Menuju Islam Humanis

Selamat datang di blog ini...Sebuah blog pribadi yang berisi tulisan, pemikiran, dan refleksi seputar membangun peradaban Islam dan peradaban dunia yang humanis.

Sunday, August 19, 2007

Etika Sosial dalam Islam

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Jurnal FAI Universitas Islam '45 (UNISMA) Bekasi, Edisi November 2005.

Islam adalah agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan praksis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problem sosial yang ada dalam masyarakat. Tulisan ini membahas persoalan etika sosial dalam Islam. Sekiranya, persoalan etika adalah tema penting yang menarik untuk diperbincangkan.

Apalagi, tema tentang etika menjadi bahasan penting dalam wacana pemikiran filsafat kontemporer. Namun, pembicaraan tentang etika kurang begitu berkembang dalam Islam. Justru yang berkembang adalah kajian tentang moralitas melalui sudut pandang fiqih Islam. Moralitas yang menjadi obyek kajian etika Islam masih berbicara seputar etika secara individual, yaitu bagaimana memperbaiki diri dan kepribadian dalam bekata, bersikap, dan berbuat. Sedang etika sosialnya masih kurang mendapat tempat yang luas dalam kajian Islam.

Pengertian Etika

Istilah “etika” dan “moralitas” adalah dua istilah yang hampir mirip, namun sesungguhnya berbeda. Kata “etika” berasal dari kata Yunani yang dipakai untuk pengertian karakter pribadi, sedangkan “moral” berasal dari kata Latin untuk kebiasaan sosial.1 Akantetapi, dalam tulisan ini saya tidak memisahkan pengertian dua istilah tersebut. Saya lebih suka menggunakan istilah “etika” karena lebih bermakna ilmiah.

Etika memiliki pengertian bahwa manusia diharapkan mampu mengatasi sifat-sifat jahatnya dan mengembangkan sifat-sifat baik dalam dirinya. Paul Foulquie mendefinisikan etika sebagai “aturan kebiasaan, yang apabila ditaati dan dipatuhi, akan mengantarkan manusia meraih segenap tujuannya”.2 Biasanya etika sangat terkait dengan persoalan-persoalan bagaimana meraih kebahagiaan dalam diri manusia. Kita sering mendengar istilah “etika kebahagiaan”.

Ada tiga jenis etika, yaitu: etika deskriptif, etika normatif, dan meta-etika. Etika deskriptif adalah sebuah kajian empiris atas berbagai aturan dan kebiasaan moral seorang individu, sebuah kelompok atau masyarakat, agama tertentu, atau sejenisnya. Etika normatif mengkaji dan menela’ah teori-teori moral tentang kebenaran dan kesalahan. Sedang meta-etika atau etika analitis tidak berkaitan fakta-fakta empiris atau historis, dan juga tidak melakukan penilaian evaluasi atau normatif. Meta-etika lebih suka mengkaji persoalan-persoalan etika, seperti pertanyaan: apa makna dari penggunaan ungkapan “benar” atau “salah”?3

Ketika kita berbicara tentang agama dan moralitas, tentu akan timbul sebuah pertanyaan penting tentang hubungan keduanya, yaitu: apakah moralitas mengandaikan agama? Seringkali kita menyamakan persepsi tentang agama dan moralitas. Banyak orang beragama memandang kaidah-kaidah moralitas itu berkaitan erat dengan agama, dan dianggap bahwa tidak mungkin orang yang sungguh-sungguh bermoral tanpa agama. Seringkali dianggap pula bahwa orang yang bermoral pasti memegang teguh keyakinan agamanya. Demikian hal sebaliknya, orang yang beragama sering dianggap pasti mengarah pada tujuan-tujuan moralitas. Padahal, kedua terma tersebut belum tentu sepenuhnya mengandung pengertian yang sama.

