah apa yang maksudkan Tuhan kepada kita. Teks-teks agama yang termaktub dalam Alquran dianggap sebagai kata-kata Tuhan yang sudah jelas dan pasti (mutlak). Padahal, perlu pemahaman secara kontekstual.<br /><br />Pemahaman agama yang kita yakini kebenarannya merupakan tafsiran yang masih bersifat relatif. Agama adalah "jalan kebenaran" (syir'atan wa minhajan) bagi umat beragama untuk memahami kehidupan ini dengan bayang-bayang tuntunan dan pedoman dari kitab suci dan ajaran ilahi. Dengan agama, penganutnya akan mendekati (kebenaran) Tuhan dalam ragam pemaknaan, walaupun tidak bisa mendekatinya secara sempurna. Agama dan Tuhan harus dipisahkan karena yang satu adalah jalan untuk mendekati Tuhan, sedangkan yang kedua adalah tujuan akhir dari perjalanan. Klaim-klaim kebenaran hanya dimiliki oleh Tuhan, manusia hanya berhak memahami dan menafsirkan agama, dengan cara, bentuk, dan hasil apapun.<br /><br />Pemahaman agama ada yang sifatnya masih melangit dan ada juga yang sudah membumi. Secara transendental, penerjemahan agama ditujukan sebagai bentuk penghambaan secara personal, vertikal, dan teosentris. Ibadah ritual dan umumnya syariat merupakan bentuk penghayatan dan pengamalan agama dengan orientasi pada Tuhan. Tapi, dalam sifat yang pertama ini tidak terjadi keterputusan makna dengan sifat yang kedua, yaitu imanensi. Pembumian ajaran agama memberikan ruang bagi manusia untuk secara kreatif berhak melakukan kegiatan duniawi secara rasional dengan tidak melepaskan dari ikatan substansial agama. Pembumian agama yang berpijak pada antroposentrisme akan memberikan jalan pada humanisasi agama. Di sinilah terjadi dialektika, yaitu manusia diberikan kebebasan untuk menjalani kehidupan dengan membumikan ajarannya dalam ranah sosial-keduniawiaan.<br /><br />Pemahaman yang rasional<br /><br />Merumuskan kembali paradigma agama yang berorientasi pada pemenuhan cita-cita kemanusiaan dan peradaban menjadi agenda yang sangat penting dalam garapan Islam humanis. Kita bisa memastikan bahwa agama tidak kontra dengan realitas kemanusiaan gara-gara secara empirik sering terjadi "devaluasi agama", yaitu penurunan citra agama yang diakibatkan karena merebaknya fenomena kekerasan dan politisasi agama yang dilakukan oleh beberapa oknum pemeluknya.<br /><br />Ajaran humanisme yang awalnya muncul di Barat, yaitu pada abad pencerahan (Aufklarung), posisi agama terkesan tersisihkan dari wacana pencerahan modernisme. Periode sekularisasi menghantui kehidupan masyarakat saat itu. Sekularisme kemudian mengikis dan menghabisi otoritas gereja yang telah lama menguasai atas kebebasan manusia, yaitu lewat penancapan simbol agama ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia. Hal demikian karena kehadiran agama justru memasung kemanusiaan.<br /><br />Tentunya, apa yang terjadi di Barat berbeda jauh dengan apa yang terjadi dalam pengalaman sejarah Islam. Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki fondasi kuat tentang ajaran humanisme (kemanusiaan). Ajaran agama yang sangat respek dengan persoalan kemanusiaan mesti dibangun dengan penafsiran agama yang kontekstual. Penafsiran demikian akan lebih melihat kenyataan kebutuhan manusia hari ini. Relevansi penggalian pada aspek kesejarahan Islam dipahami bahwa teks harus berdialog dengan realitas perubahan zaman.<br /><br />Pandangan humanisme dalam Islam bisa dieksplorasi dengan mengembalikan pemaknaan agama pada nilai-nilai kemanusiaan. Manusia perlu diperhatikan sebagai subjek dan objek dalam proses humanisasi agama. Apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan manusia dan masyarakat adalah tujuan dari pembelaan agama. Secara vertikal dan transedental, bisa saja pengamalan agama untuk orientasi kepada Tuhan, tapi jangan dilupakan bahwa dalam agama juga terkandung dimensi horizontal, imanental, dan humanistik, yaitu beragama untuk manusia dan demi memenuhi harapan kemanusiaan. Tekstualitas Alquran bertujuan untuk merekam kenyataan historis kemaslahatan umat manusia. Artinya, manusia yang melakukan dan untuk manusia pula.<br /><br />Pemahaman agama secara rasional menjadi kebutuhan sejarah (historical necessity) bagi upaya humanisasi agama. Syariat, yang sering diposisikan sebagai domain wacana agama mesti ditafsirkan secara rasional, menurut ukuran kemaslahatan dan konteksnya. Rasionalisme dalam filsafat bisa membantu dalam pembacaan yang humanistik, dengan terlebih dahulu meyakini bahwa antara filsafat dan agama (syariat) bisa dikompromikan. Dalam at-Turats wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasyah (1991), Al-Jabiry menyatakan bahwa agama tidaklah menafikan metode burhani atau rasionalisme, justru malah menganjurkannya sebagai cara yang efektif untuk memahami agama secara rasional. Upaya untuk mengawinkan syariat dengan filsafat pernah dilakukan oleh Ibnu Rusyd melalui tulisannya berjudul "Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina al-Syari'ah wa al-Hikmah min al-Ittisal", dalam kitab Falsafah Ibn Rusyd (1968). Rasionalisme dalam kaidah hukum Islam bisa dilihat melalui metode Maqashid asy-Syari'ah" yang dikemukakan Asy-Syatibi, ketika memahami teks agama (syariat) dengan mengedepankan kemanusiaan dan kemaslahatan umat manusia.<br /><br />Ketika sebuah teks berbenturan dengan realitas maka teks harus berdialog dan terjadi tawar-menawar dalam memahaminya. Terjadi dialektika atau dialog antara teks (wahyu) dan kebudayaan masyarakat. Tapi, tidak sepenuhnya teks itu tunduk terhadap realitas. Keberadaan teks merupakan perekaman atas maslahat kemanusiaan yang telah menjadi bagian utuh penampakan realitas.<br /><br />Gagasan Islam humanis perlu dipertimbangkan. Pemahaman agama yang cenderung terpolarisasi ke dalam kubangan fundamentalisme dan sekularisme akan menyebabkan matinya potensi agama sebagai ajaran kemanusiaan. Menegakkan cita-cita kemanusiaan tidak perlu melepaskan dari baju agama. Tapi, dengan jalan mendialogkan antara wacana agama dan realitas kemanusiaan dalam posisi yang berimbang sehingga dihasilkan pemaknaan baru atas agama yang memang menjamin pemenuhan cita-cita kemanusiaan. <em>Wallahu A'lam</em>.<br /><br /><a href="http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=145703&kat_id=16">http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=145703&kat_id=16</a>Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-85917277936281072752007-11-04T20:23:00.000-08:002007-11-04T20:39:17.258-08:00Menyikapi Kasus “Aliran Sesat” AgamaOleh Happy Susanto<br /><br />Setelah lama tak terdengar, kini kasus tentang aliran keagamaan yang dinilai “sesat” oleh sejumlah ormas sosial-keagamaan kembali mencuat. Aliran al-Qiyadah al-Islamiyyah kini sedang mendapat sorotan publik. Tidak sedikit pengikut aliran ini yang mendapat teror dan kekerasan dari sejumlah kelompok masyarakat yang tidak setuju atau merasa resah dengan keberadaan mereka. Bahkan, ada banyak pengikut aliran ini yang ditangkap oleh pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.<br /><br />Kasus ini mengingatkan kita pada kasus serupa pada pertengahan tahun 2005 di mana banyak pengikut jamaah Ahmadiyah yang mendapat perlakuan kekerasan dari sejumlah kelompok masyarakat yang merasa resah dengan keberadaan mereka.<br /><br />Pemecahan terhadap masalah ini memerlukan cara yang baik dan bijaksama. Artinya, kita tidak boleh lagi gegabah dalam bersikap. Cara yang dapat dianggap gegabah adalah dengan cukup mengeluarkan fatwa bahwa aliran ini itu adalah sesat, maka persoalan dianggap sudah selesai. Namun, bagaimana faktanya? Cara seperti itu justru menyulut kemarahan sejumlah kelompok masyarakat yang memang selama ini sudah gerah dengan keberadaan aliran-alirang yang dianggap “sesat”. Aksi-aksi kekerasan akhirnya timbul. Apalagi, media massa yang ikut mengekspos secara besar-besaran pemberitaan tentang isu ini jangan-jangan juga ikut berperan dalam menyulut emosi publik.<br /><br /><strong>“Aliran Sesat”<br /></strong><br />Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah telah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena dianggap telah mengingkari ajaran pokok Islam sebagaimana yang telah dibawakan Nabi Muhammad SAW (www.mui.or.id).<br /><br />Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah didirikan pada tanggal 23 Juli 2006 oleh Acmad Moshaddeq alias H Salam. Ia sendiri mengaku sebagai nabi baru yang menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW dan mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Pengakuan itu muncul setelah dirinya melakukan pertapaan selama 40 hari 40 malam. Pelantikan H Salam sebagai rasul dilakukan pada tanggal yang sama di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat.<br /><br />Kitab suci yang diyakini aliran ini tetap al-Qur’an. Hanya saja, mereka menafsirkan sendiri kandungan ajaran al-Qur’an, tanpa merujuk pada pendapat para ahli tafsir masa lalu. Mereka tidak mempercayai adanya hadits sebagai rujukan agama yang terpenting setelah al-Qur’an. Aliran ini memiliki syahadat baru yang tidak lazim seperti umumnya, yaitu “<em>Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna al-Masih al-Ma’ud Rasul Allah</em>” (Aku bersaksi bahwa tidak Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa al-Masih al-Ma’ud adalah Rasulullah).<br /><br />Aliran ini tidak mewajibkan ritual-ritual keagamaan, seperti shalat, puasa, dan haji. Dengan argumentasi hijrah sebagaimana dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW, ritual-ritual semacam itu tidak wajib karena umat Islam masih dalam proses pembentukan menuju sebuah al-khilafah al-Islamiyah (khilafah Islam). Ajaran dari aliran ini yang juga terasa aneh adalah sistem “penebusan dosa” yang dilakukan melalui pembayaran sejumlah uang kepada al-Masih al-Ma’ud, yaitu pimpinan jamaah mereka (<em>Kompas Cyber Media</em>, 25/10/2007).<br /><br />Aliran ini terbilang masih sangat baru karena berumur kurang dari satu setengah tahun. Jika dianalisis secara kritis, memang argumen-argumen aliran ini terlihat banyak yang janggal. Namun demikian, kita perlu juga menghargai pendapat dan argumen mereka, terlepas kita sendiri menganggap bahwa aliran mereka itu adalah keliru atau salah. Mengapa demikian? Karena kita hidup dalam sebuah negara yang demokratis dan menganut prinsip kebebasan beragama. Apapun perbedaan yang ada perlu disikapi dengan cara yang elegan dan santun. Adanya “kelompok lain” (<em>the others</em>) yang bukan termasuk dalam mainstream Islam, tidak lantas menyebabkan kita berlaku diskriminatif dan kemudian “melenyapkan” mereka di muka bumi ini. Tentu, ada proses di mana masing-masing pihak perlu saling belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri.<br /><br />Apakah era kebebasan dapat dijadikan penyebab mengapa “aliran sesat” sekarang ini banyak bermunculan? Jika kebebasan kemudian dijadikan “kambing hitam”, maka rasanya tidak fair karena sebenarnya ada banyak faktor lain yang dapat kita anggap sebagai penyebab munculnya aliran sesat. Di antara sekian banyak faktor, rupanya faktor kekeliruan pemahaman keagamaan yang diyakini oleh penganut “aliran sesat” adalah sebagai faktor utamanya. Mereka tidak memahai Islam secara komprehensif, namun justru memilah dan memilih mana dasar rujukan keislaman yang menjadi pedoman pemahaman mereka selama ini. Proses semacam itu sangat boleh jadi lebih didasarkan atas kepentingan hawa nafsu semata. Oleh karenanya, aliran semacam itu perlu “dirangkul” untuk diajak berdiskusi bersama tentang bagaimana memahami ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, bukan justru dimusuhi atau dijauhi dengan cara-cara teror dan kekerasan.<br /><br /><strong>Perlukah Cara Kekerasan?<br /></strong><br />Ketika isu-isu seputar “aliran sesat” menyeruak ke publik, dengan cepat organisasi sosial keagamaan, masyarakat luas, termasuk pihak pemerintah dan aparat keamanan sangat cepat merespon isu-isu ini dengan berbagai cara. Ada yang dengan cara mengeluarkan fatwa sesat, ada yang ingin langsung menyerang para pengikutnya, dan juga ada yang menangkap para pengikut itu dengan dalih pengamanan dan pemeriksaan.<br /><br />Namun, yang disayangkan respon berlebihan justru akan menimbulkan kontraproduktif terhadap <em>image</em> Islam itu sendiri sebagai agama yang santun dan damai. Sebab, tidak sedikit dari repon-respon yang muncul itu lebih bernuansa kebencian, klaim kesesatan, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah eksesnya terhadap tindak kekerasan dan teror. Masyarakat umum yang awalnya hanya mengetahui bahwa aliran itu tidak sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya, kemudian ikut-ikutan terdorong untuk melakukan tindakan kekerasan.<br /><br />Cara-cara kekerasan dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan, baik itu menurut agama, etika, maupun prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat sendiri tidak dapat disalahkan begitu saja karena mereka berbuat itu didorong oleh sejumlah faktor penyebab awalnya. Entah itu karena adanya fatwa, ekspos media massa yang amat berlebihan, atau pernyataan-pernyataan sejumlah organisasi sosial-keagamaan yang pada akhirnya ikut mempengaruhi pandangan sempit mereka menjadi seperti itu.<br /><br />Jadi, kekerasan sama sekali bukan solusi. Sebagaimana dikemukakan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin bahwa jangan sampai ada penghakiman dan tindak kekerasan. Mereka justru perlu dirangkul agar mau kembali ke jalan yang benar (www.detik.com, 29/10/2007).<br /><br />Departemen Agama telah membentuk tim kecil yang bertugas meneliti lebih lanjut tentang keberadaan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah. Menurut Dirjen Bimbaga Islam, Nasaruddin Umar, pemerintah tidak boleh gegabah dalam menyikapi kasus ini. Oleh karenanya, perlu dibentuk tim kecil untuk meneliti aliran itu. Hasil dari penelitian tim kecil ini akan menjadi bahan acuan Depag untuk membuat rekomendasi tentang status aliran al-Qiayadah al-Islamiyah yang kemudian diteruskan kepada pihak Kejaksaan Agung dan Kepolisian (www.antara.co.id).<br /><br /><strong>Kedepankan Dialog</strong><br /><br />Salah satu cara yang yang cukup elegan untuk mengatasi kasus “aliran sesat” agama adalah dengan melakukan kegiatan dialog, diskusi, atau debat publik. Melalui kegiatan semacam ini nantinya pemimpin dan pengikut “aliran sesat” al-Qiyadah al-Islamiyah akan dihadapkan pada pengujian terhadap argumentasi pemahaman keagamaan mereka selama ini. Jika ajaran dan pemahaman yang selama ini mereka pahami dan yakini ternyata keliru, maka mau tak mau akan ada proses “penyadaran” secara sendirinya.<br /><br />Aliran-aliran semacam itu tidak perlu disikapi secara “panas” terlebih dahulu, baik melalui keputusan dan pernyataan sesat oleh sejumlah organisasi sosial-keagamaan atau melalui penangkapan terhadap sejumlah pengikut dan pimpinan jamaahnya. Mereka perlu diajak berdialog terlebih dahulu.<br /><br />Dengan digelarkan berbagai dialog, diskusi, atau debat antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan kasus “aliran sesat” ini, maka diharapkan nantinya tidak muncul lagi aksi-aksi kekerasan yang tidak bertanggung jawab. Setiap kali ada isu bahwa aliran A atau B itu sesat, sudah sebaiknya isu ini tidak dilempar ke publik terlebih dahulu. Namun, pihak-pihak yang secara langsung berkepentingan dengan masalah ini, seperti Depag dan MUI, perlu melakukan dialog, diskusi, atau debat dengan aliran yang dianggap “sesat” itu. Hingga pada akhirnya biarlah “konsensus publik” yang akan menilai apakah aliran ini-itu sesat atau tidak.