Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Sunday, November 11, 2007

Peran Agama dan Tanggung Jawab Global

Oleh Happy Susanto

Dimut dalam Harian Suara Pembaruan, Kamis,13 Januari 2004.

Problem terorisme dan ketidakadilan global menyisakan tanda tanya besar. Kedua persoalan ini menjadi ancaman besar bagi proses perdamaian dunia. Peran tokoh lintas agama dirasa perlu untuk bersama-sama ikut serta dalam menyelesaikan persoalan yang amat pelik ini.

Selama ini sering dianggap bahwa dunia mengalami penguatan arus sekularisasi. Agama hanya ditaruh pada ruang privat, tidak memiliki akses luas pada dinamika masyarakat. Ternyata, sekarang ini teori sekularisasi mengalami fenomena pembalikan fakta. Masyarakat dunia justru menguat religiusitasnya.

Dampak modernisasi tidak seluruhnya berimplikasi pada perombakan karakter religiusitas dalam ranah individual walaupun secara sosial kurang begitu tampak. Sehingga di mana-mana kian muncul berbagai macam identitas keagamaan.

Lebih tepatnya bila dikatakan bahwa masyarakat dunia mengalami arus desekularisasi (desecularization of society). Penguatan religiusitas ini biasanya dihubungkan dengan fenomena fundamentalisme.

Kita tidak memungkiri bahwa fundamentalisme agama menjadi sorotan publik global karena kecenderungan mereka dalam memahami tekstualitas agama secara sempit dan kaku akan berimplikasi pada tindakan-tindakan kekerasan.

Munculnya fundamentalisme agama disebabkan karena ketidakmampuan dalam menyikapi modernitas dan segala bentuk tantangannya. Jawaban fundametalisme ataupun radikalisme tidaklah tepat karena hanya akan menimbulkan masalah-masalah besar bagi perdamaian dunia. Terorisme tidak bisa dilepaskan dari fenomena ketidakadilan global. Mengatasi persoalan terorisme perlu pula dibarengi dengan upaya membangun tatanan dunia baru yang adil dan beradab.

Global Ethic

Agama-agama di dunia ini memiliki "tanggung jawab global" (global responsibility) untuk menyelesaikan pelbagai problematika yang ada di permukaan bumi. Hans Kung (1991) mengajukan tiga tesis penting mengapa agama perlu memerankan fungsi semacam itu: "No survival without a world ethic; No world peace without religious peace; No religious peace without religious dialogue (Tidak ada kelangsungan hidup tanpa etika dunia; Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama; Tidak ada perdamaian agama tanpa dialog antar-agama)".

Bagi Kung, agama-agama mampu memberikan kontribusi penting bagi upaya kuat untuk membangun perdamaian dan keadilan. Tesis Kung berlawanan dengan tesis sekularisasi yang menganggap bahwa agama sedang mengalami disfungsi sosial. Kontribusi agama-agama dirasa sangat efektif karena memang sekarang ini banyak orang masih memegang teguh keyakinan agamanya. Dengan perkataan lain, agama masih menjadi harapan besar umat manusia.

Untuk menyelesaikan persoalan terorisme dan ketidakadilan global, para kaum agamawan perlu melakukan kerja sama internasional untuk merumuskan langkah-langkah strategis bagi penyelesaian masalah tersebut. Salah satu tawaran yang pernah mencuat dan perlu dikembangkan lebih lanjut adalah tentang "etika global" (global ethic).

Pada tahun 1993, di Chicago AS, The World Parliament of Religions menyelenggarakan pertemuan internasional lintas agama bertajuk "Declaration of a Global ethic". Acara ini dihadiri sekitar 200 tradisi agama-agama di seluruh dunia yang menghasilkan konsensus untuk bekerja sama dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan (peace and justice) di muka bumi.

Sebenarnya, tawaran etika global adalah sebagai jawaban atas keterbatasan wacana yang diusung oleh eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Ketiganya hanya berhenti pada persoalan internal dan eksternal, yaitu tentang bagaimana menyikapi identitas diri sendiri dan bagaimana menghadapi identitas orang lain, tapi belum bisa beranjak pada upaya membangun wacana interreligius.

Etika global menyimpan sebuah pesan bahwa sesungguhnya etika itu lebih penting daripada agama. Karena memang etika bukan persoalan melulu dari Tuhan, tapi itu sudah menjadi sikap natural manusia untuk saling cinta-mencintai antar sesama. Agama sering membuat pengotakan identitas antarmanusia, tapi etika justru meleburkan semua bentuk identitas itu agar secara bersama-sama masuk pada komitmen bersama tentang nilai-nilai utama moral kemanusiaan.

Menurut Paul Knitter dalam bukunya Satu Bumi Banyak Agama (2003), Etika Global berupaya menyelesaikan dua persoalan mendasar yang harus dijawab oleh agama-agama.
Pertama, persoalan human suffering (penderitaan manusia), yang mencakup hal-hal berkenaan tentang kemiskinan, kekerasan, dan penipuan (victimization).

Kedua, persoalan yang berkenaan mengenai environment suffering (lingkungan hidup). Yang terakhir ini juga sangat penting untuk disikapi secara serius karena memang berbagai peristiwa bencana alam dan kerusakan lingkungan, termasuk makin menipisnya lapisan ozon bumi menjadi ancaman eksistensial bagi kehidupan umat manusia.

Perspektif etika global yang ingin direkomendasikan adalah tentang common understanding bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi. Ketidakadilan dan penindasan harus diberantas dan diatasi secara serius. Agama perlu memberikan komitmen dasar bahwa ketidakadilan dan penindasan adalah musuh utama kita bersama.

Secara sederhana, dalam rumusan etika global perihal human suffering ini, ada empat komitmen global yang harus dipegang, yaitu: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan menipu, dan jangan berzina.

Bila kita kontektualisasikan dalam bentuk makro, keempat komitmen itu bisa dipahami bahwa kita perlu menghindari tindakan kekerasan (violence), membangun solidaritas dan tatanan ekonomi baru yang berkeadilan, mengembangkan sikap-sikap toleransi, serta menciptakan kesetiaan dalam setiap bentuk hubungan sosial.

Kerja Sama Antaragama

Kerja sama internasional antaragama sebagai bagian dari komitmen etika global sudah pernah diadakan di Yogyakarta, 6-7 Desember 2004, beberapa minggu yang lalu. Pertemuan itu berinisiatif untuk menggalang komitmen agama-agama untuk menghadapi kasus terorisme global dengan jalan perdamaian.

Selama ini solusi terhadap kasus ini dilakukan dengan jalan kekerasan, sehingga tidak mampu mengeliminasi bagi kemungkinan-kemungkinan munculnya di masa mendatang. Karena, solusi kekerasan hanya akan dijawab oleh kekerasan itu sendiri.

Hanya saja, acara semacam itu diharapkan tidak sekadar berhenti pada wacana saja, tapi yang lebih penting adalah sudah beranjak pada langkah praksis dan nyata. Biasanya, di mana pembicaraan penting dan serius tentang sebuah persoalan besar hanya berhenti pada wacana saja, dijadikan sebagai bagian dari simbolisasi pertemuan. Padahal, langkah praksisnya yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat umum.

Kerja sama antaragama tidak cukup hanya dilakukan oleh kelompok elite agama saja. Sudah saatnya masyarakat bawah (grass-roots) perlu juga diajak dalam setiap perhelatan interreligious dialogue. Disebabkan karena perhelatan semacam itu diupayakan untuk merumuskan persoalan-persoalan mendasar dalam masyarakat, maka partisipasi grass-roots tidak dapat dielakkan.

Mereka sangat tahu tentang konfigurasi dan karakteristik dasar persoalan yang sedang dirasakan masyarakat kelas bawah. Misalnya, persoalan tentang kelaparan, kekerasan, penggusuran, perburuhan, pertanian, dan berbagai macam persoalan wong cilik lainnya.
Para tokoh lintas agama perlu melakukan advokasi-advokasi dalam bentuk menghadirkan pembacaan agama secara moderat, humanis, dan progresif. Agama harus diproyeksikan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan dan keadilan.

Orthopraksis agama menjadi bagian penting dalam upaya membangun tujuan-tujuan positif agama. Sehingga penafsiran agama perlu diorientasikan pada dimensi kemanusiaanya. Pemahaman seperti itu perlu dibumi-praksiskan dalam kesadaran masyarakat-agama kita. Karena kalau tidak, agama hanya sebuah ritus peribadatan tanpa makna apa-apa.

Kita pun memerlukan perangkat teologi agama yang secara tegas menjamin pemihakan terhadap kaum tertindas. Teologi revolusioner berupaya memberikan perspektif baru tentang bagaimana sikap agama dalam menyelesaikan problem ketidakadilan sosial. Agama tidak bisa tinggal diam ketika penindasan dan ketidakadilan masih merajalela di mana-mana.