Ada tiga alasan mengapa kebanyakan orang menganggap pengertian di atas: (1) moralitas pada hakikatnya bersangkut paut pada persoalan bagaimana manusia itu bisa hidup dengan baik; (2) agama merupakan salah satu pranata kehidupan manusia yang paling kuno; dan (3) dalam praktek keberagamaan ada kepercayaan bahwa Tuhan akan memberikan pahala kepada orang yang baik dan menjatuhkan hukuman bagi orang yang jahat, sehingga secara psikologis agama dapat menjadi penjamin yang kuat bagi hidup yang bermoral.4

Alangkah baiknya, bila pemahaman kita mengarah pada pengertian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan atas agama. Memang, secara psikologis agama dapat saja dan secara faktual memang tidak jarang mendorong manusia untuk hidup bermoral, sesuai dengan kaidah-kaidah moralitas. Demikian pula, dalam kenyataannya orang yang beragama dengan benar-benar akan membuahkan hidup bermoral yang baik. Menurut J. Sudarminta, walaupun logika di atas bisa dipahami, tapi sesungguhnya prinsip-prinsip dasar moralitas dapat pula dikenali dan dipraktikkan oleh manusia yang tidak beragama yang menggunakan pemikiran atau akal budinya.5 Bahkan, kita pun sebenarnya sering melihat perilaku orang yang mengaku beragama tapi perbuatannya sering tidak mengindahkan kaidah-kaidah moral yang diajarkan dalam agama itu sendiri.

Islam Agama Moral

Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan kebenaran” untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Memahami Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas, yaitu bagaimana usaha kita menjadikan Islam sebagai panduan moral yang murni.

Menurut Mahmud Ayyoub, Islam hadir ke dalam sebuah masyarakat diatur melalui prinsip-prinsip moral yang tidak didasarkan oleh iman terhadap kekuasaan Tuhan, melainkan didasarkan pada adat yang dihormati sehingga mampu membentuk nilai-nilai masyarakat dan struktur moralnya. Islam sangat mempertegas nilai-nilai kebaikan moral, seperti kesabaran, keramahtamahan, dan kejujuran, yang itu tidak saja ditujukan kepada keluarga terdekat, tapi juga bagi seluruh umat manusia, baik bagi anak yatim, orang miskin, dan sebagainya.6

Memahami Islam dengan kandungan ajaran moralitasnya perlu dilacak secara historis bagaimana konstruksi bangunan pemikiran Islam ketika Nabi Muhammad mengembangkan Islam pada saat itu. Hal ini penting agar kita mampu menangkap pesan-pesan moralitas Islam dengan baik. Karena, oleh sebagian besar masyarakat Muslim, konstruksi pemahaman tentang Islam selalu dirujuk pada produk aturan syariat yang didirikan Nabi pada saat beliau sudah menetap di kota Madinah. Kita sering melupakan prosesi sejarah di mana Islam sebenarnya terkonstruksi melalui sebuah proses yang bertahap dan disesuaikan dengan konteks zaman pada saat itu.

Mahmud Muhammad Thaha, pemikir Islam asal Sudan, yang merupakan guru dari Abdullahi Ahmed An-Naim, memberikan perspektif baru dalam melihat Islam dan produk syariatnya. Beliau membagi Islam pada dua periodesasi, yaitu periode Mekkah (610-622 M) yang disebut dengan “ar-risalah al-ula” (the first message-Misi Pertama) dan periode Madinah (622-632 M) yang disebut dengan “ar-risalah ats-tsaniyah” (the second message-Misi Kedua).7

Karakter Islam yang terbangun dalam Misi Pertama adalah ajaran-ajaran yang bernuansa universal, substantif, penuh dengan semangat perlindungan HAM, semangat egaliter, dan bercirikan sistem yang demokratis. Sedangkan Islam pada masa Misi Kedua sudah menjadi bangunan keislaman yang cenderung mapan, berorientasi penuh ke dalam (in wordly), dan penuh dengan aturan-aturan “syariat” kolektif.

Nabi Muhammad SAW adalah utusan bagi Misi Pertama dan juga diutus untuk Misi Kedua. Allah telah menjelaskan secara detil Misi Pertama dan memberikan secara global Misi Kedua. Untuk memahami Misi Kedua secara terinci dibutuhkan pemahaman baru terhadap al-Qur’an. Namun, Thaha memberikan catatan bahwa pada dasarnya al-Qur’an itu tidak mungkin dijelaskan secara final. Islam tidak mungkin selesai. Perjalanan Islam adalah perjalanan secara terus-menerus, tidak mengenal akhir dari proses pencarian. Oleh karena itu, menjalankan al-Qur’an dalam bingkai Islam berarti melakukan perjalanan menuju Allah secara terus-menerus. Agar bisa menangkap pesan wahyu dan realitas yang tengah diamati maka perlu menyertakan upaya kontekstualiasi pemaknaan secara dinamis.