<br /><br />Tentunya, cara di atas akan terasa efektif karena masyarakat juga akan mendapat pencerahan bahwa kita perlu bersikap santun dan bijak dalam menghadapi aliran-aliran yang cenderung dianggap “sesat” oleh kelompok atau organisasi lain. Proses dialog adalah bagian dari spirit demokratisasi yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam kehidupan keberagamaan kita di tanah air. Kapan lagi masyarakat kita dicerahkan melalui dialog dengan penuh keterbukaan, bukan klaim sesat semata? <em>Wallahu A’lam</em>.Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-86848002711804595262007-11-02T00:30:00.000-07:002007-11-02T00:36:03.470-07:00Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI)<strong><span style="font-size:130%;">MelayuOnline.com - Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Yogyakarta<br /> </span></strong><br /><strong><span style="font-size:130%;">Mengadakan Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional<br /><br /></span><span style="font-size:180%;">“Pandangan Politik Orang Melayu”<br /></span></strong><br /><br />MelayuOnline.com memaknai istilah Melayu sebagai kultur yang melampaui sekat-sekat identitas berdasarkan kesukuan, etnisitas, ataupun entitas budaya dalam pengertian yang sempit. Ajaran dan budaya Melayu tidak lengkang meski telah dan masih berjalan dalam rentang waktu dan sejarah yang begitu panjang. Melayu bisa menjadi sumber pengetahuan untuk membangun konsep dan praktek politik yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab.<br /><br />Situasi politik di tanah air akhir-akhir ini menggugah kita untuk memikirkan kembali bagaimanakah sebuah pandangan politik yang bisa disebut etis dan bertanggung jawab. Kondisi politik aktual menarik untuk dicermati melalui sudut pandang kemelayuan dan orang Melayu, mengingat kandungan khazanah Melayu yang begitu luas. Pemikiran, tradisi, dan etika kekuasaan terekam dalam teks-teks dan berbagai khazanah tradisi Melayu klasik.<br /><br />Melalui lomba karya tulis ini, diharapkan nantinya akan muncul pandangan-pandangan menarik yang meneropong bagaimana potret politik dalam tradisi Melayu. Isi karya tulis ilmiah diharapkan mengandung gagasan yang inovatif dan memberikan sumbangan, baik secara konseptual terhadap wacana politik Melayu maupun secara aktual dalam praktek kehidupan politik nasional. Di samping itu penilaian akan mempertimbangkan keluwesan bahasa, kekuatan analisis, dan kesesuaian isi dengan tema lomba.<br /><br /><span style="font-size:130%;"><strong>Ketentuan-ketentuan Lomba</strong></span><br /><br /><strong>A. Tema: “Pandangan Politik Orang Melayu” ini mencakup:</strong><br /><br />1. Etika Politik Melayu; misalnya perilaku politik para raja atau sultannya, hubungan antara Islam, politik, dan Melayu, dan sebagainya.<br />2. Pandangan tentang perempuan dalam politik Melayu; misalnya peran, kedudukan, dan partisipasi perempuan dalam politik Melayu.<br />3. Bahasa Melayu dan Politik Kebangsaan: Sudut Pandang Antropolinguistik; misalnya sejarah pembentukan bahasa nasional, serta hubungan antara Bahasa Melayu dan Politik Kebangsaan.<br /><br /><strong>B. Syarat-syarat keikut-sertaan:</strong><br /><br />1. Lomba hanya dapat diikuti oleh minimal mahasiswa D1, staf pengajar, peneliti, dan aktivis.<br />2. Peserta dapat mengirimkan lebih dari satu naskah karya tulis.<br />3. Menyertakan pernyataan bahwa naskah karya tulis adalah asli bukan jiplakan/saduran/terjemahan, belum pernah diikutsertakan dalam lomba sejenis dan belum pernah dimuat di media massa atau jurnal ilmiah.<br />4. Menyertakan fotocopy KTP/SIM atau tanda pengenal lainnya yang masih <br /> berlaku.<br />5. Menyertakan daftar riwayat hidup singkat.<br />6. Peserta dengan persyaratan yang tidak lengkap tidak akan diseleksi.<br /><br /><strong>C. Format Karya Tulis:</strong><br /><br />1. Menggunakan kaidah-kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.<br />2. Karya tulis dibuat dalam format kertas ukuran A4, spasi 1,5, memakai huruf Arial (11) atau Times New Roman (12).<br />3. Panjang karya tulis berkisar antara 3500-4500 kata.<br />4. Mencantumkan halaman di sudut kanan bawah.<br />5. Karya tulis dikirim rangkap empat, satu di antaranya harus asli bukan tindasan.<br />6. Untuk menjaga obyektivitas penilaian juri, nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah (lembar pertama).<br /><br /><strong>D. Hadiah Pemenang:</strong><br /><br />Juara I : Rp. 5.000.000,00 dan tropi Gubernur Provinsi Riau <br />Juara II : Rp. 3.000.000,00 dan tropi Ketua DPRD Riau <br />Juara III : Rp. 2.000.000,00 dan tropi BKPBM <br />Juara Harapan I : Rp. 1.500.000,00<br />Juara Harapan II : Rp. 1.000.000,00<br />Juara Harapan III : Rp. 500.000,00<br /><br /><strong>E. Pengumpulan Naskah Karya Tulis:</strong><br /><br />1. Pengiriman via pos:<br /><br />Print out dan CD (dalam format Microsoft Word) beserta seluruh kelengkapan syaratnya dapat dikirimkan ke:<br />Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Jl. Gambiran 85A, Yogyakarta 55161, Telp (0274) 414233.<br />Batas akhir penerimaan naskah tanggal 15 Desember 2007 (cap pos dan paling lambat sampai di pihak panitia tanggal 17 Desember 2007 untuk pengiriman via pos).<br /><br />2. Pengiriman via email:<br /><br />Naskah beserta seluruh kelengkapan syaratnya (attachment KTP, Surat Pernyataan, dan CV) dapat dikirimkan ke <a href="mailto:lkti@melayuonline.com">lkti@melayuonline.com</a><br /><br /><strong>F. Hal lain:</strong><br /><br />1. Pemenang akan dihubungi melalui pos atau email, atau dapat pula dilihat pada website: <a href="http://www.melayuonline.com/">http://www.melayuonline.com</a>.<br />2. Semua karya tulis yang masuk tidak akan dikembalikan dan hanya karya tulis yang mendapat penghargaan yang menjadi hak panitia.<br />3. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.<br />4. Peserta yang dinyatakan menang akan diundang sebagai peserta acara Milad Perdana MelOn pada tanggal 20 Januari 2008.<br />5. Untuk keterangan lebih lanjut lihat di www.melayuonline.comHappy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-5959782875303213442007-10-31T20:28:00.000-07:002007-10-31T20:36:37.950-07:00Menggagas “Sosiologi Profetik”: Sebuah Catatan AwalOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat dalam <em>Jurnal Pemikiran Islam The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia</em>, <a href="http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/sosiologi_profetik.htm">http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/sosiologi_profetik.htm</a><br /><br />Abstrak:<br /><br />Sosiologi profetik merupakan kajian akademik dalam bidang sosiologi yang mencoba mengangkat ide profetik ke dalam kerja pengamatan atau penelitian sosial. Dengan mempelajari secara kritis realitas kesejarahan para Nabi, sistematisasi gagasan profetika secara ilmiah kemudian dimasukkan dalam kerangka sosiologis. Prinsip yang dijadikan dasar dalam sosiologi ini adalah sifat kajiannya yang tidak bebas nilai (non-free value) dan berdasarkan menurut ilmu sosiologi yang multi-disiplin dan berparadigma ganda (multi-paradigm). Dengan berkaca pada realitas kesejarahan yang digelar para Nabi, maka seorang sosiolog dalam pengertian ini harus aktif melakukan perubahan sosial dan pergerakan sejarah secara positif dan bermakna. Dengan tangan kesadaran aktif manusia, para sosiolog diminta untuk melakukan “aktivisme sejarah” dalam proses kegiatan perubahan menuju masyarakat yang utama dan ideal (khairu ummah). Tiga unsur utama yang diusung dalam proyek ini adalah: liberasi, emansipasi, dan transendensi. Ketiganya menjadi bagian integral proses perjalanan para Nabi dalam membaca realitas sosial yang dihadapinya. Dengan demikian, memudarnya pesona makna hidup di era kekinian bisa dikaji secara kritis lewat sosiologi yang berbasis kenabian.<br /><br />Kata-kata kunci: profetik, value-free, multi-disiplin, emansipasi, liberasi, transendensi, aktivisme, sejarah, kesadaran, paradigma.<br /><br /> ====================<br /><br />“Kenekadan”, adalah sebuah ungkapan yang akan terlontar dari beberapa orang ketika mendengar istilah “Sosiologi” disandingkan dengan kata “Profetik”. Adalah sebuah “omong kosong” manakala sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang ilmiah, obyektif, dan rasional diletakkan “bermesraan” dengan sebuah term yang memang masih bersifat teologis-keagamaan –begitulah tanggapan dari beberapa orang bila mendengar istilah “baru” ini. Sebenarnya, tulisan ini merupakan sambungan dari wacana yang sedang berkembang dalam sebuah milis (<a href="http://www.groups.yahoo.com/group/sosiologi_profetik">www.groups.yahoo.com/group/sosiologi_profetik</a>), yang telah beberapa bulan ini penulis gagas. Tapi, pencetus awal ide seperti ini adalah Pak Kuntowijoyo, sejarawan dan budayawan dari Yogya, lewat gagasan “Ilmu Sosial Profetik” (ISP) yang pernah mencuat dan dilontarkannya pada tahun 1997-an.<br /><br /> Berangkat dari gagasan awal Pak Kunto itulah penulis mencoba menariknya secara lebih spesifik pada bidang sosiologi. Pak Kunto sendiri baru melontarkan gagasan ISP-nya melalui sebuah artikel beruntun dalam Harian Republika pada tanggal 7-9 Agustus 1997, dengan judul “Menuju Ilmu Sosial Profetik”. Tapi, embrio dari wacana ISP yang digagas Pak Kunto ini sebenarnya pernah mencuat lama sekali dalam buku magnum opus-nya, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991). Yang menarik dalam gagasan Pak Kunto adalah beliau memandang bahwa sesungguhnya substansi ajaran universal agama (profetika --sebagai adjective dari agama) bisa menjadi ilmiah dan dipakai sebagai pisau analisa dan paradigma keilmuan apabila memulainya melalui proses “obyektivikasi” berserta ilmu-ilmu modern lainnya. Dalam profetika terjadi --katakalah-- “melampaui teologi” (beyond theological) dan bernuansa transformatif dalam ranah keilmuan yang obyektif, tidak lagi bernuansa normatif, melulu persoalan teologis. Penamaan dengan “ilmu sosial” akan lebih efektif dibandingkan dengan “teologi sosial”. Makanya, Pak Kunto tidak sepakat dengan penamaan “Teologi Islam Transformatif”. Ia berbeda pendapat dengan Dawam Rahardjo dan Moeslim Abdurrahman.<br /><br /> Apa sih yang digagas Pak Kunto melalui ISP-nya? Beliau memandang bahwa paradigma yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial selama ini tidak efektif karena tidak ada muatan transformatif keilmuannya. Sebuah ilmu (sosial) hanya bersikap diam dan observatif ketika diperhadapkan dengan realitas obyek penelitiannya. Prinsip-prinsip yang dibangun dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik berangkat dari penterjemahan secara ilmiah terhadap bunyi sebuah teks ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imron, 3 : 110). Ada beberapa term filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu “masyarakat utama” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat linnas), “liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan “transendensi” (al-iman billah). Adalah “keberanian” Pak Kunto yang telah mampu menterjemahkan proposisi pada makna teks ayat disesuaikan dengan konteks keilmiahan.<br /><br /> Konsep-konsep ISP Pak Kunto ini akan kita bahas secara mendalam pada gagasan mengenai sosiologi profetik lanjutan. Perlu dicatat, tujuan ISP adalah ingin membangun sebuah komunitas atau masyarakat yang ideal atau utama (khairu ummah) --mirip dengan “Negara Utama”-nya Al-Farabi (al-Madinah al-Fadhilah). Untuk mencapai tujuan itu diperlukan kerja aktif tangan-tangan manusia, atau istilahnya perlu “kesadaran aktif sejarah” umat manusia. Manusia telah diberikan kekuatan dan kemauan untuk melangkah ke arah yang lebih baik dengan kesadaran individual dan kolektifnya dalam membentuk sebuah komunitas ideal. Manusia diturunkan ke muka bumi (ukhrijat linnas) adalah demi keterlibatan aktif mereka untuk melakukan perubahan sosial dan membentuk peradaban yang menjadi miliknya.<br /><br /> Berangkat dari pemikiran siapakah pemikiran Pak Kunto dalam ISP ini? Beliau mengklaim bahwa asal-usul pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy. Yang ingin diambil oleh beliau dari kedua pemikir itu adalah sisi “realitas kenabian” (prophetic reality) yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat manusia. Muhammad Iqbal, dengan mengutip ucapan Abdul Quddus, seorang sufi besar Islam dari Ganggoh, mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan “kesadaran kreatif” (creative consciousness) dalam menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sejarah. Berbeda dengan kalangan sufi umumnya yang lebih mengandung dimensi mistis, sedang kemunculan Nabi di muka bumi telah memasukkan unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar kehidupan duniawi. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Roger Geraudy menyatakan bawah di tengah hancurnya peradaban umat manusia di mana filsafat Barat memiliki banyak kelemahan maka kita sebaiknya menghidupkan kembali warisan Islam yang telah ada. Yang diambil adalah “filsafat kenabian” (filsafat profetika) dari Islam. Kenapa? Karena, yang menjadi pertanyaan sentral dalam filsafat Islam adalah: bagaimana wahyu (kenabian) itu mungkin? Yaitu, bagaimana keterlibatan aktif sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu itu telah mampu mengubah sejarah masyarakat menjadi positif. Geraudy mengklaim bahwa bangunan filsafat itu telah dilakukan oleh para filosof Muslim sejak dari Al-Farabi sampai dengan Mulla Shadra, dengan puncaknya pada Ibn ‘Arabi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br /><br /> Gagasan ISP Kuntowijoyo tersebut terlihat berangkat dari “ide”, yaitu bagaimana ada sisi memungkinkan bagi pemikiran tentang kenabian itu bisa digunakan dalam melihat realitas. Tentu saja, hal ini meniadakan prinsip ilmu sosial yang bebas nilai. Ilmu sosial, dengan paradigma profetis, harus melakukan pembebasan seperti apa yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Jika kita perhatikan, sejarah Nabi-nabi itu memiliki kadar kedalamaan ilmiah yang tinggi, yaitu bagaimana cara kerja pikir dan sikap mereka dalam memahami realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan sosial” (liberating) di mana ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat. Mereka tetap berangkat dari substansi ajaran agama (transedensi) yang itu harus “diaktivasi” dalam realitas kesejarahan manusia. Ada tiga unsur yang menjadi bagian dari kerangka kerja ilmiah dalam memahami realitas, yaitu liberasi, emansipasi, dan transendensi. Ketiga unsur itu harus digerakkan dalam aktivisme sejarah. Tapi, gagasan mengenai sosiologi profetik yang akan dikaji dalam tulisan ini baru beranjak dari upaya mengembangkan ilmu sosiologi yang multi-disiplin, tidak menafikan adanya kepentingan “nilai” (prophetic as a value), dan berkewajiban untuk melakukan pembebasan dan perubahan sosial. Gagasan sosiologi profetik tidak cukup hanya dengan kontribusi tulisan ini saja, perlu perluasan wacana di masa mendatang.<br /><br /><strong>Paradigma-paradigma Sosiologi</strong><br /><br /> Secara sederhana paradigma kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.<br /><br /> Dalam bidang sosiologi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980). Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah dalam struktur dan makna teori itu.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Sehingga, pada ketiga paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.<br /><br /> Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br /><br /> Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br /><br /> Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.<br /><br /> Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead.<br /><br /> Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.