Agama bukanlah sebuah kartu mati. Jangan sampai beragama justru berpotensi melahirkan sikap kekerasan. Agama manapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan. Sikap saling curiga-mencurigai antarpenganut agama harus dihapus. Sikap bijak yang harus selalu dikedepankan adalah toleransi dan kerja sama dalam menghadapi masalah bersama.

Tahun-tahun ini adalah lintasan sejarah yang akan kita hadapi, namun sangat tidak mustahil akan dipenuhi oleh beragam persoalan pelik yang kian menambah daftar masalah kita bersama. Oleh sebab itu, peran agama dalam bentuk kerjasama-kerjasama konstruktif sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi positif bagi perbaikan hidup di masa mendatang. Wallahu A'lam.

http://www.suarapembaruan.com/last/index.htm

Friday, November 9, 2007

Pendidikan Gratis untuk Rakyat Kecil

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Sinar Harapan, Jum’at, 19 September 2003.

Seorang siswa sekolah dasar menggantung diri karena tak mampu membayar kegiatan esktrakurikuler yang jumlahnya hanya Rp 2.500. Ia merasa malu karena ibunya tidak memiliki uang untuk memenuhi apa yang dibutuhkannya (Kompas, 25/8/2003). Berita ini sangat mengejutkan! Kemiskinan benar-benar sangat tampak dalam problem pendidikan kita. Dan kita tidak bisa hanya tinggal diam dengan melihat keadaan seperti ini. Mungkin masih banyak siswa sekolah lain yang keadaannya seperti bocah malang ini.

Pada dasarnya, pendidikan adalah sebagai wahana kultural untuk mentransformasikan pengetahuan atau wawasan kepada masyarakat umum. Pendidikan merupakan instrumen pokok dalam proses pengembangan intelektual manusia, bukan sebagai tujuan material yang kemudian diperalat hanya untuk memenuhi kepentingan finansial. Sungguh sangat disayangkan, pendidikan di negara kita masih sangat terasa mahal. Bahkan, praktik pendidikan sering dijadikan ajang komersial untuk memenuhi kepentingan akumulasi kapital bagi sekelompok orang/pihak.

Jika ditelisik, sebenarnya pendidikan harus menjadi perhatian terpenting dalam program pembangunan bangsa. Pendidikan sangat terkait dengan karakter pembangunan bangsa. Jika pendidikan bobrok maka pembangunan yang akan dihasilkannya pun akan bobrok pula. Bukankah kita telah mengetahui bahwa salah satu tujuan negara adalah bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa? Dan lagipula UUD hasil amandemen menyebutkan bahwa seperlima bagian dari seluruh APBN diperuntukkan bagi pendidikan. Tapi, apakah itu sudah diterapkan? Jika kita tanyakan pada masyarakat maka –sangat dimungkinkan-- banyak dari mereka akan berargumentasi bahwa lembaga-lembaga pendidikan saat ini lebih berorientasi mencari keuntungan ketimbang menciptakan misi mencerdaskan masyarakat.

Ivan Illich menyatakan bahwa ”Pendidikan yang ada sekarang tidak membawa perubahan di masyarakat, melainkan hanya memperkuat struktur atas saja”. Artinya, pendidikan hanya dinikmati oleh kalangan atas saja, kalangan bawah tidak bisa mendapat akses ke arah penerimaan pendidikan yang bermutu dan benar-benar menjamin. Sekolah kita ibaratkan bagai membeli barang di supermarket, ternyata harganya serba mahal dan tak terjangkau. Hanya orang yang berdompet tebal yang mampu membayar (barang) pendidikan itu.

Otokritik Pendidikan

Dalam literatur mengenai pendidikan kita menemukan dua tokoh yang sangat gencar mengkritik konsep pendidikan, yaitu Ivan Illich dan Paulo Freire. Pertama kita tengok pemikiran Ivan Illich. Dalam Deschooling Society (1974), ia mengkritik dua hal mengenai dunia pendidikan.

Pertama, kecenderungan pendidikan formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipraktikkan dan melalui pemaketan nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Sehingga, peserta didik hanya diminta untuk mengejar formalitas nilai tanpa mengharapkan lebih pada kualitas proses pembelajaran.

Yang penting dapat nilai bagus, yang penting lulus, dan yang penting bisa dapat ijazah --itulah yang menjadi ukuran dan kepentingan pendidikan, bukan proses bagaimana mencetak siswa yang berwawasan luas dan berkepribadian baik.

Kedua, Illich mengkritik pendidikan hanya sebagai ”barang dagangan”. Tidak ada sekolah yang terbuka untuk menampung semua anak usia sekolah di masyarakat. Biasanya, kelas tertindas tidak mendapat akses pendidikan karena problem administratif atau birokasi sekolah. Dan yang jelas, ini dikarenakan tiada biaya untuk sekolah. Oleh karena itu, dalam pemikiran Illich, misi lembaga pendidikan modern sebenarnya mengabdi pada kepentingan modal, bukan sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Maka, dia sering disebut sebagai pengusung ide ”emoh sekolah!”.

Di samping Illich, ada juga Paulo Freire yang sepuluh judul bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang sangat terkenal adalah Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES:1985). Seperti halnya Illich, arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan pada kaum tertindas (the oppressed). Ada dua konsep orang tertindas dalam pandangan Freire, yaitu tertindas karena ketergantungan dengan lingkungan sosial dan tertindas karena self-depreciation (karena perasaan diri sendiri bahwa dirinya bodoh). Untuk menghadapi permasalahan demikian, Freire dengan pandangan yang sangat humanistik menyoal mengenai konsepsi manusia. Manusia adalah incomplete dan unfinished beings. Untuk itulah, menurut Freire, manusia menjadi subyek harus mampu mengubah eksistensi dirinya untuk mengubah keadaan atau obyek yang ada di depannya.

Konsep ”pembelajaran secara berproses” (sebutlah ”learning by process”) tidak mengenal kata akhir dalam pendidikan. Artinya, yang lebih kita perlukan adalah bagaimana proses untuk menciptakan manusia yang berkualitas dengan menjadikan pendidikan sebagai basis sosial pemenuhan kebutuhan bagi wawasan dan pengetahuan masyarakat. Kita sering berpikir bahwa manusia dalam hidupnya sering dikendalikan oleh dua faktor, yaitu genetik dan lingkungan. Tapi, kita sering lupa bahwa faktor manusia juga sangat menentukan. Untuk itulah, pendidikan yang membebaskan adalah bagaimana melepaskan manusia dari ”terali besi” (iron cage) kebodohan yang ada dalam dirinya. Kualitas pendidikan lebih melihat kondisi (internal) manusia, daripada hanya terbelenggu oleh ukuran-ukuran kuantitatif dan formalistik.

Pendidikan Berbasis Kerakyatan

Dengan melihat realitas pendidikan saat ini maka sudah saatnya kita memikirkan kembali gagasan untuk menciptakan model pendidikan gratis bagi rakyat kecil. Yaitu model pendidikan yang berbasis kerakyatan, terutama rakyat kecil yang tidak mampu. Upaya ini perlu digelar agar bisa menampung beberapa anak usia sekolah yang memang tidak mampu untuk bisa mengenyam dunia pendidikan dengan baik. Hanya dengan kepedulian sosial yang tinggi langkah demikian akan menjadi kenyataan yang tentu akan terealisasi.

Di tengah sulitnya mendapatkan pendidikan bagi rakyat kecil gagasan mengenai pendidikan gratis menjadi agenda penting yang perlu digulirkan. Hal ini kiranya bisa dikerjakan oleh beberapa oraganisasi masyarakat (ormas), yayasan, atau LSM yang bergerak di bidang sosial-kemasyarakatan untuk membuka kelas atau sekolah yang memberikan pendidikan gratis bagi masyarakat yang tak mampu.

Tidak perlu dibuat dalam bentuk struktur birokratik atau menjadi terkesan formal. Kalau memang terbentur soal dana operasionalisasi pendidikan, seperti pengadaan buku pelajaran, maka strategi yang tepat adalah berani untuk memfotokopi buku atau modul sebagai acuan dalam proses pembelajaran.

Lantas bagaimana dengan nilai dan ijazah? Mengenai nilai dan ijazah, dalam proses pendidikan ala kaum tertindas ini, keduanya tidak menjadi acuan utama. Seperti dikatakan Illich, nilai atau formalitas pendidikan hanya akan menghasilkan anak didik yang tak bermutu karena dipenuhi otak proyek pengumpulan nilai bagus dan demi ijazah saja, tanpa memperhatikan proses pengembangan diri secara dinamis.