Melalui penjelasan Thaha tersebut kita bisa memahami bahwa ajaran-ajaran moral atau etika Islam sebagian besar telah ada dalam konstruksi Islam pada masa Mekkah.

Etika Islam: Asy’ariyah vs Mu’tazilah

Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok.8 Perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah menghiasi sejarah pemikiran Islam.

Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif, bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah.9 Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.10

Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini. Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akantetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.

Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.11

Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia.12

Amin Abdullah melakukan kajian perbandingan tentang filsafat etika al-Ghazali dan Immanuel Kant, sebagai dua tokoh intelektual representatif dari kalangan Muslim dan Kristiani. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.

Pemikiran etika Islam yang dibangun dengan sistem berpikir rasional adalah madzhab Mu’tazilah. Madzhab ini sering disebut sebagai madzhab rasionalisme dalam pemikiran Islam. Kalangan Mu’tazilah membuktikan kepercayaan-kepercayaan yang hanya diterima lewat perantaraan wahyu dengan argumen-argumen rasional, tapi juga mempercayai akal sebagai pemecah segala persoalan. Misalnya, ketika teks agama bertentangan dengan akal manusia, maka menurut kalangan Mu’tazilah kita harus berpihak pada akal, dan teks agama itu harus ditafsirkan.

Menurut Mu’tazilah, syariat yang mengajarkan tentang etika, seperti perbuatan baik, harus ditundukkan di bawah kendali akal. Alasannya, wahyu tidak menetapkan nilai tertentu pada sebuah perbuatan baik. Wahyu hanya mengabarkan adanya nilai perbuatan itu, tapi akal-lah yang membuktikan baik-buruknya sebuah perbuatan.13 Jelas terlihat bahwa Mu’tazilah mengembalikan hukum-hukum etika pada prinsip-prinsip rasionalitas.

Madzhab Mu’tazilah sangat mementingkan peran akal karena Tuhan memberikan akal pikiran kepada manusia agar ia mau berpikir. Dengan diberikannya akal ini, manusia mampu menentukan perbuatan, karena ia berkuasa. Manusia dapat memilih mana perbuatan yang baik dan taat kepada Tuhan dengan akal pikirannya. Jadi, akal-lah yang membimbing manusia dalam kehidupan praktisnya.

Keadilan dan Kebebasan

Etika sosial Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika sosial Islam adalah sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur.

Bagi madzhab Mu’tazilah, keadilan adalah asas etika. Keadilan Tuhan adalah salah satu lima asas yang diyakini Mu’tazilah. Mereka kerap menerapkan asas keadilan sebelum asas tauhid, sehingga mereka sering disebut sebagai “ahl al-‘adl wa al-tauhid”. Dalam madzhab Mu’tazilah, ada korelasi antara asas keadilan dan asas tauhid. Bagi Mu’tazilah, tauhid adalah sifat terpenting dari zat Tuhan, sedang keadilan adalah sifat terpenting dari perbuatan Tuhan. Dengan pengertian keadilan seperti ini, maka ada relasi antara Tuhan dan manusia, sebuah relasi yang berbasis pada keadilan mutlak dari sisi Tuhan. Mu’tazilah berkeyakinan bahwa seluruh yang dilakukan Tuhan sepenuhnya adalah adil.14

Definisi keadilan menurut Mu’tazilah, seperti dikutip al-Syahrastani, adalah “kebijaksanaan rasional untuk melakukan perbuatan secara benar dan berguna”. Sehingga, dalam pemikiran Mu’tazilah, akal mengharuskan segala perbuatan yang bersumber dari Tuhan dan yang berkaitan dengan manusia mukallaf, berdasarkan pada kebijaksanaan Tuhan dan mengandung maslahat bagi umat manusia.15 Pengertian keadilan menurut Mu’tazilah juga berarti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia.16 Dengan pengertian demikian, perbuatan manusia perlu didasarkan atas pertimbangan rasional, menuju pada keadilan, dan mengarah pada kepentingan manusia.

Etika sosial Islam juga harus menjamin adanya kebebasan individu. Menurut Mahmud Thaha, aturan dasar Islam adalah bahwa setiap orang bebas hingga secara praksis dia terlihat tidak mampu dalam menjalankan kebebasannya.17 Kebebasan itu harus diimbangi dengan keharusan menunaikan kewajiban, yaitu bagaimana menjalankan kebebasan secara baik. Jika tidak mampu menjalankan kebebasannya maka kewajibannya harus dicabut melalui “hukum”, dengan menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif.