<br /><br /> Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br /><br /> Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.<br /><br /> Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.<br /><br /> Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.<br /><br /> Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.<br /><br /> Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.<br /><br /> Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik, penulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.<br /> <br /><strong>Menggugurkan Prinsip “Bebas-Nilai”</strong><br /><br /> Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).<br /><br /> Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br /><br /> Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a> Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.<br /><br /> Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a>: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.<br /><br /> Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.<br /><br /> Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.<br /><br /> Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a> Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a> Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.<br /><br /> Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang dilihat menurut kaca mata sosiologi. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi, yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi harus bersifat bebas-nilai. Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada nilai.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a> Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian, Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a> Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif. Seorang sosiolog dengan berbagai macam praduga dan subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.<br /><br /> Apakah dengan pernyataan Weber yang mengambil kesimpulan bahwa sosiologi itu harus bebas nilai menafikan adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah diceraikan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a> Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a> Maksud dari teori sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang dihasilkan dari modernitas --salah satu sisi historis peradaban pada Abda Pencerahan-- itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan Tuhan (agama) sebagai pemandu.<br /><br /><strong>Menuju “Sosiologi Profetik”</strong><br /><br /> Keilmuan sosiologi sampai hari ini masih didominasi oleh pendekatan fungsionalisme. Sejak Perang Dunia (PD) II, di mana Amerika muncul sebagai pemenang, maka “sistem Amerika” yang menggunakan pendekatan fungsionalisme menjadi dominan. Pendekatan ini dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial yang akademis, obyektif, dan empiris. Fungsionalisme sangat menekankan sistem, keseimbangan, adaptasi, maintance, dan latency. Talcott Parson, pendiri aliran ini, yakin bahwa metodologi yang paling memadai adalah metodologi “fungsionalisme struktural”. Menurutnya gagasan mengenai “fungsi” berguna agar kita terus dapat mengamati apa yang disumbangkan oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a> Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Sistem ini dipakai oleh kaum borjuis yang merupakan status quo, karena tidak mau menerima perubahan melalui jalan konflik atau pertentangan. Menurut Ritzer, Kalau terjadi konflik, maka penganut teori ini memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a> Sehingga perubahan yang terjadi dalam masyarakat berjalan secara evolusionis, perlahan-lahan.<br /><br /> Paradigma fungsionalisme kemudian dikritik oleh banyak kalangan. Salah satunya datang dari gerakan intelektual The New Left, yang banyak dipengaruhi oleh Critical Theory Madhab Frankfurt. Menurut kelompok ini, sosiologi akademis yang telah terjerat oleh pendekatan fungsionalis hanya mengerjakan tugas yang rutin saja. Apa yang dilakukan selama ini hanya menjadikan sosiologi menjadi sebuah ilmu yang abstrak dan murni, tapi punya pengaruh untuk melakukan perubahan di masyarakat.<br /><br /> Michael Root dalam Philoshopy of Social Science (1993)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a>, membedakan dua jenis ilmu sosial, yaitu yang liberal dan yang perpeksionis. Ilmu sosial yang liberal mengusung cita-cita untuk memperoleh data yang bebas dari muatan nilai, moral, dan kebajikan obyek penelitiannya. Sedangkan ilmu sosial yang perpeksionis berusaha menjadi wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, ilmu yang partisan. Pembedaan dua jenis ilmu sosial itu mirip dengan pembagian antara ilmu yang teoritis dan yang praktis.<br /><br /> Salah satu model dari ilmu sosial yang partisan ini adalah sosiologi yang humanistik. Pondasi sosiologi yang humanistik dibangun berlandaskan “refleksi diri” (self reflection) dan “daya aktivitas” (activism). Pondasi sosiologi yang humanistik adalah sosiologi yang refleksif. Alvin W. Gouldner adalah sosiologi yang menggagas Reflextive Sociology dalam bukunya, The Coming Crisis of Wertern Sociology (1970). Ia menyatakan bahwa sosiologi refleksif sangat konsern dengan apa yang ingin dilakukan oleh sosiolog, yang secara faktual dilakukan di dunia (what sociologis want to do and with what, in fact, they actually do in the world). Sosiologi refleksif adalah pengkajian diri secara kritis melalui proses empati sehingga nilai-nilai ideologis serta pelaksanaan real akan selaras dengan kebudayaan di mana dia hidup. Maka, seorang sosiolog harus menyadari bias-bias pribadinya dan kulturalnya sehingga lebih dapat menyadari tujuan sosiologi yang bebas.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a><br /><br /> Robert Friedrichs (1970) mengembangkan ide-ide Thomas Khun ke dalam sosiologi secara sistematis, dengan mempresentasikan dua image berbeda dari status paradigma dalam sosiologi, yang sama-sama menyatakan sebagai ilmu yang berparadigma lebih dari satu (a multiple paradigm science). Image pertama adalah image sosiolog tentang diri mereka sebagai agen keilmuan (self-image of the sociologist), yang meliputi dua paradigma, yaitu : paradigma yang bersifat seperti Nabi (prophetic paradigm) dan paradigma yang bersifat seperti pendeta (priestly paradigm). Yang pertama sosiolog itu sebagai agen perubahan sosial, sedangkan yang kedua memandang sosiolog sebagai ilmuan bebas nilai. Image kedua berlandaskan pada image dari pokok persoalan (subject matter), yang membedakan antara paradigma sistem dan paradigma konflik. Yang pertama menekankan keseimbangan dan intergrasi sosial, sedangkan yang kedua menekankan pada disintegrasi dan adanya paksaan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn29" name="_ftnref29">[29]</a><br />Sosiologi profetik melandaskan dirinya pada prinsip untuk melakukan perubahan sosial yang berangkat nilai profetika dengan kerangka pemikiran sosiologi yang multi paradigmatik. Jadi, bisa dikatakan bahwa sosiologi profetik itu hampir mirip dengan sosiologi humanis ataupun sosiologi kritis yang merefleksikan secara kritis terhadap masyarakat dengan ragam bentuk struktur dan kultur sosialnya. Dengan tetap berpijak pada realitas yang otonom maka seorang peneliti harus mengkritisi apa yang merupakan bagian dari stuktur realitas tersebut. Maka, penelitian yang harus dikembangkan dalam sosiologi profetik adalah model penelitian partisipatif, yang masuk secara langsung melebur bersama dengan obyek kajian. Ya, seperti halnya para Nabi yang masuk secara langsung ke dalam masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Ketika data diperoleh maka analisis yang dilakukan perlu melibatkan pendekatan pemahaman (intepretatif) untuk membaca realitas secara obyektif dan kritis, baik dari hermeneutika, verstehen, maupun kajian secara fenomenologis. <br /> <br /> Di tengah pesona modernitas yang mengalami nihilisme makna kehidupan, sudah saatnya sosiologi profetik mengembangkan kerangka kerja ilmiah untuk melanjutkan usaha-usaha yang dilakukan para Nabi. Sosiologi profetik hanyalah salah satu model sosiologi alternatif, yang tidak mengenal kata akhir proses pencarian dalam upaya memahami masyarakat dengan baik. Seperti kata Pak Kunto, hanya dengan keberanian akademik kita maju melangkah ke depan. Yang akan kita usung adalah “kesadaran aktif sejarah” untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah yang adil dan manusiawi, dengan berangkat dari tiga unsur pembentuk kesadaran, yaitu emansipasi, liberasi, dan transedensi. Tugas yang sangat berat adalah bagaimana mengembangkan kemampuan daya pikir ilmiah dan kritis dalam memahami realitas yang dihubungkan dengan spirit keagamaan dan kenabian. Dan itu menjadi agenda penting dalam gagasan ini selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a>Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Goenawan Muhammad dkk, (Tintamas: Djakarta, 1966), hal. 123.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a>Roger Geraudy, Janji-janji Islam, terj. HM. Rasyidi, (Bulan Bintang: Jakarta, 1984), cet. II, hal. 109-34.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a>Lihat Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2002), Edisi Revisi, hal. 20.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a>Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1986), Jilid 1, hal. 171-2.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a>George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Alimandan, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hal. 15-42.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a>Lihat Ibid, hal. 24-35. Saya kira kurang tepat jika Ritzer menempatkan Teori Konflik ke dalam Paradigma Fakta Sosial yang disandingkan dengan Fungsionalisme Struktural, karena Karl Marx, sebagai salah satu penggagas teori ini lebih menekankan pada paradigma “aksi sosial-kritis”. Dan pada buku itu, Ritzer tidak membahas tentang pemikiran Karl Marx secara utuh tersendiri --kecuali dalam buku teori sosiologinya--, dan juga tidak ditaruh pada paradigma yang mana sehingga terkesan kurang jelas.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a>Ibid, hal. 44.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a>Apa yang dilakukan melalui kerangka verstehen ini? Yaitu melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subyektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya (put one's self imaginatively in the place of the actor and thus sympathetically to participate in his experience). Tapi, yang diminta adalah “empati”, yaitu kemampuan untuk menempati diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Lihat Max Weber, Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Free Press, 1963), hal. 90.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a>Ibid, hal. 151-2.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a>Ibid, hal. 157-9.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a>Ilyas Ba-Yunus, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj. Hamid Basyaib, (Jakarta: Mizan, 1988), hal. 20-27.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a>Dikutip oleh Mansour Faqih, op. cit., hal. 23-29.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a>Joseph MMT Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a>Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1988), cet.II, hal.24-25.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a>Ilyas Ba-Ynus, op.cit, hal. 37.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a>F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 8-10.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a>Ibid, hal. 11-14.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a>Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. A. Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisiphus, 1999), hal. 23-24.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a>Lihat Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001) hlm. 137-144.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a>Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Seabury Press, 1975), hal. 15.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a>Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tindakan rasional (menurut Weber) menurut pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalitas tindakan ini ke dalam empat macam, yaitu: rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Rasionalitas instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yangs sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau nilai akhir baginya. Lihat Paul Johnson, op.cit., hal. 220-1.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a>Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 11.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a>Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 370.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a>Max Weber, From Max Weber, peny. H.H. Gerth dan C.W. Mills, (London: Routledge, 1948), hal. 155.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a>HA. Cubbin, “Talcott Parsons”, dalam Peter Beilharz, op.cit., hal. 294-5.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a>George Ritzer, op.cit, hal. 25.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a>Dikutip oleh Pak Kunto dalam tulisannya mengenai ISP.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a>Lihat Julia Sugandi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis Menuju Praksis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS, 2002), hal. 43-46.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref29" name="_ftn29">[29]</a>George Ritzer, Modern Sociological Theory, (USA: McGraw-Hill Companies Inc., 1996). Hal 500-1.Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-29337080704727518252007-10-25T20:19:00.000-07:002007-10-25T20:22:33.834-07:00Cendekiawan, Antara Idealisme dan KekuasaanOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat dalam <a href="http://www.kommpak.com/"><span style="color:#000000;">www.kommpak.com</span></a><br /><br />Agenda reformasi belum mencapai hasil yang memuaskan. Boleh dikata, cita gerakan reformasi mengalami proses kemunduran. Pemerintah kita tidak mau serius dalam upaya melakukan pembaharuan kondisi negara dan pemerintahan ini. Demikian halnya dengan gerakan civil society yang terasa sepi karena semua terfokus pada bagaimana meraih kekuasaan. Yang dulu pernah keras dan kritis dalam menyikapi kondisi pemerintahan, kini justru ikut-ikutan dalam meraih kekuasaan. Dengan mudahnya kekuasaan diraih, yang penting adalah bagaimana popularitas dan kekuatan berbasis rakyat yang selama ini telah dimilkinya mampu menjual dirinya untuk menggapai kekuasaan yang ada.<br /><br />Cendekiawan pun tidak mau ketinggalan dalam arus pop zaman ini. Mereka berani menaruh idealismenya ke dalam laci buku dan pengetahuan demi mengukuhkan keinginan besarnya untuk menjadi sang penguasa. Ada sebuah ironi manakala mereka dengan mudah tergiur oleh iming-iming kekuasaan. Ironis, karena mereka seharusnya jauh dari kekuasaan. Mereka tidak lagi kritis dalam menyikapi kebijakan negara dan pemerintahan. Padahal, kita sangat butuh kehadiran cendekiawan yang secara konsisten menyuarakan kebenaran untuk memihak pada keadilan rakyat dan kepentingannya.<br /><br />Wacana cendekiawan dan peranannya dalam masyarakat Indonesia seecara historis struktural masih dikuasai oleh kelompok kelas menengah (Hikam:1999, 2). Kiprah cendekiawan Indonesia muncul dan diprakarsai oleh kelompok terdidik yang berpusat di kota-kota. Gerakan-gerakan awal cendekiawan Indonesia didominasi oleh mereka yang memiliki class origin dari elit pribumi baru (the new indigenous elite) yang mendapat kesempatan pendidikan moder (Barat). Akhirnya, peran cendekiawan memiliki pengaruh dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan politik pada sebuah masa kekuasaan. Pada masa Orde Baru, cendekiawan banyak mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah pada saat itu. Terlebih pada masa sekarang ini. Yang jelas, peran cendekiawan sangat dibutuhkan oleh sebuah kekuatan negara yang sedang berkuasa.