Dengan begitu, maka setidaknya kaum tertindas tidak lagi terjebak pada permainan komersial yang gencar dilakukan beberapa oknum kapitalis pendidikan (termasuk negara). Kita merasa sedih melihat banyak kaum miskin yang tidak sanggup membayar biaya sekolah. Siapa yang akan perduli dengan mereka?

Piere Bourdieu, seorang sosiolog pendidikan, menyebut bahwa manusia saat ini tidak hanya melakukan kegiatan saham dalam bentuk material, tapi juga dalam bentuk symbolic capital, yaitu kapital yang bersifat simbolik tapi sarat makna dengan ragam kepentingannya. Kehidupan yang sangat aristokratis dalam relasi sosial akan sangat mudah membawa sistem pendidikan ke dalam model symbolic capital. Dengan gagasan pendidikan gratis untuk rakyat kecil, maka umumnya kaum tertindas akan bisa keluar dari kubangan dan jebakan aristokrasi pendidikan ini.

Usulan untuk membebasan biaya pendidikan dasar dan menengah terkesan masih utopis bila melihat keadaan saat ini. Apalagi itu masih masuk dalam struktur negara atau pemerintah karena aturan prosedural tidak(?) menghendaki demikian. Langkah yang lebih memungkinkan adalah bagaimana meningkatkan subsidi pemerintah yang lebih menjanjikan bagi pendanaan pendidikan. Pendidikan gratis untuk rakyat kecil ini adalah sebuah langkah nonformal yang penting untuk digelar oleh beberapa komunitas sosial yang sangat konsern dengan dunia pendidikan saat ini. Sehingga, kejadian seperti yang menimpa bocah SD di Garut itu tidak akan terulang dan bertambah lagi. Wallahu A'lam.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0309/19/opi02.html

Thursday, November 8, 2007

Komersialisasi Pendidikan

Oleh Happy Susanto

Dimuat di Harian Jawa Pos, Rabu, 25 Juni 2003.

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia sudah tidak lagi disubsidi oleh pemerintah dan secara otonom menjadi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Masing-masing PTN itu dituntut mencari dana mandiri. Lalu, digelarlah beberapa PTN yang membuka kelas jauh, kelas malam, kelas sabtu-minggu, kelas ekstensi dan sebagainya. Termasuk rekruitmen mahasiswa baru melalui jalur penelurusan potensi minat dan bakat (PMBP) sebagai jalur khusus yang dibedakan dari jalur penerimaan biasa (SPMB) dengan jatah kursi 20 persen.

Jalur khusus penerimaan mahasiswa dinilai sangat diskriminatif dan berbau komersial. Jalur penelusuran minat terlalu bermotif uang sehingga mematikan potensi mahasiswa, terutama bagi yang tidak mampu.

Calon mahasiswa yang memiliki orang tua berpunya dan memang mampu sangat besar kemungkinan peluang dan kesempatannya untuk dapat masuk kuliah di PTN besar. Tinggal memberikan dana antara 15 juta sampai 150 juta, mereka bisa kuliah di PTN yang diharapkannya. Uang lalu menjadi ukuran apakah seseorang itu bisa diterima di PTN atau tidak, bukan sepenuhnya atas dasar kemampuan akademik yang dimilikinya.

Alasan yang dikemukan dalam model PMBP ini biasanya persoalan subsidi silang antara mahasiswa yang mampu dan yang biasa-biasa saja. Di saat PTN sangat membutuhkan dana besar sebagai konsekuensi atas kebijakan otonomi kampus maka pembukaan jalur khusus bisa sebagai jalan untuk penjaringan dana yang amat strategis. Boleh-boleh saja kalau kampus mencari dana untuk membiayai pengembangan dan operasionalisasi pendidikan, tapi kenapa perlu ada jalur khusus itu?

Subsidi silang yang dihasilkan dari jalur khusus justru akan menimbulkan persoalan tersendiri. Ya, persoalannya adalah bagaimana kampus yang menerapkan model ini bisa mengatasi adanya kecenderungan komersialisasi dan diskriminasi. Dalam dunia pendidikan tidak ada kata komersialisasi! Kita bisa membaca secara seksama UU Sisdiknas Pasal 54 ayat (3) yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan badan nirbala (yang tidak mencari keuntungan). Sehingga kebijakan pendidikan yang mengarah pada komersialisasi harus dicegah oleh pemerintah. Kalau arahannya sudah komersil dikhawatirkan manajemen pendidikan akan lebih memusatkan pada persoalan bagaimana mendapat dana sebesar-besarnya, sehingga kualitasnya sendiri bisa kurang diperhatikan.

Logikanya memang seharusnya dengan adanya dana yang besar, kualitas pendidikan bisa diandalkan. Saya kira logika itu bisa jadi malah terbalik. Bagaimana mungkin dengan dana yang besar jika perhatian manajemennya masih terbelenggu oleh perhatian yang amat berlebihan pada pemasukan dana daripada peningkatan kualitas dan mutu pendidikan, bisa memberikan jaminan pendidikan yang bagus dan handal? Itu terletak pada persoalan bagaimana pihak kampus bisa merekrut dan mencetak mahasiswa yang berkualitas, bukan hanya merekrut atau mencetak uang untuk pendidikan.

Ada kekhawatiran bahwa apabila jalur khusus itu diterapkan maka jatah untuk mahasiswa di jalur biasa di mana dari mereka ada yang berpotensi dan tidak begitu mampu malah akan berkurang. Seharusnya jatah kursi mahasiswa disetarakan untuk siapa saja, baik yang mampu atau yang memang pas-pasan. Kalau alasannya mau mencari dana, saya kira, bisa dilakukan dengan program-program partisipatif kampus dengan berbagai lembaga yang bisa diajak bekerjasama. Kalau PTS banyak yang mampu hidup mandiri, kenapa PTN tidak?

Jalur khusus akan menimbulkan benih diskriminasi dalam pelayanan pendidikan, termasuk pelayanan akademik, dan juga dalam dinamika kehidupan kampus. Di sana akan mencolok sekali antara mahasiswa yang mampu dan mahasiswa yang biasa-biasa saja. Jalur ini juga akan menimbulkan gejala komersialisasi pendidikan. Yang penting ada dana, ada jalan! Karena jalur ini sangat bermotif uang maka yang diperhatikan adalah sisi berapa banyaknya dana yang bisa diraih, tanpa mementingkan potensi mahasiswa yang bersangkutan.

Tapi, ternyata komersialisasi pendidikan dalam penerimaan mahasiswa baru didukung oleh Mendiknas Prof. Malik Fajar, yang dinilainya adalah wajar. Kata beliau, “yang penting pengelolaannya dilakukan terbuka, transparan, dan akuntabilitasnya terjamin.” (Jawa pos, 17/6/2003). Yang menjadi perntanyaan: apakah jaminan komersialisasi akan memastikan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan kita? Bukankah apabila dunia pendidikan sudah dikomersialkan lalu yang bermain adalah uang, bukan potensi atau kemampuan mahasiswa itu sendiri? Ini sungguh ironis!

Pendidikan kita memang terlihat agak suram. Setelah perhatian kita disita oleh perdebatan mengenai RUU Sisdiknas yang lebih memusat pada soal pendidikan agama, kini masalahnya beralih pada perdebatan mengenai jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di PTN.

Pendidikan masih menjadi barang mahal yang jauh dari harapan dan kemampuan rakyat. Sudah semestinya pemerintah dan DPR memperhatikan dunia pendidikan sebagai pusat perhatian yang paling urgen dengan memperbesar dana dan kualitas yang dihasilkannya. Di tengah suasana yang amat susah seperti ini, pendidikan malah menjadi barang dagangan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang memang berduit dan mampu mengeluarkan seberapapun besarnya uang yang mesti dibayar.

Fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan dengan menjual mahal kursi PTN harus dicegah secepatnya. Pendidikan bukanlah lahan bagi adanya komersialisasi dan diskriminasi. Pendidikan justru seharusnya menjadi basis peningkatan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang. Pendidikan juga seharusnya bisa menumbuhkan kesadaran kebersamaan dalam menghadapi persoalan yang ada di hadapannya secara kritis dan kontrukstif. Jangan justru malah dibuat secara diskriminatif dan komersil sehingga hanya segelintir mahasiswalah yang mampu mengakses pendidikan itu. Wallahu A'lam.

Tafsir Agama, Feminisme, dan Teori Poskolonial

Oleh Happy Susanto

Dimuat di Harian Republika, Rabu, 04 Februari 2004.