Mengenai hubungan antara individu dan kelompok dalam Islam, Thaha menjelaskan dengan sangat menarik sekali. Islam menjadikan individu sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Individu diberi kebebasan sebagai pengampu moralitas. Kebutuhan individu terhadap kebebasan mutlak individualnya merupakan perpanjangan dari kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial yang menyeluruh. Islam menata masyarakat sebagai sarana untuk menuju kebebasan dengan landasan tauhid. Sehingga, syariat dijadikan “jalan dan metode” yang terbagi atas dua tingkatan, yaitu tingkatan individual yang berbentuk ibadah dan tingkatan kelompok yang dimanifestasikan dalam bentuk mu’amalah.18

Kebebasan dalam Islam adalah mutlak dan menjadi hak setiap individu sebagai manusia, tanpa memandang agama ataupun etnis, dan sebagainya. Undang-undang dalam Islam adalah suatu peraturan untuk menghubungkan antara kebutuhan individu dan kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial. Sehingga, yang menjadi dasar adalah syariat individual, bukan syariat kolektif. Titik pijakan utama adalah pada tingkatan kebebasan individual yang mempengaruhi keberadaan syariat pada tingkatan kolektif.19 Sehingga unsur dasar pada Misi Kedua adalah penerapan syariat secara dinamis, ada kemungkinan perubahan, dan mengalami proses perkembangan (organis). Syariat pada masa Madinah bersifat sangat dinamis, sedang syariat pada masa Mekkah bersifat universal dan substantif.

Jadi, jika kita mencoba memahami syariat (Islam) maka pijakannya yang utama pada masa Mekkah karena di sana kebebasan individual sangat diperhatikan. Istilahnya, Islam kafah (sempurna) adalah Islam pada masa periode Mekkah. Masa Madinah adalah “perpanjangan tangan” atas syariat pada masa Mekkah, yang tidak lantas kemudian me-nasakh (menghapus) syariat sebelumnya.

Penutup

Sebagai akhir dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan syariat kolektif.

Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas. Wallahu a’lam.

1Dikutip dalam Manhaz Heydarpoor, Wajah Cinta Islam dan Kristen, terj. M. Habib Wijaksana (Bandung: Arasy Mizan, 2004), hal. 31.
2Sebagaimana dikutip ibid., hal. 32.
3Ibid., hal. 32-34.
4J. Sudarminta, Etika Umum (Diktat Kuliah), (Jakarta: STF Driyarkara, 2001), hal. 12.
5Ibid., hal. 13.
6Mahmoud M. Ayyoub, The Crisis of Muslim History, terj. Munir A. Mun’im, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 33
7Lihat Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003).
8Asumsi ini dikemukakan oleh Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiuddin Baidhawy (Surakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Universitas Muhammadiyah, 1983).
9Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Musa Kadhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), hal. 127.
10 Ibid., hal. 128.
11Selengkapnya bisa lihat M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 137-138.
12Ibid., hal. 143.
13Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika, terj. Yunan Askaruzzaman (Jakarta: Serambi, 2001), hal. 43.
14Ibid., hal. 44-45.
15Ibid., hal. 46.
16Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), cet. v, hal. 125.
17Mahmud Muhammad Thaha, op. cit., hal. 155.
18Ibid., hal. 50-52.
19Ibid., hal. 53.

Wednesday, August 15, 2007

Islam dan Pesan Kemanusiaan

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, 26 Januari 2004.

Sejumlah kasus terorisme “berbaju agama” menjadi pelajaran penting bagi kita. Stereotip yang muncul adalah bahwa kejadian itu dilakukan oleh orang-orang yang “beragama” dan menggunakan identitas keagamaan(?) Apakah memang demikian sejatinya fungsi dan peran agama? Kenyataannya, Islam tidaklah mengajarkan kekerasan dan berbagai bentuk penindasan yang jelas-jelas “membunuh” rasa kemanusiaan. Fenomena kekerasan atau radikalisme agama telah menggerus citra positif agama.