<br /><br />Cendekiawan tidak berdiri sendiri akhirnya. Mereka sangat terkait dengan kondisi sosial yang melingkupinya. Sehingga, cendekiawan itu tidak hanya diam di balik tumpukan buku dan keilmuan, tapi mereka pun punya keterlibatan praksis. Di sini lalu ada dua kecenderungan. Pertama, cendekiawan yang lebih pro-status quo. Mereka adalah cendekiawan yang telah jauh dari cita-cita keilmuannya, karena tidak lagi berupaya untuk menggerakkan potensi yang dimilikinya untuk mengkritik kekuasaan yang telah mapan. Padahal, kekuasaan negara itu tidak selamanya benar sehingga patut untuk selalu dikritik. Kadang, dengan atas nama kebenaran kekuasaan negara itu menindas rakyat, yang tanpa disadari oleh rakyat sendiri. Hanya kaum cendekiawanlah yang mempunyai kepekaan kritis dalam menyikapi pengaruh negara.<br /><br />Cendekiawan yang pro-kemapanan hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Sumbangan pemikiran yang dihasilkannya sudah tidak murni lagi. Segalanya diproyeksikan untuk mengawal negara sehingga negara dan pemerintah mempunyai benteng untuk melancarkan kekuatannya. Kecenderungan yang kedua adalah cendekiawan yang pro-perubahan. Ini yang semestinya dilakukan oleh setiap cendekiawan. Tidak ada kata berhenti dalam mengkritik negara dan pemerintahan. Sumbangan cendekiawan sangat besar dalam proses perubahan dari ketidakaadilan menuju keadilan. Kenapa demikian? Karena, peran cendekiawan adalah sebagai artikulator dalam membaca pikiran-pikitan perubahan kepada masyarakat.<br /><br />Cendekiawan yang diharapkan, lagi-lagi, bukan cendekiawan yang hanya berdiam manakala mereka mengartikulasikan wacana kebenaran melalui menara gading. Mereka perlu terjun ke dalam masyarakat akar rumput (grass-roots) agar bisa menangkap pesan secara jernih dan menyatu dengan hati nurani rakyat. Cendekiawan yang elitis sudah tidak bisa diandalkan lagi. Mengikuti pandangan Antonio Gramsci, pemikir politik asal Italia, yang menyatakan bahwa intelektual itu adalah yang organis. Cendekiawan atau intelektual itu harus terjun ke bawah, menyatu dengan dinamika perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Mau tidak mau cendekiawan tidak tinggal diam, mereka harus ikut menyuarakan kebenaran yang disampaikan rakyat pada kekuasaan yang menindasnya.<br /><br />Antonio Gramsci (dalam Malcolm Waters:1994, 182-185), mengingatkan bahwa perubahan sosial harus dilakukan bukan dengan cara memobilisasi massa (ia berbeda dengan Karl Marx), melainkan dengan menggunakan gerakan intelektual dengan membangun kesadaran kultural masyarakat. Gerakan ini ditujukan dalam rangka melawan kekuatan negara yang hegemonik, yang dalam istilah Gramsci disebut dengan counter hegemoni.<br /><br />Jika, akhir-akhir ini marak diperbincangkan mengenai cendekiawan yang masuk dalam ring kekuasaan maka ada pertanyaan besar yang mengusik pikiran saya. Mengapa penyuaraan atas hakikat kebenaran itu mesti dilakukan melalui perangkat kekuasaan? Mungkin, banyak alasan terlontar dari beberapa cendekiawan yang mengatakan bahwa langkah masuknya mereka ke dalam ring kekuasaan demi mempraktekkan dalam wilayah yang lebih jelas dan praksis. Padahal, secara historis tatkala cendekiawan masuk ke dalam kekuasaan maka sikap kritis itu akan hilang dalam pikirannya. Ini banyak sekali terjadi.<br /><br />Saya melihat bahwa masuknya cendekiawan ke dalam ruang kekuasaan bukan demi pencapaian tujuan-tujuan ideal seperti yang mereka kehendaki sejak awal. Jika sudah masuk ke dalam kekuasaan maka hanya kesenangan dan kesejahteraan yang mereka dapati. Kalau sudah begitu, mereka akan diam dan merasa tenang dengan limpahan harta dan jabatan yang telah diperoleh dalam genggamannya. Idealisme mereka sudah hilang, yang ada tinggal pragmatisme.<br /><br />Maka, alasan bahwa perubahan haluan dari sikap kecendekiawanan menuju kekuasaan demi memperbaiki keadaan secara lebih mantap dan jelas tidak bisa dipertahankan. Alasan itu hanya menjadi kedok keinginan mereka untuk meraih kesenangan hidup melalui jalur-jalur politik dan kekuasaan.Seharusnya, cendekiawan tetap mempertahankan idealisme yang sejak dulu telah dipelihara. Jangan karena demi tujuan-tujuan untuk menggapai kepentingan individu dan kelompok lalu idealisme ditanggalkan. Kekuasaan adalah wilayah pragmatis, yang siapa saja akan dengan mudah tergoda olehnya. Aktivitas politik untuk menyuarakan kebenaran tidak hanya melalui saluran kekuasaan. Ada wilayah lain yang itu akan mengabadikan diri mereka dalam eksistensi sebagai cendekiawan, yaitu wilayah kultural. Banyak tantangan yang akan menimpa perjuangan di jalur kultural ini, karena memang jalur ini hanya mengandalkan idealisme dan konsistensi para cendekiawan dalam memperjuangkan keadilan sosial.<br /><br />Apakah jalur kultural jauh dari nuansa politik? Menurut Bachtiar Effendy (2000:191), agenda kultural juga merupakan kegiatan politik dalam langgam dan irama yang lain. Peran politik tidak diharuskan dilihat pada orientasi pencapaian kedudukan negara. Meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis dengan mengusung aspek-aspek keadilan, musyawarah, egalitarianisme, dan sebagainya adalah bagian dari gerakan politik juga.<br /><br />Oleh sebab itu, diharapkan agar cendekiawan kita tidak mudah tergoda oleh politik dan kekuasaan. Masih banyak agenda kultural yang perlu dilakukan oleh cendekiawan kita. Sangat disayangkan apabila cendekiawan berubah haluan menuju kursi kekuasaan. Walaupun tidak merasa sejahtera untuk diri sendiri, tapi dengan jalur kultural idealisme akan tetap dipertahankan dan kesejahteraan masyarakat akan bisa dirasakan secara menyeluruh. Wallahu A’lam.Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-26575451818412707882007-10-25T20:07:00.000-07:002007-10-25T20:15:23.777-07:00Komunisme Islam H. Misbach<p>Oleh Happy Susanto <a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a></p><p>Dimuat dalam <em>Jurnal Perburuhan Sedane</em>, November 2005.<br /><br />Islam adalah agama yang dihadirkan ke muka bumi untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan keadilan. Lahirnya Islam sangat terkait dengan konteks historis (kesejarahan) umat manusia pada saat Nabi Muhammad masih hidup. Ajaran Islam harus berpijak pada bumi praksis karena agama ini hadir untuk menyikapi segala problem sosial yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Seorang Muslim yang sejati adalah dia yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dan menjalankan seluruh ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan yang nyata. Kata dan perbuatan adalah dua hal yang sangat ditekankan dalam Islam.</p><p>Di antara sekian banyak pemikir dan pejuang kemanusiaan, salah satunya terdapat nama H. Misbach, seorang kiai komunis yang sejarah hidup perjuangan dan pemikirannya menarik untuk dikaji. Ia dinilai unik karena sangat jarang tokoh yang mempunyai prinsip keyakinan yang kuat seperti dirinya. Biasanya, tokoh yang mengaku pembela hak-hak orang tertindas yang berangkat dari nilai agama lebih bersikap apriori, yaitu memandang bahwa Islam telah mengajarkan sosialisme jauh sebelum ajaran Marxisme itu ada. Lalu di sini mulai dipertentangkan antara agama dan Komunisme, termasuk Islam dan Komunsime. Apakah keduanya memang bertentangan? H. Misbach tidak memandang perbedaan semacam itu. Bagi dia, yang penting adalah bagaimana memanfaatkan “pisau analisa” (tools of analysis) dari Islam dan Marxis untuk membaca realitas sosial dan melakukan perjuangan sosial dengan menghalau segala kekuatan dominatif para kapitalis dan kolonial dalam menjajah negara Indonesia. </p><p>Perjalanan H. Misbach dalam menggerakkan agenda perjuangan kemanusiaan dan keadilan adalah dengan melalui wacana dan aksi “Islam Bergerak”. Simbol pemikiran ini telah melekat dalam jati dirinya. Konsep perjuangan yang tengah dilakukan oleh H. Misbach adalah bagaimana mensintesiskan antara ajaran Islam dan ajaran komunisme. Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan ajaran Komunisme yang disampaikan oleh Karl Marx sama-sama ingin membawa masyarakat pada cita-cita kemanusiaan dan keadilan. Sehingga, keduanya tidak perlu dipertentangkan, bahkan dinilainya saling memperkuat.</p><p>H. Misbach sangat kagum dengan kepribadian Muhammad dan Karl Marx. Keduanya di mata Misbach adalah sumber inspirasi pergerakan dalam meneguhkan pondasi kemanusiaan di bumi Indonesia. H. Misbach sangat dikenal dengan julukan “Muslim Komunis” atau “Islam Komunis” karena pemikirannya dalam mengkaji Islam dinilai sangat moderat, radikal, dan berhaluan komunis. Ia adalah pejuang komunis yang ada dalam barisan Islam.</p><p>Awal mula pergerakan H. Misbach dapat dilacak menurut kejadian historis pra-kemerdekaan negara Indonesia. Keadaan buruk pada tahun 1917-1918 menimbulkan gesekan yang sangat besar. Kenyataan ini tidak bisa disangkal oleh siapapun sehingga menuntut bagi setiap pemikir social-politik Indonesia untuk memberikan tanggapan pemikiran dan konsep yang jitu untuk memecahkan persoalan tehadap kondisi yang rumit pada saat itu. Salah satunya adalah sebuah kelompok yang mencoba mengajukan konsep Marxis untuk memahami realitas sosial yang tengah terjadi. Tokoh utama dari kelompok ini adalah Hendicus Franciscus Marei Sneevliet, ketua ISDV (sebuah gerakan sosial kiri Belanda).</p><p>Siapakah Sneevliet itu? Ia lahir pada tahun 1883 di Roterdam. Selepas menamatkan H.B.S ia kemudian aktif dalam sebuah gerakan buruh kereta api. Pada tahun 1913 ia datang ke Indonesia sebagai sekretaris sebuah perkumpulan dagang Belanda. Dan pada tahun 1914 di Semarang ia mulai mengorganisir ISDV. Sneevliet bersama kaum ISDV-nya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda yang berasal dari kalangan Sarekat Islam (SI). Misalnya, dari SI Semarang tedapat nama Semaoen, Darsono, dan lain-lain. Dari Jakarta ada Alimin dan Muso. Dan dari Solo muncul seorang tokoh bernama H. Misbach yang kini sedang kita kaji. Dari Sneevliet mereka belajar bagaimana menggunakan analisa Marxistis untuk memahami realitas sosial yang tengah dialami masyarakat Indonesia. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa kesengsaraan rakyat Indonesia disebabkan karena struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a></p><p>H. Misbach hanyalah seorang mubaligh lulusan pesantren. Posisinya sangat unik, walaupun ia tidak setenar teman-teman sejawatnya, seperti Semaun, Tan Malaka, atau tokoh-tokoh kiri Indonesia lainnya. Lelaki ini lahir di Kauman, Surakarta. H. Misbach lahir pada tahun 1876 dan dibesarkan di lingkungan keluarga pedagang batik yang makmur. Masa kecilnya ia dipanggil Ahmad. Saat menikah berganti nama menjadi Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach. Pada usia sekolah, H. Misbach telah mengisi wawasan pengetahuannya dengan pelajaran-pelajaran keagamaan dari pesantren. Itu karena ia memang berada dalam lingkungan yang religius. Selain belajar di pesantren, Misbach pernah belajar di sekolah bumiputera "Ongko Loro" selama delapan bulan. H. Misbach kemudian mengikuti jejak ayahnya yaitu menjadi pedagang batik di daerah Kauman. Pada saat SI Surakarta berdiri di tahun 1921, H. Misbach mulai aktif di dalamnya. Tapi, mulai benar-benar aktif ketika SI membentuk Indlandsche Journalisten Bond (IJB). Sepak terjang pergulatan pemikiran H. Misbach sangat terkait dengan konteks historis perkembangan Islam di Surakarta.</p><p>Kelompok Islam di Surakarta mengalami perpecahan. Perpecahan ini bermula dari sebuah artikel yang ditulis oleh Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI yang dimuat dalam Djawi Hiswara. Tulisan itu dinilai beberapa tokoh Islam Surakarta sebagai bentuk “pelecehan” terhadap Islam. HOS. Cokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono itu yang muncul di Oetoesan Hindia. Karena adanya “provokasi” balik yang dilakukan Cokroaminoto, kaum muda Islam Surakarta bangkit melakukan berbagai aksi perlawanan. Akhirnya, Cokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), sebagai kendaraan untuk melakukan perjuangan itu. H. Misbach muncul sebagai seorang mubaligh yang sangat vokal sehingga mulai saat itu namanya mencuat ke atas. H. Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Pada saat itu, ia menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. </p><p>Pada awal perjuangannya, H. Misbach memang dekat dengan pemikiran Cokroaminoto yang sama-sama mengusung tema sosialisme Islam. Ia sangat berhutang budi atas usaha Cokroaminoto yang telah mengangkat namanya ke permukaan di antara sederet tokoh Muslim Surakarta. Tapi dalam perkembangan pemikiran berikutnya, H. Misbach menjadi lebih radikal dalam menggerakkan Islam sebagai agama keadilan dan kemanusiaan. Lembaga perkumpulan tabligh yang reformis bernama Sidiq, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) yang bediri bersamaan dengan berdirinya TKNM kemudian menjadi kendaraan perjuangan H. Misbach untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Dari sini sebenarnya H. Misbach sudah “berseberangan” dengan Cokroaminoto, seperti halnya dalam kasus perpecahan SI. </p><p>Artikel pertama H. Misbach yang ditulis dalam Medan Moeslimin berjudul “Seroean Kita” menjadi sebuah tulisan yang memikat banyak orang karena ditulis dengan gaya penyampaian yang sangat khas. Dinilai khas karena bernada provokatif dan berfungsi menggerakkan massa yang menjadi harapan perjuangan pergerakannya. Sikap-sikap H. Misbach yang tercermin dalam tulisannya itu kemudian dikuti oleh kelompok SATV. Anak-anak muda yang tergabung dalam SATV mengkritik keras ulah elit pemimpin TKNM yang dinilai melakukan korupsi dan penindasan terhadap umat Islam. H. Misbach mengembangkan ideologi gerakan SATV dengan jalan "menggerakkan Islam", yaitu dengan menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.<br /><br />Pergulatannya dengan SI dan PKI<br /><br />Dalam catatan sejarah, H. Misbach terlibat dalam pergulatan intens dengan SI dan PKI. Perpecahan di dalam tubuh SI menyebabkan H. Misbach menentukan sikap di kubu mana ia akan berjuang. SI mengalami perpecahan dengan tampilnya kelompok Semaun dan Darsono yang memperluas jaringan SI Semarang menjadi sebuah kelompok merah radikal. Mereka berdua beserta kaum Komunis lainnya melakukan upaya “pemberontakan” terhadap SI yang dinilai telah keluar dari jalur perjuangan. Kelompok SI yang berhaluan putih, yaitu mereka yang menolak doktrin komunisme dan lebih bersikukuh pada kosep sosialisme Islam, seperti Agus Salim dan Cokroaminoto, melakukan perlawanan dengan memperkuat jaringan SI menjadi Centrale Sarekat Islam (CSI). </p><p>Mereka berdua mencoba melepaskan diri dari dominasi kelompok Islam (SI Putih). Kongres SI Oktober 1921 di Surabaya mengambil disiplin partai agar anggota-anggota PKI dikeluarkan dari SI. Kelompok Semaun (SI Semarang) adalah bagian dari korban kebijakan itu. Akhirnya, Semaun dan kawan-kawannya keluar dari CSI. Pada tanggal 24-25 Desember 1921, SI Semarang mengadakan kongres untuk merespon kebijakan baru SI Pusat. Kongres ini dipimpin oleh Tan Malaka sendiri karena Semaun (Ketua) dan Darsono (Wakil) telah berangkat ke luar negeri pada Oktober 1921 untuk melakukan kontak hubungan erat dengan Koskow. Kongres itu akhirnya mengambil keputusan untuk menyusung cabang-cabang SI yang keluar dari CSI itu dalam sebuah centrale SI “merah” guna menentang CSI “putih” pimpinan Cokroaminoto.