Kajian mengenai feminisme tidak bisa dilepaskan dari proses reproduksi pemaknaan agama dalam menyoal perempuan. Wacana agama yang dihasilkan dari proses penafsiran itu pada dasarnya sangat tergantung kehendak si penafsir. Dalam tulisan ini, wacana tafsir agama mengenai feminisme dianalisa dengan pendekatan teori poskolonial. Dalam studi poskolonial, monopoli tafsir dalam memaknai sebuah pemahaman agama, tanpa menghendaki adanya "tafsiran yang demokratis" maka itu berarti bahwa agama justru menjadi ajang "kolonialisasi".

Dalam wacana agama dan feminisme, perempuan sering diposisikan sebagai kelompok yang ter(di)pinggirkan, ter(di)tindas, dan tidak memiliki hak bicara secara signifikan. Gayatri Spivak pada tahun 1985 menulis sebuah esai berjudul "Dapatkah Subaltern Berbicara?" Tulisan itu merupakan "gugatannya" atas kebutaan ras dan kelas -- terutama dalam memposisikan perempuan -- yang terjadi di dunia akademik Barat. Subaltern secara harafiah diartikan sebagai "peringkat yang lebih rendah".

Spivak ingin mengatakan bahwa perempuan seringkali diposisikan sebagai pihak yang lebih rendah -- dan ternyata penciptaan seperti ini sering "terpampang" dalam wacana agama. Apakah agama memang menghendaki perempuan sebagai "barang rendahan", sepenuhnya di bawah otoritas laki-laki (ideologi patriarkat), dan tidak mungkin mendapatkan keadilan jender? Tentu tidak! Ternyata, problemnya terletak pada ketiadaan penafsiran yang elegan, kontekstual, dan terbuka dalam membicarakan feminitas (persoalan perempuan). Hanya dengan penafsiran yang terbuka dan kontekstual maka agama sejatinya memiliki semangat dan kepekaan yang sangat besar dalam menghendaki keadilan jender.

Dalam buku Postcolonialism, Feminism, and Religious Discourse (Routledge: 2002) yang merupakan hasil editing Laura E Donalson, Pui-Lan Kwok, dan Kwok Pui-Lan, ditegaskan bahwa kaitan antara wacana agama dan feminisme yang dihubungkan dengan wacana poskolonialisme sangat erat sekali -- hampir tidak bisa dipisahkan. Kuncinya terletak pada wacana agama yang dikondisikan oleh situasi dan kehendak sang penafsir.

Apabila, wacana agama ditafsirkan menjadi anti-jender maka kecenderungannya adalah "kolonialisasi" (penjajahan) atas perempuan dalam bentuk apapun, baik secara fisik maupun pada sisi pembelengguan atas kesadaran dalam konstruksi berpikir kaum hawa. Dalam wacana agama, khususnya mengenai perempuan, terjadi ajang "kontestasi" antarberbagai pihak yang berkepentingan dalam memproduksi makna agama. Sehingga yang muncul adalah makna (meaning) yang lebih memenuhi kebutuhan laki-laki, dengan catatan bahwa itu tidak didasari atas pengharapan dan kenyataan bahwa perempuan tidak selayaknya diposisikan di bawah. Makna semacam ini perlu dicurigai (suspiced), tentunya!

Hubungan final antara teks dengan tafsirnya harus "dibongkar". Teks dan tafsir sangat terikat pada si penafsir dan konteks yang "menggumuli" selama proses pembentukan teks. Untuk itulah, perlu ada "rekonstruksi tafsir" dalam memahami teks mengenai perempuan. Dengan demikian upaya ini akan berimplikasi pada penghapusan monopoli tafsir yang dilakukan oleh otoritas tertentu yang berbicara atas nama Tuhan, agama, dan juga kekuasaan. Tafsir yang berlaku dalam wacana poskolonial adalah tafsir yang demokratis, menegasikan kecenderungan potensi hegemonisasi, dan pemaknaan yang tidak menghendaki absolusitas terhadap pemaknaan yang diwacanakan "yang lain" (the others), alias penafsir di luar dirinya.

Rekonstruksi tafsir semacam itu sebenarnya pernah digagas oleh Edward Said, yang terkenal lewat bukunya Orientalism (1978) dan merupakan salah satu pemikir poskolonial. Said ingin menguraikan praktik multikultural yang berlangsung dalam bidang sejarah tafsir. Dan proses rekonstruksi ini dimaksudkan sebagai jalan pembebasan menuju pemahaman transnasional yang lebih persuasif atas sejarah suatu kaum melalui peninjauan ulang atas heterogenitas dan hibriditas. Dengan meminjam kerangka pikir Said ini, pembacaan kita terhadap wacana agama dan feminisme lebih melihat pada "pembebasan perempuan" (liberty of women) dan melihatnya menurut keragaman budaya masyarakat yang ada, bukan patriarkhi semata.

Penciptaan makna agama yang lebih mengukuhkan kekuasaan patriarkhi, sesungguhnya dalam prosesnya terselubung "ideologisme" antara tafsir agama dan konteks kekuasaan kaum laki-laki pada saat itu. Michel Foucault, seorang filsuf posmodernis, menengarai adanya hubungan antara "pengetahuan" dan "kekuasaan" (knowledge and power), yaitu bahwa kekuasaan menentukan pengetahuan, dalam arti: menetapkan tipe-tipe diskursus yang benar dalam arti yang "works"; menetapkan mekanisme yang memungkinkan untuk membedakan proposisi yang benar dan yang salah; menetapkan teknik dan prosedur dalam mencapai kebenaran di atas; menetapkan status dari mereka yang ditugasi untuk mengatakan hal-hal yang dianggap benar. (Foucault: 1980, 131).

Kekuasaan tidak selamanya diartikan sebagai negara, lebih jauh lagi adalah segala sesuatu yang menjamin "normalitas", "regularitas", dan "familiaritas". Yaitu, segala upaya untuk menjamin stabilitas status sebuah pemikiran atau tindakan. Jika, pemahaman absolut itu diterapkan maka di situ kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan sangat jelas. Yaitu bahwa kondisi penafsir yang memiliki kekuasaan dan kepentingan dalam memaknai agama mengenai persoalan-persoalan perempuan, biasanya memposisikan perempuan sebagai sesuatu di peringkat terbawah. Dengan alasan, itu adalah hasil penafsiran yang sudah dianggap jelas dan dengan legitimasi tekstualitas agama. Padahal, model penafsiran seperti ini tidak lagi melihat konteks perubahan zaman dalam memahami kembali persoalan perempuan di masa sekarang ini.

Jika, pemaknaan dalam memproduksi tafsir agama lebih mengukuhkan kekuatan patriarkhi maka pada dasarnya agama di sini kemudian menjadi ajang ideologisasi, dan tentunya menimbulkan "kolonialisasi" terhadap hak-hak perempuan. Pemahaman seperti ini sangat berbahaya. Agama tidak seharusnya menjadi legitimasi prosedural dalam menciptakan diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan.

Berbagai teks agama yang tersebar dalam lembaran-lembaran Kitab Suci perlu ditafsirkan kembali secara kontekstual. Teks dan konteks sangat dipengaruhi oleh kondisi bagaimana si penafsir itu mampu "menggumuli" teks. Penafsiran secara kontekstual akan memahami kenyataan pluralitas bahwa makna teks tidak bisa dianggap satu, final, dan absolut. Persoalan perempuan sangat kompleks sehingga membutuhkan perangkat alat penafsiran yang komprehensif dengan melihat realitas secara objektif.

Jika, penafsiran secara tekstualis itu ditambah dengan kecenderungan adanya "ideologisasi" maka akan sangat sulit sekali mengurai proses pemaknaannya secara objektif. Biasanya kita memahami sebuah tafsir secara sakral. Padahal, tidak demikian! Letak persoalan kolonialisme wacana agama dalam memosisikan perempuan sebagai kelas terendah disebabkan oleh dua kecenderungan di atas, yaitu kehendak penafsir (laki-laki sebagai pencipta makna) yang tidak melihat pluralitas kebutuhan perempuan di masa kini, dan kedua adalah karena kecenderungan pada ideologisasi dalam memahami teks yang direproduksi secara anti-jender.

Persoalannya sangat jelas, yaitu bahwa tafsir agama yang membebaskan dalam memaknai hakikat kemerdekaan perempuan menjadi kebutuhan saat ini. Dan itulah realitas objektif dalam penampakan kondisi kekinian. Yang seharusnya dikedepankan adalah bagaimana kita menciptakan rekonstruksi tafsir yang lebih dimaknai secara demokratis dan kontekstual. Sehingga, agama benar-benar memang berwajah sebagai ajaran yang sangat respek dengan berbagai persoalan keadilan jender. Wallahu A'lam.

http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=152217&kat_id=16

Wednesday, November 7, 2007

Bom Bunuh Diri dan Sikap Berani Mati

Oleh Happy Susanto

Dimuat di Harian Sinar Harapan, Sabtu, 23 Agustus 2003.