Agama hadir di muka bumi untuk memenuhi panggilan kemanusiaan bagi kehidupan ini sehingga penampilannya pada sisi keadilan, perdamian, dan anti-kekerasan menjadi harapan besar. Pemahaman agama sudah semestinya direintepretasi dengan pembacaan yang lebih humanistik, pluralistik, dan emansipatif. Pemahaman teks agama yang kaku, rigid, hitam-putih, dan tektualistik, akan cenderung mengarahkan pada kemungkinan terjadinya tindak kekerasan, klaim-klaim kebenaran, dan sikap anti-pluralisme.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum “teroris berbaju agama” --jika memang itu benar-benar dilakukan oleh mereka-- menunjukkan sebuah sikap keagamaan yang cenderung “eskatalogis” (kehidupan setelah mati). Memaknai dan mengamalkan agama sebatas untuk pencapaian “kebahagiaan” di hari kelak, tanpa mau melihat kenyataan hidup hari ini secara lebih terbuka. Problemnya adalah pada pemahaman agama yang sempit, dan pada gilirannya “dioperasionalisasikan” untuk mengejar akhirat tanpa mau melihat realitas dunia secara obyektif. Sehingga, ekses negatif yang tidak diperhatikan itu malah menggelapkan raut wajah agama.

Demikian pula, pemahaman agama bagi kebanyakan umat Islam selalu mengandaikan pada “teosentrisme” --sebagai titik awal dan akhir pijakan dalam memaknai agama. “Agama” dan “Tuhan” menjadi dua term yang menyatu. Ketika kita memahami agama, ada kecenderungan bahwa pemahaman itu adalah mutlak menurut apa yang maksudkan Tuhan kepada kita. Teks-teks agama dianggap sebagai kata-kata Tuhan yang dirasa sudah jelas dan pasti sehingga tidak perlu lagi ada pemahaman kontekstual.

Pemahaman yang Dinamis

Pada dasarnya, pemahaman agama yang kita yakini kebenarannya itu masih berupa tafsiran yang relatif karena masih “dibenturkan” dengan pluralitas pemikiran manusia lainnya. Alangkah baiknya, agama itu dimaknai sebagai “jalan dan petunjuk yang mengarahkan pada sebuah kebenaran” (syir’atan wa minhajan) bagi umat beragama untuk memahami kehidupan ini dengan tetap di bawah tuntunan ajaran ilahi --melalui proses “kontekstualisasi” dan “dinamisasi” yang tiada henti.

Makna agama terbagi dua, ada yang bersifat “melangit” (normatif) dan ada yang sudah “membumi” (historis). Yang pertama adalah “penterjemahan” agama sebagai ajaran Tuhan yang transenden; ditujukan sebagai bentuk penghambaan secara personal, vertikal, dan teosentrik. Ibadah ritual dan umumnya syariat merupakan bentuk penghayatan dan pengamalan agama dengan orientasi pada Tuhan sebagai bentuk penyembahan secara individual. Tapi, dalam sifat transedensi ini tidak terjadi keterputusan dengan sifat yang kedua, yaitu proses “imanensi”. Perlu upaya pembumian (transformasi) makna agama yang masih melangit menjadi membumi (down to earth). Sehingga, fungsi agama itu bisa menyejarah. Umat beragama bisa menghubungkan tradisi agama yang diyakininya dengan realitas kekinian yang sedang dihadapinya.

Maka, terbukalah ruang bagi manusia untuk secara aktif dan kreatif melakukan kegiatan duniawi secara rasional dengan tidak melepaskan dari substansi agama. Pembumian inilah yang memberikan jalan pada proses “humanisasi agama” (to humanize religion). Agama hadir untuk memenuhi kebaikan hidup buat umat manusia. Beragama, di samping berorientasi pada Tuhan (teosentrik), tapi juga mengarah pada kemanusiaan (antroposentrik) karena Tuhan selalu hadir (omnipresent) dalam kehidupan ini. Dalam agama dan manusia terjadi dialektika di mana manusia diberikan kebebasan untuk menjalani kehidupannya dengan jalan membumikan ajarannya dalam ranah sosial dan kemanusiaan.