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a></p><p>Ketika Semaun balik ke Indonesia pada 24 Mei 1922, ia mencoba menyusup ke dalam SI agar tetap bisa menbawa pengaruh komunis dalam SI. Tapi, Semaun mengalami kesulitan karena Kongres SI Februari 1923 tetap mengambil keputusan disiplin organisasi. Sikap ini ditanggapi oleh kaum Komunis dengan mengadakan kongresnya di Bandung pada 4 Maret 1923. Kongres ini dihadiri oleh 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah, dan perkumpulan sehaluan komunis. Ada banyak kritikan yang muncul terlontar dari peserta kongres ini terhadap kebijakan SI Pusat (CSI) tersebut. Semaun menganggap bahwa SI sudah dibentuk untuk menjunjung kepentingan kaum pemodal dan SI memboroskan uang yang diterimanya dari rakyat. Darsono, dalam forum itu, menegaskan bahwa kaum komunis tidak akan melakukan pertumpahan darah, tapi akan bekerja dengan jujur. Sedangkan H. Misbach menunjukkan ayat-ayat al-Qur’an hal-hal yang berkesesuaian antara Islam dan Komunisme. Misalnya, Islam dan Komunisme sama-sama memandang perjuangan sosial demi menegakkan keadilan masyarakat sebagai sebuah kewajiban, sama-sama menghormati HAM, dan bahwa keduanya berjuang terhadap berbagai bentuk penindasan. Seorang Muslim yang sejati sangatlah mustahil menolak dasar-dasar komunis. Adalah dosa besar apabila memakai agama Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri (ini ditujukan bagi pemimpin-pemimpin SI). Dalam forum ini pula, H. Misbach mempopulerkan istilah “sama rasa sama rata” sebagai doktrin kaum komunis karena komunisme tidak membiarkan adanya perbedaan-perbedaan nasib, komunisme ingin melenyapkan kelas-kelas manusia, dan itu juga dilakukan oleh Islam.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a></p><p>Akibat kerasnya suara yang disampaikan kaum komunis itu, beberapa tokoh PKI mengalami nasib yang menyusahkan. Misalnya, Semaun dikeluarkan dari Indonesia pada Agustus 1923 karena kasus pemogokan pegawai kereta api (Mei 1923). Ditinggalkannya PKI oleh Semaun, sebagai pelanjut gerakan ini, Darsono berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan kekuatan kaum komunis. Ia berpikir terlebih dahulu tentang bagaimana upaya memperbesar jumlah rakyat umum komunis serta memperkokoh barisannya sebelum memikirkan hal-hal lain. Di seberang kelompok lain, yaitu kelompok H. Misbach, bersikukuh untuk melakukan aksi-aksi liar dan sampai berani melakukan pembunuhan dengan bom, membinasakan tali kawat, dan sebagainya. Itu semua dilakukan demi maksud menyiapkan revolusi. Sangat radikal memang! Tapi, aksi itu berujung pada penghancuran oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan menangkap H. Misbach dan kemudian membuangnya pada bulan Juli 1924 ke Manokwari. H. Misbach meninggal dalam masa pembuangan akibat penyakit malaria pada 24 Mei 1926.<br /><br />Pemikiran Revolusioner H. Misbach<br /> <br />Pemikiran H. Misbach tentang Islam dan komunisme sangatlah menarik. H. Misbach berangkat dari sebuah keyakinan keras bahwa Islam dan komunisme tidaklah bertentangan. Keduanya saling memperkuat dalam upaya perbaikan kondisi sosial, di mana dan kapanpun selama eksploitasi dan penindasan masih merajalela. Dalam peta pemikiran yang lebih luas, posisi H. Misbach sungguhlah unik. Ia berbeda dengan kebanyakan kelompok Islam garis “kanan” (fundamentalis) yang menganggap bahwa komunisme itu ateis (tidak percaya Tuhan), anti-agama, dan sikap-sikapnya dilakukannya dengan jalan pertumpahan darah. H. Misbach berupaya keras mendekatkan pesan Islam setara dengan pesan yang diajarkan dalam komunisme. </p><p>Dalam peta pemikiran di garis “kiri” (Marxis), H. Misbach berbeda dengan kaum komunis lainnya. Walaupun ia sehaluan perjuangan dengan kelompok Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan lain-lain (dalam gerbong organisasi PKI/SI Merah) H. Misbach tetap berpegah teguh pada keyakinan Islam, dan oleh sebab itu ia tidak mau menjadi seorang ateis. Agak sulit bersikap seperti H. Misbach ini karena biasanya kaum komunis itu melepaskan diri dari ikatan agama. Perpecahan dalam tubuh SI adalah karena ada beberapa kelompok yang menolak posisi agama lebih dipentingkan dalam perjuangan keadilan dan kemanusiaan pada masa pra-kemerdekaan. </p><p>Seperti yang telah penulis petakan mengenai posisi pemikiran H. Misbach yang tidak ke kanan, tapi juga tidak sama persis dengan teman-temannya di kubu kiri. Pemikiran H. Misbach dikenal sangat moderat. Artinya, pemikiran H. Misbach berada pada titik di tengah, mencoba mensintesiskan paradigma Islam dengan paradigma Marxis. Keberislaman H. Misbach tidak dilakukan secara simbolis, sempit, dan normatif. Ia tidak suka dengan simbol-simbol agama yang dimaknai secara normatif. Ambil contoh misalnya dalam hal berkopiah. H. Misbach tidak suka menggunakan penutup kepala yang biasanya menggunakan kopiah model Arab. H. Misbach lebih suka menggunakan penutup kepala model Jawa. Ia merasa bahwa untuk apa menggunakan simbol-simbol agama dalam berpakaian kalau ternyata masih menyimpan kebusukan pemikiran dan sikap keagamaan. Baginya, yang penting adalah substansi dalam mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan praktis. Identitas Islam tidak memberikan jaminan bahwa seseorang itu telah benar-benar menjalankan Islam dengan baik. Ukurannya adalah sejauhmana tujuan-tujuan agama telah dilaksanakan, dan itu tidak tergantung pada simbolisasi dan pemaknaan sempit. </p><p>Dalam berbagai forum, H. Misbach selalu berupaya meyakinkan banyak orang (terutama kelompok Islam) bahwa ada banyak sekali kecocokan antara ajaran Islam dan ajaran komunisme. Ia pun menyuguhkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan, yang itu kemudian dihubungkan dengan pemikiran Karl Marx. H. Misbach hanyalah seorang mubaligh tapi pemikiran dan pergerakannya sangat luar biasa apalagi di masanya itu. Seorang H. Misbach punya keinginan kuat untuk mempersiapkan revolusi Indonesia. Tapi, sayang nama beliau sering dilupakan dalam catatan sejarah perjuangan rakyat Indonesia, seperti halnya seorang Tan Makala. Jika banyak pihak kemudian menyesalkan perjuangan revolusioner yang dilakukan H. Misbach dengan jalan kekerasan, mungkin itu adalah kelemahan dalam pemikirannya. Tapi, itu tidak mengurangi kekuatan pemikirannya yang telah memberikan inspirasi besar bagi para pelanjut gerakan revolusioner di hari kemudian.</p><p>Melalui tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media massa pada saat itu, H. Misbach berupaya mengemukakan gagasannya untuk menggerakkan rakyat dalam perjuangan melawan kekuatan kapitalis dan kolonial. H. Misbach pernah membuat sebuah kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Ia menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, bersama mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, menarik pajak. Ia pun menggugat residen Surakarta, Paku Buwono X karena ikut-ikutan menindas rakyat. Suaranya lantang dalam menegakkan keadilan di bumi Indonesia. Walaupun ia akhirnya ditindas oleh kekuasaan kolonial yang dibantu oleh kekuatan kapitalis Indonesia, tidak membuat dirinya membungkam suara kerasnya. Siapa saja yang dinilainya buruk maka tidak tanggung-tanggung itu semua akan “dilabraknya”. H. Misbach adalah figur yang sangat pemberani dan punya keteguhan dalam bersikap.</p><p>Selama di pengasingan, walaupun dalam kondisi menyedihkan H. Misbach tetap membuat catatan laporan perjalanannya dan mengirimkannya kepada rekan-rekan seperjuangannya. H. Misbach juga menyusun artikel berseri bertemakan "Islamisme dan Komunisme". Tulisan itu bermaksud memberikan kesadaran yang sangat penting bagi orang yang dirinya mengaku Islam dan komunis yang sejati, yakni suka menjalankan apa yang telah diwajibkan kepada mereka oleh agama dan komunis. Dalam keadaan apapun, ia tetap kuat dan berani dalam melakukan apa yang diyakininya benar. </p><p>Bagaimana konstruksi pemikiran revolusioner-keagamaan yang dikembangkan oleh H. Misbach? Sesungguhnya, ia mencoba mengeksplorasi pondasi-pondasi dasar kemanusiaan dalam Islam dengan tekanan-tekanan revolusioner. Ia tidak berhenti pada wacana, tapi sudah masuk pada aksi yang dilakukan secara massif dengan kekuatan-kekuatan revolusioner. Islam adalah agama praksis, yaitu sebuah ajaran yang menggerakkan umat manusia untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan di muka bumi. Islam bukanlah lembaran-lembaran ayat yang dibaca setiap hari tanpa meberikan makna yang berarti bagi perbaikan kondisi sosial. Sejarah kehidupan Nabi Muhhamad telah menunjukkan bahwa Islam adalah agama perjuangan, yaitu dengan jalan menghalau berbagai kekuatan kapitalis yang mengeksploitasi masyarakat Mekkah pada saat itu. Dalam bahasa H. Misbach, Islam adalah agama yang aktif dan begerak. Dengan memahami pemikiran H. Misbach kita bisa melihat bagaimana menariknya tokoh yang satu ini.</p><p>Mari kita coba analisa beberapa butir pemikiran H. Misbach. Pertama, titik pijakannya sangat jelas, yaitu dalam soal tauhid. Di sinilah urgensi bagaimana mengkonkritkan konsep tauhid --yang menjadi pondasi keberislaman seseorang-- dalam bentuk gerakan emanatif di wilayah praksis. Tauhid normatif dikembangkan menjadi tauhid pembebasan, dengan pengertian bahwa “keesaaan Tuhan” berujung pada “keesaan umat manusia”. Dengan prinsip tauhid, manusia diajarkan bagaimana memahami kenyataan dalam kesatuan Tuhan (tiada Tuhan selain Allah) dengan berimplikasi pada upaya untuk mempersatukan umat manusia (dalam satu kesatuan keadilan dan kemanusiaan).</p><p>Asghar Ali Engineer, seorang penggagas Teologi Pembebasan Islam, mengungkapkan analisis tajam mengenai hal ini. Menurutnya, Tauhid adalah inti dari teologi Islam yang biasanya diartikan dengan keesaan Tuhan. Teologi pembebasan, berbeda dengan teologi tradisional (normatif), menafsirkan tauhid bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind) yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat kelas (classless society). Konsep tauhid yang dimaksud demikian sangat dekat dengan semangat al-Qur’an untuk menciptakan keadilan dan kebajikan (al-‘adl wa al-ahsan).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a></p><p>Penjelasan Asghar hampir mirip dengan H. Misbach karena sama-sama menghendaki masyarakat tanpa kelas dengan prinsip tauhid. Jika dirangkai dalam format pemikiran H. Misbach itu disebut dengan istilah masyarakat tauhidi-komunis. Masyarakat tauhidi-komunis adalah tatanan masyarakat yang tidak menghendaki adanya berbagai diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta, ataupun kelas. Masyarakat tanpa kelas adalah cerminan dari model tatanan ini. Umat manusia benar-benar satu, tidak dibedakan karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit, dan sebagainya. Dan intinya, masyarakat tauhidi-komunis tidak mengenal bentuk eksploitasi dan penindasan.</p><p>Untuk melacak penjelasan tauhid semacam itu, bisa dibaca pada beberapa butir al-Qur’an yang memihak pada kaum tertindas (mustadh’afin). Misalnya, surat al-Qashash ayat 5 dan 6 yang berbunyi: “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan meteka di muka bumi.” Di sini terlihat jelas bahwa Islam adalah agama pembebasan dan menjadikan kaum tertindas sebagai tujuan perjuangan dalam Islam. Kaum tertindas tidak bisa diremehkan karena ketika mereka bangkit melakukan perjuangan maka Tuhan tentu bersama mereka.</p><p>Kedua, doktrin “sama rata sama rasa” yang pernah disampaikan H. Misbach. Artikel H. Misbach berjudul “Nasehat” dimuat dalam Medan Moeslimin yang terbit pada 1 April 1926 yang isinya antara lain: agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi, dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.</p><p>Konsep “sama rata sama rasa” dimaksudkan ingin memposisikan manusia dalam satu perasaan dan kesejahteraan bersama. Tidak ada pembedaan antar umat manusia, tidak ada yang berkelas atas dan di bawahnya, yang berkedudukan dan yang tidak mempunyai kedudukan sama sekali, antara yang kaya dan miskin. Umat manusia diukur sejauhmana kemanusiaan yang ada dalam dirinya itu diperhatikan. Manusia yang punya rasa kemanusiaan untuk memberikan keselamatan dan rasa aman bersama adalah manusia yang sejati. Di hadapan Tuhannya, tidak ada manusia yang dibeda-bedakan. Hanya hambanya yang punya iman dan rasa kemanusiaan tinggi adalah dia yang benar-benar telah bertakwa.</p><p>Dengan istilah tersebut, H. Misbach ingin mengkonkretkan bangunan konsep Islam dan komunisme tentang masyarakat tanpa kelas. Mengenai masyarakat tanpa kelas, bisa dirujuk pada surat al-Mukminun ayat 52 yang berbunyi: “Sesungguhnya ini, umat kamu, umat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada-Ku.” Umat manusia adalah satu, tanpa kelas-kelas dan pembedaan. Semuanya di mata Tuhan adalah sama. Manusia diciptakan berasal dari satu, dan akan berakhir pada sebuah kesatuan pula. Tugas manusia adalah bagaimana mengembalikan simpul kesatuan itu. Dan tugas ini adalah apa yang dicita-citakan dalam Islam dan komunisme. </p><p>Ketiga, ideologi H. Misbach adalah “Islam bergerak”, yaitu bersatunya kata dan perbuatan. Ia menggerakkan Islam untuk memerangi ketidakadilan, penindasan, dan eksploitasi. Islam bergerak kemudian menjadi “rakyat bergerak”. Apa makna dibaik peralihan ini? Dengan titik pijak Islam yang digerakkan dalam merespon berbagai kondisi sosial yang timpang, kemudian diproyeksikan dalam wilayah yang lebih luas, yaitu rakyat secara keseluruhan untuk dijak dalam satu perjuangan melawan bentuk-bentuk penindasan. Dalam proses perjuangan, kata dan perbuatan menjadi satu. Tidak cukup perjuangan hanya dengan kata-kata dalam bentuk tulisan dan ceramah, tapi mesti dibarengi dengan gerakan yang lebih nyata. Dan ini telah dilakukan oleh H. Misbach dengan baik sekali. Ia adalah pemikir-pergerakan yang sangat tulen. Ia tidak ingin terjebak pada dinding intelektualisme yang kaku, yang hanya berbicara di atas menara gading dan menjauh dari realitas yang ada.</p><p>Membangun masyarakat tanpa kelas tidak bisa dilakukan jika tidak dibarengi dengan gerakan dan perbuatan yang konkrit. Berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan tidak cukup dengan kata-kata, tapi harus pula dibarengi dengan perbuatan yang nyata. Artinya, bagaimana menggiring dari cita-cita normatif Islam ke gerakan sosial untuk memerangi berbagai ketidakadilan yang mewabah di muka bumi. Apa yang digerakkan oleh H. Misbach adalah bertujuan mengembangkan cita-cita transformasi sosial. Ini senada dengan pemikiran Kuntowijoyo tentang perpaduan antara iman dan amal. Di dalam al-Qur’an sering sekali disebutkan agar manusia itu beriman dan beramal shalih. Beriman tidak cukup dengan mengucapkan beberapa kalimat baik (kalimah thoyyibah). Iman itu harus berujung pada amal (aksi). Artinya, tauhid harus diaktualisasikan. Memang, pusat Islam adalah Tuhan, tapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Semua nilai-nilai dalam Islam juga berimplikasi praktis dalam kehidupan nyata, yaitu kehidupan umat manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a></p><p>Soal perpaduan kata dan perbuatan dari H. Misbach ini sangatlah menarik. Bagaimana mungkin ketidakadilan itu bisa diberantas tanpa upaya konkrit perjuangan sosial? Sepertinya, H. Misbach juga terinspirasi oleh surat ar-Ra’du ayat 11 yang berbunyi: “sesunggunya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka sendirilah yang mengubahnya”. Perjuangan H. Misbach adalah ingin mengubah keadaan masyarakat menuju keadilan. Itu mesti melibatkan tangan-tangan aktif manusia. Tidak bisa mengandalkan takdir sejarah. Semuanya akan terjadi apabila manusia sendirilah yang melakukan perubahan. Berkata adalah suatu hal yang sangat mudah, tapi bagaimana melakukannya adalah hal yang sulit sehingga membutuhkan kesadaran dan kesabaran dari masing-masing individu.