Aksi bom bunuh diri dan terorisme kian marak terjadi. Pada Selasa (19/8) lalu, terjadi aksi bom bunuh diri yang ditujukan kepada Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irak, yang telah menewaskan 24 orang dan melukai 100 orang lainnya. Pada hari yang sama, juga terjadi pengeboman bunuh diri di Yerusalem yang telah menewaskan sedikitnya 20 orang dan melukai sekitar 80 lainnya. Di Indonesia, beberapa saat yang lalu terjadi pengeboman di Hotel Marriott Jakarta yang telah menewaskan sekitar 10 orang dan melukai ratusan orang lainnya.

Sikap berani mati dengan melakukan bom bunuh diri menjadi bagian penting dari perjuangan suci (jihad) yang dilakukan beberapa kelompok agama. Mereka lebih melihat pada kehidupan eskatalogis (kehidupan setelah mati). Kematian demi menegakkan sebuah agama adalah tujuan mulia. Keabadian hidup hanya di akhirat kelak. Sikap ini tidak begitu memperhitungkan apa akibat tindakan tersebut yang nyata-nyata telah menimbulkan banyak korban kemanusiaan.

Keyakinan agama yang eskatalogis cenderung mengarahkan penganutnya pada sikap-sikap yang berlawanan dengan realitas sosial. Yang terpikir adalah penghambaan pada Tuhan, tanpa mau memahami kenyataan sosial yang ada. Maka, yang dikedepankan adalah sikap-sikap penuh kekerasan. Pada dasarnya, agama tidak menghendaki adanya praktik kekerasan dan sikap anti-kemanusiaan. Kita perlu menghadirkan agama yang bisa menjamin keberlangsungan hidup umat manusia. Agama adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).

Teologi Kematian

Siapa pun manusia yang hidup dan memiliki nyawa pasti akan mati. Kematian adalah sebuah kemestian. Martin Heiddeger menyatakan bahwa kematian adalah ”modalitas fundamental dari eksistensi yang hidup dan konkret” (fundamental modality of living, concrete existence).

Fenomena ”berani mati” sudah banyak terjadi. Biasanya sikap berani seperti ini karena memang dilandasi oleh keyakinan agama. Si pelaku bom bunuh diri yakin bahwa tindakannya adalah benar karena itu mengandung makna jihad untuk ”menghancurkan” ketidakadilan di muka bumi ini. Dorongan keyakinan agama seperti ini memang tidak sepenuhnya salah. Tapi, yang jadi persoalan adalah terletak pada sisi kekakuan dan kesempitan dalam memahami doktrin agama.

Sikap berani mati yang negatif telah menghinggapi banyak keyakinan umat agama. Keyakinan ini mengakibatkan pada aksi kekerasan. Sikap ”berani mati” yang positif, seperti diajarkan dalam banyak pengajian-pengajian keagamaan, justru adalah bagaimana kesiapan kita sebagai manusia yang hidup ini untuk menghadapi kematian. Manusia yang mempunyai amal baik hingga akhir hayatnya adalah insan yang khusnul khatimah (mati dengan baik). Yaitu, manusia yang akan diterima di sisi Tuhannya.

Dalam sikap berani mati, ada sebuah pertanyaan yang muncul: apakah Tuhan menghendaki hamba-Nya mengorbankan jiwa yang kita sendiri tidak tahu apakah itu baik menurut-Nya? Perlu digarisbawahi bahwa mati dan hidup adalah urusan Tuhan.

Yang penting kita lakukan adalah mempersiapkan amal dan ibadah untuk kematian yang mujur dan baik. Jadi, kita lebih melihat pada kenyataan hari ini dengan mempertebal amal shalih dalam pengamalan hidup sehari-hari. Harus ada kepedulian pada keadaan saat ini.

Agama tidak menghendaki adanya kekerasan, apalagi tindakan terorisme. Agama hadir dimaksudkan sebagai ”jalan kebenaran” untuk menegakkan kemanusiaan dan perdamaian di muka bumi. Jangan sampai, citra positif agama dilunturkan dengan sikap-sikap yang cenderung mengarah pada tindak kekerasan dan anti-kemanusiaan.

Irasionalitas pengamalan agama seperti inilah (mengandung sisi kekerasan dan anti-kemanusiaan) yang dikritik banyak filsuf ateis. Salah satunya adalah Sigmund Freud, seorang psikoanalis.

Freud menganggap bahwa agama hanya sebagai pemuasan pengharapan yang ditemukan dalam mimpi dan simtom neurotik. Kata Freud, agama adalah ilusi, pemuasan harapan manusia yang paling tua, paling kuat, dan paling mendasar.

Agama bukanlah cerminan pengalaman atau hasil akhir pemikiran manusia. (Die Zukunft einer Illusion dalam Studienausgabe 9:164).

Tentu, apa yang dimaknai oleh Freud adalah agama yang tidak menyejarah. Fungsi agama yang melulu normatif dan terlepas dari konteks historis pengalaman hidup manusia adalah bentuk ”impotensi” agama.

Agama hanya menjadi ”tempat pelarian” bagi manusia yang penuh keterasingan. Sehingga, agama dicurigai tidak mempunyai peran sosial yang signifikan untuk membebaskan manusia. Justru yang dikehendaki adalah bahwa agama bisa difungsikan sebagai agen transformatif (perubahan sosial).

Hakikat Pembebasan

Kebanyakan kita mungkin sering berpikir bahwa beragama adalah untuk Tuhan saja. Padahal, jika memang bentuk penghambaan itu ditujukan untuk Tuhan saja, tapi Tuhan yang bagaimana? Jangan-jangan, Tuhan hanya dalam proyeksi angan-angan pikirannya sendiri. Beragama adalah untuk Tuhan dan juga manusia. Tidak bisa dipisahkan!

Insan agamis jangan hanya memahami agama menurut keyakinan ilusif yang mengental dalam memori hati dan pikirannya. Apa yang terpikir olehnya bisa saja salah dan itu mesti ”dibenturkan” dengan kenyataan kompleksitas persoalan manusia.

Dalam memahami teks agama jangan sebatas sisi harfiahnya saja, lalu serta-merta diterima sebagai hukum dan makna agama. Dalam menginterpretasikan teks perlu melihat sisi kontekstual, yaitu dimensi ruang dan waktunya.

Apa yang dipahami pada masa lalu bisa saja berubah pada masa kini, disesuaikan dengan kenyataan yang sedang dihadapi manusia. Dalam beragama, kita juga perlu menggunakan pendekatan nalar dan rasionalitas. Untuk memahami teks kita perlu menggunakan pedoman akal budi. Hanya saja, terkadang akal tidak bisa menjangkau hal-hal yang supra-rasional.

Fenomena radikalisme dan atau terorisme disebabkan karena dalam memahami agama hanya terjebak pada sisi normativitasnya saja. Apa yang aku pahami menurut keyakinan harfiahku maka itu benar menurut Tuhan, dan aku harus melakukan apa yang menjadi bagian isi ajarannya.

Padahal, si penafsir juga mesti melihat apa di balik bungkusan teks itu, yang senyatanya pasti tidak akan didapati makna-makna yang cenderung mengarahkan pada tindak penuh kekerasan.Bisa saja kita katakan bahwa fenomena ”berani mati” merupakan bentuk ”pembebasan”. Tapi, pembebasan dalam pengertian melepaskan tanggung jawab atas ”ketidaksadaran” manusia dalam menerapkan hukum Tuhan yang diukur menurut kerangka subyektif pemikiran si penafsir.

Atau pembebasan untuk menghancurkan kekuatan imperialisme negara-negara kolonial, seperti negara AS yang ikut campur mengurusi negara-nagara Muslim. Bukan pembebasan dalam pengertian agama yang memiliki ajaran yang membebaskan umat manusia. Atau bukan dalam pengertian membebaskan manusia dari dosa dan kejahatan karena dengan kematian dia akan terlepas dari pengaruh itu semua. Pembebasan bisa bermakna apabila itu ada kaitan sosialnya. Tidak sebatas kehendak indivual semata.

Islam memiliki semangat pembebasan yang menghendaki penganutnya untuk menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian di muka bumi. Islam yang membebaskan menjadi harapan dunia saat ini.