</p><p>Mengenai persamaan ajaran Islam dan Komunisme didukung oleh Soekarno. Dalam tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, ia mengatakan bahwa “Kaum Islamisme tidak boleh lupa bahwa kapitalisme musuh Marxisme, itu musuh Islam pula”; “Islamis yang fanatik dan memerangi Marxisme adalah Islamis yang tak kenal larangan-larangan agamanya sendiri”; “Hendaknya kaum itu sama ingat bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan Marxis, banyak persesuaian cita-cita, banyaklah persamaan-persamaan tuntutan-tuntutan”. Ucapan-ucapan Soekarno mendukung pemikiran H. Misbach, yaitu bahwa Islam dan kaum komunis sama-sama dalam satu peta perjuangan. Hanya saja, Soekarno lebih suka menggunakan istilah Marxisme. </p><p>H. Misbach telah melakukan kajian yang menarik mengenai kaitan Islam dan komunisme, dan ia pun telah mempraktekkan dalam berbagai perjuangan yang nyata. Sudah selayaknya, posisi H. Misbach tidak bisa diabaikan. Ia adalah pemikir dan pejuang Islam komunis yang mempunyai banyak kontribusi positif dalam dunia pemikiran dan pergerakan Islam dan keindonesiaan. Wallahu A’lam.</p><p><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a>Penulis adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Peneliti pada Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Yogyakarta.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a>Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, (Jakarta: Frantz Fanon Foundation, 1990), hal. 16-17.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a>Lihat tulisan Iqbal Setyarso, “Haji Misbach, Kiai Merah” dalam Majalah Panji Masyarakat, No. 9 Tahun IV, 21 Juni 2000.</p><p><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a>Lihat AK. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta, Penerbit Dian Rakyat, 1979), cet. viii, hal. 26.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a>Ibid, hal. 28.</p><p><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a>Lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. ii, hal 11.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1999), cet. ix, hal. 167.</p>Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-26255561576680344132007-08-19T19:45:00.001-07:002007-08-19T19:55:20.680-07:00Etika Sosial dalam IslamOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat dalam <em>Jurnal FAI Universitas Islam '45 (UNISMA) Bekasi</em>, Edisi November 2005.<br /><br />Islam adalah agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan praksis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problem sosial yang ada dalam masyarakat. Tulisan ini membahas persoalan etika sosial dalam Islam. Sekiranya, persoalan etika adalah tema penting yang menarik untuk diperbincangkan.<br /><br />Apalagi, tema tentang etika menjadi bahasan penting dalam wacana pemikiran filsafat kontemporer. Namun, pembicaraan tentang etika kurang begitu berkembang dalam Islam. Justru yang berkembang adalah kajian tentang moralitas melalui sudut pandang fiqih Islam. Moralitas yang menjadi obyek kajian etika Islam masih berbicara seputar etika secara individual, yaitu bagaimana memperbaiki diri dan kepribadian dalam bekata, bersikap, dan berbuat. Sedang etika sosialnya masih kurang mendapat tempat yang luas dalam kajian Islam.<br /><br />Pengertian Etika<br /><br />Istilah “etika” dan “moralitas” adalah dua istilah yang hampir mirip, namun sesungguhnya berbeda. Kata “etika” berasal dari kata Yunani yang dipakai untuk pengertian karakter pribadi, sedangkan “moral” berasal dari kata Latin untuk kebiasaan sosial.<a title="" style="mso-endnote-id: edn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn1" name="_ednref1">1</a> Akantetapi, dalam tulisan ini saya tidak memisahkan pengertian dua istilah tersebut. Saya lebih suka menggunakan istilah “etika” karena lebih bermakna ilmiah.<br /><br />Etika memiliki pengertian bahwa manusia diharapkan mampu mengatasi sifat-sifat jahatnya dan mengembangkan sifat-sifat baik dalam dirinya. Paul Foulquie mendefinisikan etika sebagai “aturan kebiasaan, yang apabila ditaati dan dipatuhi, akan mengantarkan manusia meraih segenap tujuannya”.<a title="" style="mso-endnote-id: edn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn2" name="_ednref2">2</a> Biasanya etika sangat terkait dengan persoalan-persoalan bagaimana meraih kebahagiaan dalam diri manusia. Kita sering mendengar istilah “etika kebahagiaan”.<br /><br />Ada tiga jenis etika, yaitu: etika deskriptif, etika normatif, dan meta-etika. Etika deskriptif adalah sebuah kajian empiris atas berbagai aturan dan kebiasaan moral seorang individu, sebuah kelompok atau masyarakat, agama tertentu, atau sejenisnya. Etika normatif mengkaji dan menela’ah teori-teori moral tentang kebenaran dan kesalahan. Sedang meta-etika atau etika analitis tidak berkaitan fakta-fakta empiris atau historis, dan juga tidak melakukan penilaian evaluasi atau normatif. Meta-etika lebih suka mengkaji persoalan-persoalan etika, seperti pertanyaan: apa makna dari penggunaan ungkapan “benar” atau “salah”?<a title="" style="mso-endnote-id: edn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn3" name="_ednref3">3</a><br /><br />Ketika kita berbicara tentang agama dan moralitas, tentu akan timbul sebuah pertanyaan penting tentang hubungan keduanya, yaitu: apakah moralitas mengandaikan agama? Seringkali kita menyamakan persepsi tentang agama dan moralitas. Banyak orang beragama memandang kaidah-kaidah moralitas itu berkaitan erat dengan agama, dan dianggap bahwa tidak mungkin orang yang sungguh-sungguh bermoral tanpa agama. Seringkali dianggap pula bahwa orang yang bermoral pasti memegang teguh keyakinan agamanya. Demikian hal sebaliknya, orang yang beragama sering dianggap pasti mengarah pada tujuan-tujuan moralitas. Padahal, kedua terma tersebut belum tentu sepenuhnya mengandung pengertian yang sama.<br /><br />Ada tiga alasan mengapa kebanyakan orang menganggap pengertian di atas: (1) moralitas pada hakikatnya bersangkut paut pada persoalan bagaimana manusia itu bisa hidup dengan baik; (2) agama merupakan salah satu pranata kehidupan manusia yang paling kuno; dan (3) dalam praktek keberagamaan ada kepercayaan bahwa Tuhan akan memberikan pahala kepada orang yang baik dan menjatuhkan hukuman bagi orang yang jahat, sehingga secara psikologis agama dapat menjadi penjamin yang kuat bagi hidup yang bermoral.<a title="" style="mso-endnote-id: edn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn4" name="_ednref4">4</a><br /><br />Alangkah baiknya, bila pemahaman kita mengarah pada pengertian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan atas agama. Memang, secara psikologis agama dapat saja dan secara faktual memang tidak jarang mendorong manusia untuk hidup bermoral, sesuai dengan kaidah-kaidah moralitas. Demikian pula, dalam kenyataannya orang yang beragama dengan benar-benar akan membuahkan hidup bermoral yang baik. Menurut J. Sudarminta, walaupun logika di atas bisa dipahami, tapi sesungguhnya prinsip-prinsip dasar moralitas dapat pula dikenali dan dipraktikkan oleh manusia yang tidak beragama yang menggunakan pemikiran atau akal budinya.<a title="" style="mso-endnote-id: edn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn5" name="_ednref5">5</a> Bahkan, kita pun sebenarnya sering melihat perilaku orang yang mengaku beragama tapi perbuatannya sering tidak mengindahkan kaidah-kaidah moral yang diajarkan dalam agama itu sendiri.<br /><br />Islam Agama Moral<br /><br />Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan kebenaran” untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Memahami Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas, yaitu bagaimana usaha kita menjadikan Islam sebagai panduan moral yang murni.<br /><br />Menurut Mahmud Ayyoub, Islam hadir ke dalam sebuah masyarakat diatur melalui prinsip-prinsip moral yang tidak didasarkan oleh iman terhadap kekuasaan Tuhan, melainkan didasarkan pada adat yang dihormati sehingga mampu membentuk nilai-nilai masyarakat dan struktur moralnya. Islam sangat mempertegas nilai-nilai kebaikan moral, seperti kesabaran, keramahtamahan, dan kejujuran, yang itu tidak saja ditujukan kepada keluarga terdekat, tapi juga bagi seluruh umat manusia, baik bagi anak yatim, orang miskin, dan sebagainya.<a title="" style="mso-endnote-id: edn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn6" name="_ednref6">6</a><br /><br />Memahami Islam dengan kandungan ajaran moralitasnya perlu dilacak secara historis bagaimana konstruksi bangunan pemikiran Islam ketika Nabi Muhammad mengembangkan Islam pada saat itu. Hal ini penting agar kita mampu menangkap pesan-pesan moralitas Islam dengan baik. Karena, oleh sebagian besar masyarakat Muslim, konstruksi pemahaman tentang Islam selalu dirujuk pada produk aturan syariat yang didirikan Nabi pada saat beliau sudah menetap di kota Madinah. Kita sering melupakan prosesi sejarah di mana Islam sebenarnya terkonstruksi melalui sebuah proses yang bertahap dan disesuaikan dengan konteks zaman pada saat itu.<br /><br />Mahmud Muhammad Thaha, pemikir Islam asal Sudan, yang merupakan guru dari Abdullahi Ahmed An-Naim, memberikan perspektif baru dalam melihat Islam dan produk syariatnya. Beliau membagi Islam pada dua periodesasi, yaitu periode Mekkah (610-622 M) yang disebut dengan “ar-risalah al-ula” (the first message-Misi Pertama) dan periode Madinah (622-632 M) yang disebut dengan “ar-risalah ats-tsaniyah” (the second message-Misi Kedua).<a title="" style="mso-endnote-id: edn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn7" name="_ednref7">7</a><br /><br />Karakter Islam yang terbangun dalam Misi Pertama adalah ajaran-ajaran yang bernuansa universal, substantif, penuh dengan semangat perlindungan HAM, semangat egaliter, dan bercirikan sistem yang demokratis. Sedangkan Islam pada masa Misi Kedua sudah menjadi bangunan keislaman yang cenderung mapan, berorientasi penuh ke dalam (in wordly), dan penuh dengan aturan-aturan “syariat” kolektif.<br /><br />Nabi Muhammad SAW adalah utusan bagi Misi Pertama dan juga diutus untuk Misi Kedua. Allah telah menjelaskan secara detil Misi Pertama dan memberikan secara global Misi Kedua. Untuk memahami Misi Kedua secara terinci dibutuhkan pemahaman baru terhadap al-Qur’an. Namun, Thaha memberikan catatan bahwa pada dasarnya al-Qur’an itu tidak mungkin dijelaskan secara final. Islam tidak mungkin selesai. Perjalanan Islam adalah perjalanan secara terus-menerus, tidak mengenal akhir dari proses pencarian. Oleh karena itu, menjalankan al-Qur’an dalam bingkai Islam berarti melakukan perjalanan menuju Allah secara terus-menerus. Agar bisa menangkap pesan wahyu dan realitas yang tengah diamati maka perlu menyertakan upaya kontekstualiasi pemaknaan secara dinamis.<br /><br />Melalui penjelasan Thaha tersebut kita bisa memahami bahwa ajaran-ajaran moral atau etika Islam sebagian besar telah ada dalam konstruksi Islam pada masa Mekkah.<br /><br />Etika Islam: Asy’ariyah vs Mu’tazilah<br /><br />Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok.<a title="" style="mso-endnote-id: edn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn8" name="_ednref8">8</a> Perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah menghiasi sejarah pemikiran Islam.<br /><br />Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif, bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah.<a title="" style="mso-endnote-id: edn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn9" name="_ednref9">9</a> Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.<a title="" style="mso-endnote-id: edn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn10" name="_ednref10">10</a><br /><br />Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini. Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akantetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.<br /><br />Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.<a title="" style="mso-endnote-id: edn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn11" name="_ednref11">11</a><br /><br />Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia.<a title="" style="mso-endnote-id: edn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn12" name="_ednref12">12</a><br /><br />Amin Abdullah melakukan kajian perbandingan tentang filsafat etika al-Ghazali dan Immanuel Kant, sebagai dua tokoh intelektual representatif dari kalangan Muslim dan Kristiani. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.<br /><br />Pemikiran etika Islam yang dibangun dengan sistem berpikir rasional adalah madzhab Mu’tazilah. Madzhab ini sering disebut sebagai madzhab rasionalisme dalam pemikiran Islam. Kalangan Mu’tazilah membuktikan kepercayaan-kepercayaan yang hanya diterima lewat perantaraan wahyu dengan argumen-argumen rasional, tapi juga mempercayai akal sebagai pemecah segala persoalan. Misalnya, ketika teks agama bertentangan dengan akal manusia, maka menurut kalangan Mu’tazilah kita harus berpihak pada akal, dan teks agama itu harus ditafsirkan.<br /><br />Menurut Mu’tazilah, syariat yang mengajarkan tentang etika, seperti perbuatan baik, harus ditundukkan di bawah kendali akal. Alasannya, wahyu tidak menetapkan nilai tertentu pada sebuah perbuatan baik. Wahyu hanya mengabarkan adanya nilai perbuatan itu, tapi akal-lah yang membuktikan baik-buruknya sebuah perbuatan.<a title="" style="mso-endnote-id: edn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn13" name="_ednref13">13</a> Jelas terlihat bahwa Mu’tazilah mengembalikan hukum-hukum etika pada prinsip-prinsip rasionalitas.<br /><br />Madzhab Mu’tazilah sangat mementingkan peran akal karena Tuhan memberikan akal pikiran kepada manusia agar ia mau berpikir. Dengan diberikannya akal ini, manusia mampu menentukan perbuatan, karena ia berkuasa. Manusia dapat memilih mana perbuatan yang baik dan taat kepada Tuhan dengan akal pikirannya. Jadi, akal-lah yang membimbing manusia dalam kehidupan praktisnya.<br /><br />Keadilan dan Kebebasan<br /><br />Etika sosial Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika sosial Islam adalah sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur.<br /><br />Bagi madzhab Mu’tazilah, keadilan adalah asas etika. Keadilan Tuhan adalah salah satu lima asas yang diyakini Mu’tazilah. Mereka kerap menerapkan asas keadilan sebelum asas tauhid, sehingga mereka sering disebut sebagai “ahl al-‘adl wa al-tauhid”. Dalam madzhab Mu’tazilah, ada korelasi antara asas keadilan dan asas tauhid. Bagi Mu’tazilah, tauhid adalah sifat terpenting dari zat Tuhan, sedang keadilan adalah sifat terpenting dari perbuatan Tuhan. Dengan pengertian keadilan seperti ini, maka ada relasi antara Tuhan dan manusia, sebuah relasi yang berbasis pada keadilan mutlak dari sisi Tuhan. Mu’tazilah berkeyakinan bahwa seluruh yang dilakukan Tuhan sepenuhnya adalah adil.<a title="" style="mso-endnote-id: edn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn14" name="_ednref14">14</a><br /><br />Definisi keadilan menurut Mu’tazilah, seperti dikutip al-Syahrastani, adalah “kebijaksanaan rasional untuk melakukan perbuatan secara benar dan berguna”. Sehingga, dalam pemikiran Mu’tazilah, akal mengharuskan segala perbuatan yang bersumber dari Tuhan dan yang berkaitan dengan manusia mukallaf, berdasarkan pada kebijaksanaan Tuhan dan mengandung maslahat bagi umat manusia.<a title="" style="mso-endnote-id: edn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn15" name="_ednref15">15</a> Pengertian keadilan menurut Mu’tazilah juga berarti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia.<a title="" style="mso-endnote-id: edn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn16" name="_ednref16">16</a> Dengan pengertian demikian, perbuatan manusia perlu didasarkan atas pertimbangan rasional, menuju pada keadilan, dan mengarah pada kepentingan manusia.<br /><br />Etika sosial Islam juga harus menjamin adanya kebebasan individu. Menurut Mahmud Thaha, aturan dasar Islam adalah bahwa setiap orang bebas hingga secara praksis dia terlihat tidak mampu dalam menjalankan kebebasannya.<a title="" style="mso-endnote-id: edn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn17" name="_ednref17">17</a> Kebebasan itu harus diimbangi dengan keharusan menunaikan kewajiban, yaitu bagaimana menjalankan kebebasan secara baik. Jika tidak mampu menjalankan kebebasannya maka kewajibannya harus dicabut melalui “hukum”, dengan menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif.<br /><br />Mengenai hubungan antara individu dan kelompok dalam Islam, Thaha menjelaskan dengan sangat menarik sekali. Islam menjadikan individu sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Individu diberi kebebasan sebagai pengampu moralitas. Kebutuhan individu terhadap kebebasan mutlak individualnya merupakan perpanjangan dari kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial yang menyeluruh. Islam menata masyarakat sebagai sarana untuk menuju kebebasan dengan landasan tauhid. Sehingga, syariat dijadikan “jalan dan metode” yang terbagi atas dua tingkatan, yaitu tingkatan individual yang berbentuk ibadah dan tingkatan kelompok yang dimanifestasikan dalam bentuk mu’amalah.<a title="" style="mso-endnote-id: edn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn18" name="_ednref18">18</a><br /><br />Kebebasan dalam Islam adalah mutlak dan menjadi hak setiap individu sebagai manusia, tanpa memandang agama ataupun etnis, dan sebagainya. Undang-undang dalam Islam adalah suatu peraturan untuk menghubungkan antara kebutuhan individu dan kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial. Sehingga, yang menjadi dasar adalah syariat individual, bukan syariat kolektif. Titik pijakan utama adalah pada tingkatan kebebasan individual yang mempengaruhi keberadaan syariat pada tingkatan kolektif.<a title="" style="mso-endnote-id: edn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_edn19" name="_ednref19">19</a> Sehingga unsur dasar pada Misi Kedua adalah penerapan syariat secara dinamis, ada kemungkinan perubahan, dan mengalami proses perkembangan (organis). Syariat pada masa Madinah bersifat sangat dinamis, sedang syariat pada masa Mekkah bersifat universal dan substantif.<br /><br />Jadi, jika kita mencoba memahami syariat (Islam) maka pijakannya yang utama pada masa Mekkah karena di sana kebebasan individual sangat diperhatikan. Istilahnya, Islam kafah (sempurna) adalah Islam pada masa periode Mekkah. Masa Madinah adalah “perpanjangan tangan” atas syariat pada masa Mekkah, yang tidak lantas kemudian me-nasakh (menghapus) syariat sebelumnya.<br /><br />Penutup<br /><br />Sebagai akhir dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan syariat kolektif.<br /><br />Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas. Wallahu a’lam.<br /><br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref1" name="_edn1">1</a>Dikutip dalam Manhaz Heydarpoor, Wajah Cinta Islam dan Kristen, terj. M. Habib Wijaksana (Bandung: Arasy Mizan, 2004), hal. 31.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref2" name="_edn2">2</a>Sebagaimana dikutip ibid., hal. 32.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref3" name="_edn3">3</a>Ibid., hal. 32-34.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref4" name="_edn4">4</a>J. Sudarminta, Etika Umum (Diktat Kuliah), (Jakarta: STF Driyarkara, 2001), hal. 12.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref5" name="_edn5">5</a>Ibid., hal. 13.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref6" name="_edn6">6</a>Mahmoud M. Ayyoub, The Crisis of Muslim History, terj. Munir A. Mun’im, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 33<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref7" name="_edn7">7</a>Lihat Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003).<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref8" name="_edn8">8</a>Asumsi ini dikemukakan oleh Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiuddin Baidhawy (Surakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Universitas Muhammadiyah, 1983).<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref9" name="_edn9">9</a>Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Musa Kadhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), hal. 127.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref10" name="_edn10">10</a> Ibid., hal. 128.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref11" name="_edn11">11</a>Selengkapnya bisa lihat M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 137-138.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref12" name="_edn12">12</a>Ibid., hal. 143.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref13" name="_edn13">13</a>Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika, terj. Yunan Askaruzzaman (Jakarta: Serambi, 2001), hal. 43.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref14" name="_edn14">14</a>Ibid., hal. 44-45.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref15" name="_edn15">15</a>Ibid., hal. 46.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref16" name="_edn16">16</a>Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), cet. v, hal. 125.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref17" name="_edn17">17</a>Mahmud Muhammad Thaha, op. cit., hal. 155.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref18" name="_edn18">18</a>Ibid., hal. 50-52.<br /><a title="" style="mso-endnote-id: edn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8150044024853938678#_ednref19" name="_edn19">19</a>Ibid., hal. 53.Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-51302204996201451882007-08-15T23:52:00.000-07:002007-08-16T00:07:59.635-07:00Islam dan Pesan KemanusiaanOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat dalam <em>Harian Suara Pembaruan</em>, 26 Januari 2004.<br /><br />Sejumlah kasus terorisme “berbaju agama” menjadi pelajaran penting bagi kita. Stereotip yang muncul adalah bahwa kejadian itu dilakukan oleh orang-orang yang “beragama” dan menggunakan identitas keagamaan(?) Apakah memang demikian sejatinya fungsi dan peran agama? Kenyataannya, Islam tidaklah mengajarkan kekerasan dan berbagai bentuk penindasan yang jelas-jelas “membunuh” rasa kemanusiaan. Fenomena kekerasan atau radikalisme agama telah menggerus citra positif agama.<br /><br />Agama hadir di muka bumi untuk memenuhi panggilan kemanusiaan bagi kehidupan ini sehingga penampilannya pada sisi keadilan, perdamian, dan anti-kekerasan menjadi harapan besar. Pemahaman agama sudah semestinya direintepretasi dengan pembacaan yang lebih humanistik, pluralistik, dan emansipatif. Pemahaman teks agama yang kaku, rigid, hitam-putih, dan tektualistik, akan cenderung mengarahkan pada kemungkinan terjadinya tindak kekerasan, klaim-klaim kebenaran, dan sikap anti-pluralisme.<br /><br />Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum “teroris berbaju agama” --jika memang itu benar-benar dilakukan oleh mereka-- menunjukkan sebuah sikap keagamaan yang cenderung “eskatalogis” (kehidupan setelah mati). Memaknai dan mengamalkan agama sebatas untuk pencapaian “kebahagiaan” di hari kelak, tanpa mau melihat kenyataan hidup hari ini secara lebih terbuka. Problemnya adalah pada pemahaman agama yang sempit, dan pada gilirannya “dioperasionalisasikan” untuk mengejar akhirat tanpa mau melihat realitas dunia secara obyektif. Sehingga, ekses negatif yang tidak diperhatikan itu malah menggelapkan raut wajah agama.<br /><br />Demikian pula, pemahaman agama bagi kebanyakan umat Islam selalu mengandaikan pada “teosentrisme” --sebagai titik awal dan akhir pijakan dalam memaknai agama. “Agama” dan “Tuhan” menjadi dua term yang menyatu. Ketika kita memahami agama, ada kecenderungan bahwa pemahaman itu adalah mutlak menurut apa yang maksudkan Tuhan kepada kita. Teks-teks agama dianggap sebagai kata-kata Tuhan yang dirasa sudah jelas dan pasti sehingga tidak perlu lagi ada pemahaman kontekstual.<br /><br />Pemahaman yang Dinamis<br /><br />Pada dasarnya, pemahaman agama yang kita yakini kebenarannya itu masih berupa tafsiran yang relatif karena masih “dibenturkan” dengan pluralitas pemikiran manusia lainnya. Alangkah baiknya, agama itu dimaknai sebagai “jalan dan petunjuk yang mengarahkan pada sebuah kebenaran” (syir’atan wa minhajan) bagi umat beragama untuk memahami kehidupan ini dengan tetap di bawah tuntunan ajaran ilahi --melalui proses “kontekstualisasi” dan “dinamisasi” yang tiada henti.<br /><br />Makna agama terbagi dua, ada yang bersifat “melangit” (normatif) dan ada yang sudah “membumi” (historis). Yang pertama adalah “penterjemahan” agama sebagai ajaran Tuhan yang transenden; ditujukan sebagai bentuk penghambaan secara personal, vertikal, dan teosentrik. Ibadah ritual dan umumnya syariat merupakan bentuk penghayatan dan pengamalan agama dengan orientasi pada Tuhan sebagai bentuk penyembahan secara individual. Tapi, dalam sifat transedensi ini tidak terjadi keterputusan dengan sifat yang kedua, yaitu proses “imanensi”. Perlu upaya pembumian (transformasi) makna agama yang masih melangit menjadi membumi (down to earth). Sehingga, fungsi agama itu bisa menyejarah. Umat beragama bisa menghubungkan tradisi agama yang diyakininya dengan realitas kekinian yang sedang dihadapinya.<br /><br />Maka, terbukalah ruang bagi manusia untuk secara aktif dan kreatif melakukan kegiatan duniawi secara rasional dengan tidak melepaskan dari substansi agama. Pembumian inilah yang memberikan jalan pada proses “humanisasi agama” (to humanize religion). Agama hadir untuk memenuhi kebaikan hidup buat umat manusia. Beragama, di samping berorientasi pada Tuhan (teosentrik), tapi juga mengarah pada kemanusiaan (antroposentrik) karena Tuhan selalu hadir (omnipresent) dalam kehidupan ini. Dalam agama dan manusia terjadi dialektika di mana manusia diberikan kebebasan untuk menjalani kehidupannya dengan jalan membumikan ajarannya dalam ranah sosial dan kemanusiaan.<br /><br />Sudah saatnya, kita mencoba merumuskan kembali sebuah gagasan tentang paradigma agama yang berorientasi pada cita-cita kemanusiaan, perdamaian, dan anti-kekerasan. Gagasan “Islam Humanis” menjadi sangat relevan untuk dieksplorasi secara lebih mendalam. Penulis beranggapan bahwa agama tidak anti terhadap kemanusiaan hanya disebabkan gara-gara dicurigai ada proses “devaluasi agama” yang terjadi akibat merebaknya fenomena kekerasan (radikalisme) dan terorisme atas nama agama, dan juga merebaknya bentuk “politisasi agama” yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politis.<br /><br />Mengusung Rasionalitas<br /><br />Secara historis, Humanisme memang awalnya muncul di Barat yaitu pada Abad Pencerahan (Aufklarung) di mana agama “digerogoti” dan dikeluarkan dari ring wacana keilmuan dan kehidupan keduniawiaan. Saat itulah periode sekularisasi berlangsung, sebagai lawan terhadap otoritas gereja yang mendominasi atas kebebasan manusia lewat penancapan agama ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia. Terjadi “pemasungan” atas kemanusiaan. Apa yang terjadi di Barat tentunya berbeda dengan apa yang terjadi di Islam. Penulis yakin bahwa Islam memiliki pondasi kuat tentang humanisme. Persoalannya adalah terletak pada penafsiran agama yang harus direintepretasi menjadi lebih bersifat humanis.<br /><br />Fungsi agama bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan. Agama harus memperhatikan manusia sebagai subyek dan obyek perubahan, keadilan, dan perdamaian. Apa yang menjadi kebutuhan manusia (masyarakat) adalah tujuan dan pembelaan agama. Secara transedental, bisa saja pengamalan agama diperuntukkan pada Tuhan, tapi jangan dilupakan bahwa dalam agama juga terkandung dimensi horisontal, imanental, dan humanistik, yaitu “beragama adalah untuk manusia”. Agama yang antroposentris --sebagai pijakan Islam humanis-- akan membuka ruang bagi kebebasan manusia untuk mengkonstruk fungsi agama sebagai “agen perubahan” (social change) menuju kemanusiaan dan perdamaian.<br /><br />Akhirnya, untuk memahami teks agar berjiwa humanis maka “rasionalitas” (‘uquliyah) menjadi “kebutuhan sejarah” (historical necessity) bagi upaya humanisasi agama. Bagi kebanyakan kelompok agama yang sering dicap “fundamentalis” dan “radikalis”, mereka memahami agama tidak perlu dengan pendekatan yang agak rasional. Padahal, dengan pendekatan yang demikian kita bisa membaca teks dan realitas secara obyektif. Syariat, yang sering diposisikan sebagai domain wacana agama juga mesti ditafsirkan secara rasional; menurut ukuran kemanusiaan dan konteks historisnya. Pendekatan rasionalitas dalam filsafat bisa membantu dalam pembacaan agama yang humanistik.<br /><br />Ketika sebuah teks ternyata berbenturan dengan realitas, dalam pengertian bahwa teks itu justru malah mengafirmasi kemungkinan terjadinya sikap “anti-kemanusiaan” maka teks harus didialogkan, dan akhirnya ada “tawar-menawar” dalam memahami teks. Terjadi dialektika atau dialog antara teks (wahyu) dengan kebudayaan masyarakat pada saat proses penurunan ayat-ayat Al-Qur’an. Dan untuk saat ini, artinya teks itu dikomunikasikan dengan konteks masyarakat masa kini. Bahasa dalam teks Al-Qur’an merupakan penulisan atas realitas-empirik yang terjadi pada lingkup budaya dan antroposentris. Sehingga, jika terjadi benturan antara teks normatif dengan realitas kemanusiaan maka untuk menghubungkan keduanya perlu menggunakan pendekatan hermeneutika (ta’wil) agar makna yang tersembunyi di balik bungkusan teks itu bisa dipahami.<br /><br />Pendekatan rasional (nalar) harus berimplikasi pada pemaknaan yang berorientasi kemanusiaan. Bukan dimaksudkan sebagai nalar an sich, tapi nalar yang beroperasi pada struktur kemanusiaan. Sehingga, ruh dalam gagasan Islam humanis harus mengandung ajaran yang memiliki semangat “kesadaran pembebasan”. Teks yang dipahami secara rasional ditujukan untuk memproduksi makna yang mengandung nilai pembebasan terhadap umat manusia. Jadi, Islam yang kita harapkan adalah Islam yang “membebaskan”, bukan Islam yang “menakutkan”.<br /><br />Islam tidak menghendaki kekerasan bercengkerama di muka bumi ini. Islam sangat berwajah humanis. Dan mayoritas kelompok Islam tidak mengehendaki adanya kekerasan, bahkan mengutuk kekerasan sebagai sebuah sikap anti-kemanusiaan. Dan saatnya kini kita merenungi kembali hakikat keberagamaan kita selama ini. Islam hadir sebagai penyeru bagi terciptanya kedamaian dan kesejahteraan umat manusia karena Islam memang hadir sebagai rahmat bagi seluruh sekalian alam. Wallahu A’lam bish-Shawab.Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-22407917958483992922007-08-15T23:29:00.000-07:002007-08-15T23:45:05.306-07:00Agama dan Tantangan ModernitasOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat dalam <em>Harian Republika</em>, Selasa, 07 Oktober 2003.<br /><br /> Agama "ditantang" untuk bisa hidup secara eksistensial. Agama pun diharapkan memiliki signifikansi moral dan kemanusiaan bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Secara realistik, tugas semacam itu masih dibenturkan dengan adanya kehadiran modernitas yang terus-menerus berubah dan menari-nari di atas pusaran dunia sehingga menimbulkan gesekan bagi agama.