Jika, pemahaman agama difungsikan menjadi doktrin yang membelenggu kesadaran kemanusiaan maka itu bukanlah agama sejati. Apa yang dilakukan oleh kelompok teroris dengan atas nama agama merupakan bentuk ”pembunuhan” atas jati diri kemanusiaan.
Apa yang dipraktikkan oleh beberapa pelaku ”teroris berbaju agama” menjadi bukti bahwa keyakinan agama yang sempit akan cenderung mengarahkan pada tindak kekerasan. Islam bukanlah agama yang mengajarkan demikian.

Apa pun yang dipikirkan manusia masih dalam frame konteks sosial. Apakah dunia ini hanya milik segelintir penganut agama yang tidak mau melihat realitas secara obyektif?Untuk itulah, sudah waktunya kita merenungi kembali hakikat keberagamaan kita ini.

Beragama adalah untuk Tuhan dan juga manusia. Dalam upaya penegakan keadilan dan kemanusiaan di muka bumi ini yang mesti dikedepankan adalah cara-cara yang baik dan terpuji. Bom bunuh diri bukan merupakan cara jihad positif untuk menghadapi sebuah persoalan pelik yang dihadapi dunia Muslim.Islam benar-benar merupakan agama yang penuh dengan rahmat dan kebaikan buat umat manusia, sangat mengedepankan sikap-sikap penuh perdamaian dan kemanusiaan, serta sangat anti-kekerasan. Wallahu a’lam.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0308/23/opi02.html

Menimbang Islam Humanis

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Republika, Jumat, 14 Nopember 2003.

Ada semacam stigma bahwa agama justru menimbulkan adanya gejala dehumanisasi atas kondisi kehidupan kontemporer. Agama sering dituduh karena menjadi faktor penyebab negatif atas tindak kekerasan dan ketidakadilan yang terekam dalam memori kesadaran manusia modern. Stigmatisasi semacam ini akan menghasilkan pemahaman yang keliru atas peran dan fungsi agama. Apakah agama berlawanan dengan kemanusiaan? Bukankah sejarah pemikiran dalam agama-agama juga menampilkan sisi di mana agama justru meneguhkan cita kemanusiaan sebagai tema sentral dalam objek wacana dan praksis agama?

Sejarah perkembangan pemikiran kemanusiaan pernah mengalami "pertarungan" antara peradaban agama (gereja) dan peradaban rasionalisme. Masing-masing kubu melakukan justifikasi dan saling tuduh mana yang sesungguhnya lebih berperan. Sejarah kemanusiaan mengalami proses kemunduran karena tidak ada ruang dialog antara humanisme yang muncul di Barat dan peradaban lainnya, yaitu agama dan kebudayaan lokal. Jarak antara humanisme dan agama inilah yang menyebabkan kesan bahwa kemanusiaan jauh dari peran agama. Padahal, pengembangan ajaran kemanusiaan bisa digali dari pendekatan agama.

Biasanya, tema-tema yang muncul dalam perdebatan antara Islam dan humanisme adalah seputar: rekonsiliasi antara wahyu dan rasionalisme, tradisi dan modernitas, sains modern dan Islam, dan sebagainya. Tulisan ini mencoba mengangkat tema hubungan antara Islam dan humanisme dengan iktikad untuk mencari konstruksi dialogis antarkeduanya. Sehingga, gagasan "Islam Humanis" dapat dikembangkan sebagai tawaran baru atas reposisi wacana Islam dan kemanusiaan.

Pijakan antroposentris

Penafsiran agama perlu diarahkan pada pembacaan yang lebih humanistik, pluralistik, dan progresif. Pemahaman teks agama yang kaku, rigid, hitam-putih, dan tektualistik, akan mengarahkan sang pembaca menjadi berpikiran sempit dalam mengamalkan agama sehingga yang terjadi adalah kecenderungan atas tindakan kekerasan, klaim-klaim kebenaran, dan sikap anti-pluralisme. Misalnya, kasus takfir (pengkafiran) dan fatwa hukum mati adalah bentuk kepicikan dalam pemikiran keagamaan model ini.

Umumnya, pemahaman agama selalu mengandaikan teosentrisme sebagai titik awal dan akhir pijakan dalam memaknai agama. Agama dan Tuhan menjadi dua term yang seakan sulit untuk dipisahkan. Ketika kita memahami agama ada kecenderungan bahwa itu adalah apa yang maksudkan Tuhan kepada kita. Teks-teks agama yang termaktub dalam Alquran dianggap sebagai kata-kata Tuhan yang sudah jelas dan pasti (mutlak). Padahal, perlu pemahaman secara kontekstual.

Pemahaman agama yang kita yakini kebenarannya merupakan tafsiran yang masih bersifat relatif. Agama adalah "jalan kebenaran" (syir'atan wa minhajan) bagi umat beragama untuk memahami kehidupan ini dengan bayang-bayang tuntunan dan pedoman dari kitab suci dan ajaran ilahi. Dengan agama, penganutnya akan mendekati (kebenaran) Tuhan dalam ragam pemaknaan, walaupun tidak bisa mendekatinya secara sempurna. Agama dan Tuhan harus dipisahkan karena yang satu adalah jalan untuk mendekati Tuhan, sedangkan yang kedua adalah tujuan akhir dari perjalanan. Klaim-klaim kebenaran hanya dimiliki oleh Tuhan, manusia hanya berhak memahami dan menafsirkan agama, dengan cara, bentuk, dan hasil apapun.

Pemahaman agama ada yang sifatnya masih melangit dan ada juga yang sudah membumi. Secara transendental, penerjemahan agama ditujukan sebagai bentuk penghambaan secara personal, vertikal, dan teosentris. Ibadah ritual dan umumnya syariat merupakan bentuk penghayatan dan pengamalan agama dengan orientasi pada Tuhan. Tapi, dalam sifat yang pertama ini tidak terjadi keterputusan makna dengan sifat yang kedua, yaitu imanensi. Pembumian ajaran agama memberikan ruang bagi manusia untuk secara kreatif berhak melakukan kegiatan duniawi secara rasional dengan tidak melepaskan dari ikatan substansial agama. Pembumian agama yang berpijak pada antroposentrisme akan memberikan jalan pada humanisasi agama. Di sinilah terjadi dialektika, yaitu manusia diberikan kebebasan untuk menjalani kehidupan dengan membumikan ajarannya dalam ranah sosial-keduniawiaan.

Pemahaman yang rasional

Merumuskan kembali paradigma agama yang berorientasi pada pemenuhan cita-cita kemanusiaan dan peradaban menjadi agenda yang sangat penting dalam garapan Islam humanis. Kita bisa memastikan bahwa agama tidak kontra dengan realitas kemanusiaan gara-gara secara empirik sering terjadi "devaluasi agama", yaitu penurunan citra agama yang diakibatkan karena merebaknya fenomena kekerasan dan politisasi agama yang dilakukan oleh beberapa oknum pemeluknya.

Ajaran humanisme yang awalnya muncul di Barat, yaitu pada abad pencerahan (Aufklarung), posisi agama terkesan tersisihkan dari wacana pencerahan modernisme. Periode sekularisasi menghantui kehidupan masyarakat saat itu. Sekularisme kemudian mengikis dan menghabisi otoritas gereja yang telah lama menguasai atas kebebasan manusia, yaitu lewat penancapan simbol agama ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia. Hal demikian karena kehadiran agama justru memasung kemanusiaan.

Tentunya, apa yang terjadi di Barat berbeda jauh dengan apa yang terjadi dalam pengalaman sejarah Islam. Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki fondasi kuat tentang ajaran humanisme (kemanusiaan). Ajaran agama yang sangat respek dengan persoalan kemanusiaan mesti dibangun dengan penafsiran agama yang kontekstual. Penafsiran demikian akan lebih melihat kenyataan kebutuhan manusia hari ini. Relevansi penggalian pada aspek kesejarahan Islam dipahami bahwa teks harus berdialog dengan realitas perubahan zaman.

Pandangan humanisme dalam Islam bisa dieksplorasi dengan mengembalikan pemaknaan agama pada nilai-nilai kemanusiaan. Manusia perlu diperhatikan sebagai subjek dan objek dalam proses humanisasi agama. Apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan manusia dan masyarakat adalah tujuan dari pembelaan agama. Secara vertikal dan transedental, bisa saja pengamalan agama untuk orientasi kepada Tuhan, tapi jangan dilupakan bahwa dalam agama juga terkandung dimensi horizontal, imanental, dan humanistik, yaitu beragama untuk manusia dan demi memenuhi harapan kemanusiaan. Tekstualitas Alquran bertujuan untuk merekam kenyataan historis kemaslahatan umat manusia. Artinya, manusia yang melakukan dan untuk manusia pula.

Pemahaman agama secara rasional menjadi kebutuhan sejarah (historical necessity) bagi upaya humanisasi agama. Syariat, yang sering diposisikan sebagai domain wacana agama mesti ditafsirkan secara rasional, menurut ukuran kemaslahatan dan konteksnya. Rasionalisme dalam filsafat bisa membantu dalam pembacaan yang humanistik, dengan terlebih dahulu meyakini bahwa antara filsafat dan agama (syariat) bisa dikompromikan. Dalam at-Turats wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasyah (1991), Al-Jabiry menyatakan bahwa agama tidaklah menafikan metode burhani atau rasionalisme, justru malah menganjurkannya sebagai cara yang efektif untuk memahami agama secara rasional. Upaya untuk mengawinkan syariat dengan filsafat pernah dilakukan oleh Ibnu Rusyd melalui tulisannya berjudul "Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina al-Syari'ah wa al-Hikmah min al-Ittisal", dalam kitab Falsafah Ibn Rusyd (1968). Rasionalisme dalam kaidah hukum Islam bisa dilihat melalui metode Maqashid asy-Syari'ah" yang dikemukakan Asy-Syatibi, ketika memahami teks agama (syariat) dengan mengedepankan kemanusiaan dan kemaslahatan umat manusia.

Ketika sebuah teks berbenturan dengan realitas maka teks harus berdialog dan terjadi tawar-menawar dalam memahaminya. Terjadi dialektika atau dialog antara teks (wahyu) dan kebudayaan masyarakat. Tapi, tidak sepenuhnya teks itu tunduk terhadap realitas. Keberadaan teks merupakan perekaman atas maslahat kemanusiaan yang telah menjadi bagian utuh penampakan realitas.

Gagasan Islam humanis perlu dipertimbangkan. Pemahaman agama yang cenderung terpolarisasi ke dalam kubangan fundamentalisme dan sekularisme akan menyebabkan matinya potensi agama sebagai ajaran kemanusiaan. Menegakkan cita-cita kemanusiaan tidak perlu melepaskan dari baju agama. Tapi, dengan jalan mendialogkan antara wacana agama dan realitas kemanusiaan dalam posisi yang berimbang sehingga dihasilkan pemaknaan baru atas agama yang memang menjamin pemenuhan cita-cita kemanusiaan. Wallahu A'lam.

http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=145703&kat_id=16

Sunday, November 4, 2007

Menyikapi Kasus “Aliran Sesat” Agama

Oleh Happy Susanto

Setelah lama tak terdengar, kini kasus tentang aliran keagamaan yang dinilai “sesat” oleh sejumlah ormas sosial-keagamaan kembali mencuat. Aliran al-Qiyadah al-Islamiyyah kini sedang mendapat sorotan publik. Tidak sedikit pengikut aliran ini yang mendapat teror dan kekerasan dari sejumlah kelompok masyarakat yang tidak setuju atau merasa resah dengan keberadaan mereka. Bahkan, ada banyak pengikut aliran ini yang ditangkap oleh pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.

Kasus ini mengingatkan kita pada kasus serupa pada pertengahan tahun 2005 di mana banyak pengikut jamaah Ahmadiyah yang mendapat perlakuan kekerasan dari sejumlah kelompok masyarakat yang merasa resah dengan keberadaan mereka.

Pemecahan terhadap masalah ini memerlukan cara yang baik dan bijaksama. Artinya, kita tidak boleh lagi gegabah dalam bersikap. Cara yang dapat dianggap gegabah adalah dengan cukup mengeluarkan fatwa bahwa aliran ini itu adalah sesat, maka persoalan dianggap sudah selesai. Namun, bagaimana faktanya? Cara seperti itu justru menyulut kemarahan sejumlah kelompok masyarakat yang memang selama ini sudah gerah dengan keberadaan aliran-alirang yang dianggap “sesat”. Aksi-aksi kekerasan akhirnya timbul. Apalagi, media massa yang ikut mengekspos secara besar-besaran pemberitaan tentang isu ini jangan-jangan juga ikut berperan dalam menyulut emosi publik.

“Aliran Sesat”

Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah telah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena dianggap telah mengingkari ajaran pokok Islam sebagaimana yang telah dibawakan Nabi Muhammad SAW (www.mui.or.id).

Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah didirikan pada tanggal 23 Juli 2006 oleh Acmad Moshaddeq alias H Salam. Ia sendiri mengaku sebagai nabi baru yang menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW dan mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Pengakuan itu muncul setelah dirinya melakukan pertapaan selama 40 hari 40 malam. Pelantikan H Salam sebagai rasul dilakukan pada tanggal yang sama di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat.

Kitab suci yang diyakini aliran ini tetap al-Qur’an. Hanya saja, mereka menafsirkan sendiri kandungan ajaran al-Qur’an, tanpa merujuk pada pendapat para ahli tafsir masa lalu. Mereka tidak mempercayai adanya hadits sebagai rujukan agama yang terpenting setelah al-Qur’an. Aliran ini memiliki syahadat baru yang tidak lazim seperti umumnya, yaitu “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna al-Masih al-Ma’ud Rasul Allah” (Aku bersaksi bahwa tidak Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa al-Masih al-Ma’ud adalah Rasulullah).

Aliran ini tidak mewajibkan ritual-ritual keagamaan, seperti shalat, puasa, dan haji. Dengan argumentasi hijrah sebagaimana dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW, ritual-ritual semacam itu tidak wajib karena umat Islam masih dalam proses pembentukan menuju sebuah al-khilafah al-Islamiyah (khilafah Islam). Ajaran dari aliran ini yang juga terasa aneh adalah sistem “penebusan dosa” yang dilakukan melalui pembayaran sejumlah uang kepada al-Masih al-Ma’ud, yaitu pimpinan jamaah mereka (Kompas Cyber Media, 25/10/2007).

Aliran ini terbilang masih sangat baru karena berumur kurang dari satu setengah tahun. Jika dianalisis secara kritis, memang argumen-argumen aliran ini terlihat banyak yang janggal. Namun demikian, kita perlu juga menghargai pendapat dan argumen mereka, terlepas kita sendiri menganggap bahwa aliran mereka itu adalah keliru atau salah. Mengapa demikian? Karena kita hidup dalam sebuah negara yang demokratis dan menganut prinsip kebebasan beragama. Apapun perbedaan yang ada perlu disikapi dengan cara yang elegan dan santun. Adanya “kelompok lain” (the others) yang bukan termasuk dalam mainstream Islam, tidak lantas menyebabkan kita berlaku diskriminatif dan kemudian “melenyapkan” mereka di muka bumi ini. Tentu, ada proses di mana masing-masing pihak perlu saling belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri.

Apakah era kebebasan dapat dijadikan penyebab mengapa “aliran sesat” sekarang ini banyak bermunculan? Jika kebebasan kemudian dijadikan “kambing hitam”, maka rasanya tidak fair karena sebenarnya ada banyak faktor lain yang dapat kita anggap sebagai penyebab munculnya aliran sesat. Di antara sekian banyak faktor, rupanya faktor kekeliruan pemahaman keagamaan yang diyakini oleh penganut “aliran sesat” adalah sebagai faktor utamanya. Mereka tidak memahai Islam secara komprehensif, namun justru memilah dan memilih mana dasar rujukan keislaman yang menjadi pedoman pemahaman mereka selama ini. Proses semacam itu sangat boleh jadi lebih didasarkan atas kepentingan hawa nafsu semata. Oleh karenanya, aliran semacam itu perlu “dirangkul” untuk diajak berdiskusi bersama tentang bagaimana memahami ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, bukan justru dimusuhi atau dijauhi dengan cara-cara teror dan kekerasan.

Perlukah Cara Kekerasan?

Ketika isu-isu seputar “aliran sesat” menyeruak ke publik, dengan cepat organisasi sosial keagamaan, masyarakat luas, termasuk pihak pemerintah dan aparat keamanan sangat cepat merespon isu-isu ini dengan berbagai cara. Ada yang dengan cara mengeluarkan fatwa sesat, ada yang ingin langsung menyerang para pengikutnya, dan juga ada yang menangkap para pengikut itu dengan dalih pengamanan dan pemeriksaan.

Namun, yang disayangkan respon berlebihan justru akan menimbulkan kontraproduktif terhadap image Islam itu sendiri sebagai agama yang santun dan damai. Sebab, tidak sedikit dari repon-respon yang muncul itu lebih bernuansa kebencian, klaim kesesatan, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah eksesnya terhadap tindak kekerasan dan teror. Masyarakat umum yang awalnya hanya mengetahui bahwa aliran itu tidak sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya, kemudian ikut-ikutan terdorong untuk melakukan tindakan kekerasan.