<br /><br />Dalam penampakan dunia yang sangat kompleks ini, peran agama tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehidupan yang sangat dinamis ini merupakan realitas yang tidak bisa dihindarkan dan perlu direspon dalam konstruksi pemahaman agama yang dinamis pula.<br /><br />Tarik-menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih hangat untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama itu bertolak belakang dengan modernitas.<br /><br />Munculnya gerakan "otentisisme Islam" dan "universalisme Islam" adalah salah satu fenomena yang katanya dianggap bisa "melawan" modernitas. Tapi, kecenderungannya malah memahami agama baru sebatas normativitas saja. Mereka kurang bisa mengapresiasi ajaran agama pada sisi historisitas. Modernitas merupakan bagian dari proses sejarah dunia dan umat manusia.<br /><br />Keterpurukan kondisi umat manusia bukan hanya disebabkan karena "penyalahgunaan" peran agama oleh penganutnya saja, tapi yang tak kalah hebat juga dikarenakan pengaruh sisi negatif yang dihasilkan modernitas. Isu seperti tantangan globalisasi, kerusakan lingkungan hidup, penindasan HAM, adalah beberapa bukti bahwa modernitas perlu diantisipasi secara kritis.<br /><br />Dalam menanggapinya, kita jangan malah menentangnya secara frontal, tapi memilah dan memilih mana bagian dari modernitas yang baik dan mana yang tidak, dan disertai dengan adanya upaya pembaruan pemahaman ajaran agama agar bisa berperan secara signifikan.<br /><br />Klaim-klaim universalitas dan otentisitas yang diusung beberapa kalangan Muslim sebenarnya memendam banyak "kerancuan" makna. Apakah Islam yang selama ini kita pahami sudah bisa dianggap sebagai agama yang mapan, abadi, final, dan tidak bisa diubah pemahamannya?<br /><br />Kenapa kita tidak bersedia melihatnya secara "dualitas", yaitu bahwa ada ajaran yang normatif dan ada pula ajaran yang sudah membumi dalam konteks historis? Beragama itu adalah sebuah "proses" untuk selalu memahami, menafsirkan, dan menerjemahkan apa yang dimaksud oleh Tuhan yang terangkum dalam sumber ajaran-Nya, tanpa mengenal akhir dari sebuah pencarian.<br /><br />Selama ini agama dipahami sebagai "organized religion", yaitu agama yang terorganisir sehingga menjadi mapan dan dikonstruk secara menyeluruh, yang kemudian menyebabkan keberadaannya "mengurusi" segala hal yang dihadapi manusia. Agama ini, meminjam kerangka postmodernisme, bisa jadi mengarah pada "narasi besar" grand narrative yang mengukung apa-apa yang menjadi bagian dari kehidupan umat manusia.<br /><br />Ada kesan bahwa para penganutnya hanya diminta untuk menerapkan secara penuh dan langsung apa yang telah menjadi ajaran (normatif) agama. Agar bisa dikomunikasikan dengan realitas perubahan zaman dan kenyataan historis umat manusia, maka perlu ada penafsiran ulang (reintepretasi) terhadap pemahaman agama dan juga mentransformasikan seluruh nilai-nilai substansialnya ke dalam realitas sosial. Dan juga ada dimensi pembebasan atau emansipasinya.<br /><br />Nashr Hamid Abu Zayd, dalam kitab Mafhumun-Nash: Dirasah fi 'Ulumil Qur'an (1990), menyebut bahwa Al-Quran adalah "teks kebudayaan" muntaj tsaqafiyun. Ia adalah sebuah teks rujukan keagamaan Islam yang sangat lentur dan dinamis.<br /><br />Dikatakan demikian, karena kenyataannya bahwa ketika Al-Quran diturunkan itu tidak terlepas dari konteks historisnya. Perekaman sejarah yang dilakukan dalam bentuk ayat-ayat itu adalah bentuk "dialogisasi" atau dialektika antara teks dan realitas, antara teks dan kebudayaan.<br /><br />Jadi, tidak semata-mata bahwa Tuhan menghendaki teks "A" lalu Nabi hanya menerima begitu saja. Nabi pun tidak lepas dari bagaimana beliau menerjemahkan teks itu ke dalam kenyataan sosial pada saat itu. Jika problemnya adalah bahwa teks ternyata justru "mendukung" adanya ketidakmanusiawiaan pengamalan hukum dan ajarannya, maka usaha kita adalah harus menafsirkannya secara kontekstual.<br /><br />Pemahaman agama tidak menghendaki adanya "finalisasi" gagasan dalam memahami makna agama. Istilahnya bisa disebut dengan "unfinished religion". Artinya kebenaran yang terkandung di dalamnya masih bermakna relatif. Yang absolut adalah Tuhan itu sendiri. Penyertaan lokalitas dan kontekstualisasi perlu diapresiasi dalam menghadirkan agama yang positif dan dinamis sehingga pemahamannya tidak final, alias berproses.<br /><br />Pemahaman kita mengenai agama haruslah dinamis. Untuk memahaminya perlu menggunakan "akal kreatif" di mana rasionalitas ternyata bisa membantu dalam pencarian kebenaran sebuah agama seperti dikatakan Ibnu Rusyd. Sebagai sebuah "instrumen", kebenaran yang dihasilkan dengan akal tentunya masih bersifat relatif dan pemahaman yang dihasilkannya pun juga bisa relatif.<br /><br />Tapi, yang jelas dengan adanya kebebasan berfikir manusia dituntut mampu memahami agama menurut keyakinan dan usaha ijtihadnya. Sesungguhnya agama itu terkait dengan ragam kontruksi penafsiran manusia, ketika konteks berubah maka pemahamannya pun bisa berubah.<br /><br />Agama dalam pengertian normatif mengandung makna konteks individual seseorang, di mana beragama adalah hubungan antara Tuhan dan manusia. Tapi, agama yang tidak bisa terlepas dari konteks historis-sosiologis, yaitu sebagai agama yang menyejarah ini, maka memungkinkan bagi manusia untuk memahaminya dalam konteks bagaimana agama itu dipahami pada suatu saat (kekinian) dan pada suatu tempat (kedisinian). Sehingga, pemahaman yang dilekatkan pada agama ini menjadi sangat dinamis.<br /><br />Klaim universalitas dan otentisitas (Islam) yang sering kita pahami hanya melihat pada sisi normativitasnya saja, tapi belum bisa menyejarah menyertai perubahan dan kemajuan zaman. Dalam konteks historis, sisi partikularitasnya perlu dilihat juga, yaitu bahwa ada dimensi di mana agama hanya ditafsirkan secara substansial, atau ultimate value dan ratio-legis-nya yang seharusnya lebih dikedepankan. Dengan begitu, pemaknaan terhadap teks agama akan melebur pada situasi di mana konteks dan realitas yang melingkupi kehidupan manusia menjadi sangat diperhitungkan.<br /><br />Di tengah pluralitas umat manusia yang sangat majemuk dan pemahaman manusia yang sangat beragam, maka sudah saatnya kita melepaskan diri dari pemahaman keagamaan yang sempit. Kini, kita beragama secara berproses untuk terus-menerus memahami apa yang terkandung dalam teks dengan melihat pada perubahan realitas yang sangat dinamis.<br /><br />Maka, dimungkinkan bagi agama untuk mampu berdialog dengan segala macam perubahan zaman. Itu semua terletak pada bagaimana diri kita sebagai penganut agama mau berpikir secara rasional dan kritis dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Perlu ada pembaruan wacana agama yang dihubungkan dengan konteks kekinian (historisitas) dan kedisinian (lokalitas).<br /><br />Pembacaan kritis terhadap agama dengan "merevitalisasi" tradisi turats akan mampu merespon tantangan modernitas. Agama dan modernitas bukanlah dua kutub yang selamanya akan selalu berlawanan, tapi akan terjadi ruang dialog dan kritik dalam menyikapi segala macam perubahan. Sehingga, agama tidak lagi dikata "mati" di tengah carut-marutnya dunia sehingga mampu menghadirkan dirinya di tengah-tengah berkecamuknya tarian modernitas saat ini.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=142097&kat_id=16">http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=142097&kat_id=16</a>Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8150044024853938678.post-79086616962512909402007-08-15T18:52:00.000-07:002007-08-15T18:56:46.314-07:00Islam sebagai Produk BudayaOleh Happy Susanto<br /><br />Dimuat dalam <em>Harian Suara Pembaruan</em>, Jum’at, 14 November 2003.<br /><br />Kelahiran agama sangat terkait dengan konstruksi budaya. Tekstualitas agama lebih mengafirmasi konteks sosial dan budaya yang tengah "bergumul" pada saat itu. Islam, sebagai salah satu agama monoteis (abrahamiyah), juga merupakan bentuk ajaran kehidupan yang lebih melihat kenyataan sosial, tidak hanya berupa turunan dari langit. Ketika Islam hadir ke muka bumi dan menyejarah secara totalitas, tidak ada lagi baju "sakralitas" di dalamnya. Islam sangat memahami kenyataan lokalitas budaya setempat dan historisitas proses pergumulan antara teks dan realitas.<br /><br />Peradaban Arab-Islam adalah "peradaban teks". Teks menjadi rujukan penting dalam upaya memahami keduanya. Dan Al-Qur'an sendiri merupakan kumpulan teks yang menjadi acuan keberagamaan bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung pergolakan ilmiah dalam memahami pesan Tuhan, yang kemudian dihubungkan dengan realitas yang tengah terjadi pada saat pembentukan teks. Karena peradaban Islam adalah teks, maka perlu perangkat atau metodologi ilmiah untuk "membongkar" konstruksi nalar yang menjadi bagian penting di dalamnya.<br /><br />Khalifah Umar al-Faruq pernah menyatakan, "Arab adalah bahan baku Islam", atau artinya, bangsa Arab adalah materi bagi pembentukan Islam. Peryataan Umar itu kemudian banyak dipahami, seperti Thaha Husain, yaitu dalam konteks militerisme Islam pada saat itu. Padahal, tidaklah demikian.<br /><br />Dengan potensi rasionalitas yang sangat mengental dalam pikirannya, Umar bermaksud menjelaskan, Islam itu tidak bisa lepas dari konteks budaya Arab pada saat itu. Sehingga, dalam beberapa hal Umar banyak menafsir ulang terhadap syariah. Dan ada kesan beliau berani membuat putusan hukum yang kelihatannya banyak berbeda dengan arus pemikiran sahabat pada saat itu. Umar sangat dikenal sebagai seorang rasionalis sejati.<br /><br />Atas dasar argumen yang dikemukakan oleh Umar ini, Khalil Abdul Karim membuat analisis mengenai kaitan antara agama, budaya, dan kekuasaan dalam bukunya Hegemoni Quraisy (LKIS:2002). Menurutnya, "produksi-produksi kebahasaan" (al-Muntaj al-Lughawiyyah), seperti puisi, khitabah, dan beberapa kata hikmah (amtsal) yang dimiliki oleh orang-orang Arab sebelum kenabian Muhammad, itu semua banyak berperan dalam proses pentauhidan dan persiapan menuju suatu kondisi objektif yang matang, yang berakhir dengan berdi-rinya Negara Quraisy di Yatsrib.<br /><br />Banyak fakta saat itu membuktikan, hegemoni kaum Quraisy sangat menentukan produksi kebahasaan dalam makna agama. Kebudayaan suku itu masuk dalam proses pembentukan teks. Sehingga kita perlu mencermati lebih mendalam bagaimana kaitan antara agama sebagai pesan suci ilahi dengan intervensi manusia yang lebih mementingkan kekuasaan dan kebudayaannya bisa masuk dalam proses produksi nalar agama.<br /><br />Profanitas Teks<br /><br />Tidak selamanya teks itu adalah sesuatu yang sakral. Pembacaan terhadap teks tidak bisa terlepas dari konteks sejarah dan kebudayaan yang melingkupi bangunan teks tersebut. Pada saat kita memahami makna agama yang tercermin dalam penampakan teks, profanitas (duniawi) sangat melekat dalam konstruksi nalar teks. Penyejarahan teks dilakukan agar bisa menyesuaikan dengan kondisi yang memang menjadi kenyataan historis umat manusia.<br /><br />Pada saat memahami teks, kita tidak bisa mengandalkan penafsiran secara literal, tetapi harus ada upaya penafsiran secara hermeneutis (ta'wiliyah) atas kenyataan-kenyataan sosial dan budaya yang mengitari teks. Teks yang diam dan sakral itu pasti menjadi objek manusia. Maka, teks tidak lagi menjadi sesuatu yang diam dan sakral, karena manusia atau si penafsir memosisikan teks itu harus dihubungkan dengan realitas. Lalu, teks menjadi sesuatu yang profan dan berhak untuk diutak-atik, bahkan tidak aneh apabila kemudian kita menolak teks dalam beberapa pengamalan syariahnya yang cenderung menindas kemanusiaan dan keadilan.<br /><br />Menurut Abu Zayd dalam Mafhumun-Nash: Dirasah fi 'Ulumil Qur'an (1990), Al-Qur'an adalah "teks kebudayaan" (muntaj tsaqafy), yaitu teks semantik yang menjadi teks sentral dalam wacana pemikiran Islam. Teks dalam Al-Qur'an adalah teks peradaban karena di dalamnya memuat pembentukan dalam pergolakan (dialog/dialektika) antara manusia dan realitas di satu sisi, dan manusia dengan teks di sisi lain.<br /><br />Dalam konsep teks, Al-Qur'an bisa didekati dengan metode-metode analisis teks. Metode analisis bahasa (semiotika) merupakan metode humaniora yang dapat digunakan untuk memahami wacana keagamaan dalam Islam. Hal ini sangat tepat diterapkan dalam menganalisis teks Al-Qur'an karena peradaban Islam Arab adalah peradaban teks, dan di dalamnya memuat pergolakan pemikiran ketika Al-Qur'an itu berwujud. Dalam Islam, Al-Qur'an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban Islam.<br /><br />Historisitas Islam<br /><br />Islam bukanlah agama yang tidak mau memahami konteks perubahan zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat kenyataan sosial-budaya untuk membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya. Humanitas bisa ditangkap apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis teks agama. Sisi historisitas agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan kemanusiaan hari ini.<br /><br />Gagasan Islam otentik dan Islam universal kurang mengeksplorasi sisi historitas Islam. Realitas lokalitas (budaya) kurang mendapat tempat dalam pemahaman mereka. Islam dengan sangat apresiatif memahami budaya, dan berposisi secara rekonsiliatif. Bahkan fenomena budaya banyak dijadikan rujukan keagamaan. Ada dialektika antara agama dan budaya. Dan di Islam, kaitan antara teks dan budaya memang sering sulit untuk dipisahkan. Kekuatan budaya banyak mempengaruhi proses pembentukan teks-teks agama.<br /><br />Mengenai pengaruh budaya dalam Islam pada masa Arab klasik, Khalil Abdul Karim menyebut sakralisasi Bulan Ramadhan merupakan salah satu tradisi yang diwarisi Islam dari bangsa Arab ---yang menjadi sumber dasar Islam. Hal lain misalkan, mengagungkan bulan-bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) bukan merupakan tradisi Islam.<br /><br />Ada tenggara, penyebutan bulan-bulan suci itu dilatarbelakangi oleh tradisi bangsa Arab yang tidak membenarkan perang dalam rentang keempat bulan tersebut. Tradisi berperang merupakan tradisi tribalisme suku-suku Arab pada saat itu, sehingga penetapan empat bulan suci itu sebagai fase gencatan sejata dan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.<br /><br />Atau, misalkan juga mengenai jilbab. Jilbab merupakan produk budaya Arab pada saat itu sebagai alat kultural untuk media pengamanan sosial bagi perempuan. Karena jilbab itu pada awalnya adalah budaya, dan Al-Qur'an menyebutkannya maka sering kita mengartikan jilbab itu adalah bagian dari tradisi Islam. Hal semacam itu banyak disalahartikan. Kaitan budaya antara Arab dan Islam membuat kita kesulitan untuk memilah mana yang merupakan budaya Islam sendiri dan mana yang bukan.<br /><br />Oleh sebab itu, metode "kritik historis" (an-naqd at-tarikhy) sangat penting untuk dilakukan dalam menganalisis tradisi. Apakah teks seluruhnya merupakan turunan dari langit? Bukankah intervensi manusiawi sangat mempengaruhi nalar pemikiran dalam teks agama?<br />Muhammad dan Jibril sebagai penerima teks pertama juga tidak lepas dari bagaimana keduanya mencoba menafsirkan teks. Otentisitas dan universalitas yang ada dalam Islam lebih dimaknai sebagai pemahaman teologis yang sifatnya hanya dalam wilayah privat dalam keyakinan keagamaan kita. Penggalian makna Islam yang lebih memahami konteks budaya menjadi sesuatu yang tidak tabu dan perlu untuk mendapat tempat seluas-luasnya dalam wacana atau tradisi pemikiran kita. Wallahu A'lam.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.suarapembaruan.com/last/index.htm">http://www.suarapembaruan.com/last/index.htm</a>Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956noreply@blogger.com1