Cara-cara kekerasan dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan, baik itu menurut agama, etika, maupun prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat sendiri tidak dapat disalahkan begitu saja karena mereka berbuat itu didorong oleh sejumlah faktor penyebab awalnya. Entah itu karena adanya fatwa, ekspos media massa yang amat berlebihan, atau pernyataan-pernyataan sejumlah organisasi sosial-keagamaan yang pada akhirnya ikut mempengaruhi pandangan sempit mereka menjadi seperti itu.

Jadi, kekerasan sama sekali bukan solusi. Sebagaimana dikemukakan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin bahwa jangan sampai ada penghakiman dan tindak kekerasan. Mereka justru perlu dirangkul agar mau kembali ke jalan yang benar (www.detik.com, 29/10/2007).

Departemen Agama telah membentuk tim kecil yang bertugas meneliti lebih lanjut tentang keberadaan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah. Menurut Dirjen Bimbaga Islam, Nasaruddin Umar, pemerintah tidak boleh gegabah dalam menyikapi kasus ini. Oleh karenanya, perlu dibentuk tim kecil untuk meneliti aliran itu. Hasil dari penelitian tim kecil ini akan menjadi bahan acuan Depag untuk membuat rekomendasi tentang status aliran al-Qiayadah al-Islamiyah yang kemudian diteruskan kepada pihak Kejaksaan Agung dan Kepolisian (www.antara.co.id).

Kedepankan Dialog

Salah satu cara yang yang cukup elegan untuk mengatasi kasus “aliran sesat” agama adalah dengan melakukan kegiatan dialog, diskusi, atau debat publik. Melalui kegiatan semacam ini nantinya pemimpin dan pengikut “aliran sesat” al-Qiyadah al-Islamiyah akan dihadapkan pada pengujian terhadap argumentasi pemahaman keagamaan mereka selama ini. Jika ajaran dan pemahaman yang selama ini mereka pahami dan yakini ternyata keliru, maka mau tak mau akan ada proses “penyadaran” secara sendirinya.

Aliran-aliran semacam itu tidak perlu disikapi secara “panas” terlebih dahulu, baik melalui keputusan dan pernyataan sesat oleh sejumlah organisasi sosial-keagamaan atau melalui penangkapan terhadap sejumlah pengikut dan pimpinan jamaahnya. Mereka perlu diajak berdialog terlebih dahulu.

Dengan digelarkan berbagai dialog, diskusi, atau debat antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan kasus “aliran sesat” ini, maka diharapkan nantinya tidak muncul lagi aksi-aksi kekerasan yang tidak bertanggung jawab. Setiap kali ada isu bahwa aliran A atau B itu sesat, sudah sebaiknya isu ini tidak dilempar ke publik terlebih dahulu. Namun, pihak-pihak yang secara langsung berkepentingan dengan masalah ini, seperti Depag dan MUI, perlu melakukan dialog, diskusi, atau debat dengan aliran yang dianggap “sesat” itu. Hingga pada akhirnya biarlah “konsensus publik” yang akan menilai apakah aliran ini-itu sesat atau tidak.

Tentunya, cara di atas akan terasa efektif karena masyarakat juga akan mendapat pencerahan bahwa kita perlu bersikap santun dan bijak dalam menghadapi aliran-aliran yang cenderung dianggap “sesat” oleh kelompok atau organisasi lain. Proses dialog adalah bagian dari spirit demokratisasi yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam kehidupan keberagamaan kita di tanah air. Kapan lagi masyarakat kita dicerahkan melalui dialog dengan penuh keterbukaan, bukan klaim sesat semata? Wallahu A’lam.

Friday, November 2, 2007

Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI)

MelayuOnline.com - Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Yogyakarta

Mengadakan Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional

“Pandangan Politik Orang Melayu”


MelayuOnline.com memaknai istilah Melayu sebagai kultur yang melampaui sekat-sekat identitas berdasarkan kesukuan, etnisitas, ataupun entitas budaya dalam pengertian yang sempit. Ajaran dan budaya Melayu tidak lengkang meski telah dan masih berjalan dalam rentang waktu dan sejarah yang begitu panjang. Melayu bisa menjadi sumber pengetahuan untuk membangun konsep dan praktek politik yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab.

Situasi politik di tanah air akhir-akhir ini menggugah kita untuk memikirkan kembali bagaimanakah sebuah pandangan politik yang bisa disebut etis dan bertanggung jawab. Kondisi politik aktual menarik untuk dicermati melalui sudut pandang kemelayuan dan orang Melayu, mengingat kandungan khazanah Melayu yang begitu luas. Pemikiran, tradisi, dan etika kekuasaan terekam dalam teks-teks dan berbagai khazanah tradisi Melayu klasik.

Melalui lomba karya tulis ini, diharapkan nantinya akan muncul pandangan-pandangan menarik yang meneropong bagaimana potret politik dalam tradisi Melayu. Isi karya tulis ilmiah diharapkan mengandung gagasan yang inovatif dan memberikan sumbangan, baik secara konseptual terhadap wacana politik Melayu maupun secara aktual dalam praktek kehidupan politik nasional. Di samping itu penilaian akan mempertimbangkan keluwesan bahasa, kekuatan analisis, dan kesesuaian isi dengan tema lomba.

Ketentuan-ketentuan Lomba

A. Tema: “Pandangan Politik Orang Melayu” ini mencakup:

1. Etika Politik Melayu; misalnya perilaku politik para raja atau sultannya, hubungan antara Islam, politik, dan Melayu, dan sebagainya.
2. Pandangan tentang perempuan dalam politik Melayu; misalnya peran, kedudukan, dan partisipasi perempuan dalam politik Melayu.
3. Bahasa Melayu dan Politik Kebangsaan: Sudut Pandang Antropolinguistik; misalnya sejarah pembentukan bahasa nasional, serta hubungan antara Bahasa Melayu dan Politik Kebangsaan.

B. Syarat-syarat keikut-sertaan:

1. Lomba hanya dapat diikuti oleh minimal mahasiswa D1, staf pengajar, peneliti, dan aktivis.
2. Peserta dapat mengirimkan lebih dari satu naskah karya tulis.
3. Menyertakan pernyataan bahwa naskah karya tulis adalah asli bukan jiplakan/saduran/terjemahan, belum pernah diikutsertakan dalam lomba sejenis dan belum pernah dimuat di media massa atau jurnal ilmiah.
4. Menyertakan fotocopy KTP/SIM atau tanda pengenal lainnya yang masih
berlaku.
5. Menyertakan daftar riwayat hidup singkat.
6. Peserta dengan persyaratan yang tidak lengkap tidak akan diseleksi.

C. Format Karya Tulis:

1. Menggunakan kaidah-kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
2. Karya tulis dibuat dalam format kertas ukuran A4, spasi 1,5, memakai huruf Arial (11) atau Times New Roman (12).
3. Panjang karya tulis berkisar antara 3500-4500 kata.
4. Mencantumkan halaman di sudut kanan bawah.
5. Karya tulis dikirim rangkap empat, satu di antaranya harus asli bukan tindasan.
6. Untuk menjaga obyektivitas penilaian juri, nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah (lembar pertama).

D. Hadiah Pemenang:

Juara I : Rp. 5.000.000,00 dan tropi Gubernur Provinsi Riau
Juara II : Rp. 3.000.000,00 dan tropi Ketua DPRD Riau
Juara III : Rp. 2.000.000,00 dan tropi BKPBM
Juara Harapan I : Rp. 1.500.000,00
Juara Harapan II : Rp. 1.000.000,00
Juara Harapan III : Rp. 500.000,00

E. Pengumpulan Naskah Karya Tulis:

1. Pengiriman via pos:

Print out dan CD (dalam format Microsoft Word) beserta seluruh kelengkapan syaratnya dapat dikirimkan ke:
Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Jl. Gambiran 85A, Yogyakarta 55161, Telp (0274) 414233.
Batas akhir penerimaan naskah tanggal 15 Desember 2007 (cap pos dan paling lambat sampai di pihak panitia tanggal 17 Desember 2007 untuk pengiriman via pos).

2. Pengiriman via email:

Naskah beserta seluruh kelengkapan syaratnya (attachment KTP, Surat Pernyataan, dan CV) dapat dikirimkan ke lkti@melayuonline.com

F. Hal lain:

1. Pemenang akan dihubungi melalui pos atau email, atau dapat pula dilihat pada website: http://www.melayuonline.com.
2. Semua karya tulis yang masuk tidak akan dikembalikan dan hanya karya tulis yang mendapat penghargaan yang menjadi hak panitia.
3. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.
4. Peserta yang dinyatakan menang akan diundang sebagai peserta acara Milad Perdana MelOn pada tanggal 20 Januari 2008.
5. Untuk keterangan lebih lanjut lihat di www.melayuonline.com