Sudah saatnya, kita mencoba merumuskan kembali sebuah gagasan tentang paradigma agama yang berorientasi pada cita-cita kemanusiaan, perdamaian, dan anti-kekerasan. Gagasan “Islam Humanis” menjadi sangat relevan untuk dieksplorasi secara lebih mendalam. Penulis beranggapan bahwa agama tidak anti terhadap kemanusiaan hanya disebabkan gara-gara dicurigai ada proses “devaluasi agama” yang terjadi akibat merebaknya fenomena kekerasan (radikalisme) dan terorisme atas nama agama, dan juga merebaknya bentuk “politisasi agama” yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politis.

Mengusung Rasionalitas

Secara historis, Humanisme memang awalnya muncul di Barat yaitu pada Abad Pencerahan (Aufklarung) di mana agama “digerogoti” dan dikeluarkan dari ring wacana keilmuan dan kehidupan keduniawiaan. Saat itulah periode sekularisasi berlangsung, sebagai lawan terhadap otoritas gereja yang mendominasi atas kebebasan manusia lewat penancapan agama ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia. Terjadi “pemasungan” atas kemanusiaan. Apa yang terjadi di Barat tentunya berbeda dengan apa yang terjadi di Islam. Penulis yakin bahwa Islam memiliki pondasi kuat tentang humanisme. Persoalannya adalah terletak pada penafsiran agama yang harus direintepretasi menjadi lebih bersifat humanis.

Fungsi agama bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan. Agama harus memperhatikan manusia sebagai subyek dan obyek perubahan, keadilan, dan perdamaian. Apa yang menjadi kebutuhan manusia (masyarakat) adalah tujuan dan pembelaan agama. Secara transedental, bisa saja pengamalan agama diperuntukkan pada Tuhan, tapi jangan dilupakan bahwa dalam agama juga terkandung dimensi horisontal, imanental, dan humanistik, yaitu “beragama adalah untuk manusia”. Agama yang antroposentris --sebagai pijakan Islam humanis-- akan membuka ruang bagi kebebasan manusia untuk mengkonstruk fungsi agama sebagai “agen perubahan” (social change) menuju kemanusiaan dan perdamaian.

Akhirnya, untuk memahami teks agar berjiwa humanis maka “rasionalitas” (‘uquliyah) menjadi “kebutuhan sejarah” (historical necessity) bagi upaya humanisasi agama. Bagi kebanyakan kelompok agama yang sering dicap “fundamentalis” dan “radikalis”, mereka memahami agama tidak perlu dengan pendekatan yang agak rasional. Padahal, dengan pendekatan yang demikian kita bisa membaca teks dan realitas secara obyektif. Syariat, yang sering diposisikan sebagai domain wacana agama juga mesti ditafsirkan secara rasional; menurut ukuran kemanusiaan dan konteks historisnya. Pendekatan rasionalitas dalam filsafat bisa membantu dalam pembacaan agama yang humanistik.

Ketika sebuah teks ternyata berbenturan dengan realitas, dalam pengertian bahwa teks itu justru malah mengafirmasi kemungkinan terjadinya sikap “anti-kemanusiaan” maka teks harus didialogkan, dan akhirnya ada “tawar-menawar” dalam memahami teks. Terjadi dialektika atau dialog antara teks (wahyu) dengan kebudayaan masyarakat pada saat proses penurunan ayat-ayat Al-Qur’an. Dan untuk saat ini, artinya teks itu dikomunikasikan dengan konteks masyarakat masa kini. Bahasa dalam teks Al-Qur’an merupakan penulisan atas realitas-empirik yang terjadi pada lingkup budaya dan antroposentris. Sehingga, jika terjadi benturan antara teks normatif dengan realitas kemanusiaan maka untuk menghubungkan keduanya perlu menggunakan pendekatan hermeneutika (ta’wil) agar makna yang tersembunyi di balik bungkusan teks itu bisa dipahami.

Pendekatan rasional (nalar) harus berimplikasi pada pemaknaan yang berorientasi kemanusiaan. Bukan dimaksudkan sebagai nalar an sich, tapi nalar yang beroperasi pada struktur kemanusiaan. Sehingga, ruh dalam gagasan Islam humanis harus mengandung ajaran yang memiliki semangat “kesadaran pembebasan”. Teks yang dipahami secara rasional ditujukan untuk memproduksi makna yang mengandung nilai pembebasan terhadap umat manusia. Jadi, Islam yang kita harapkan adalah Islam yang “membebaskan”, bukan Islam yang “menakutkan”.

Islam tidak menghendaki kekerasan bercengkerama di muka bumi ini. Islam sangat berwajah humanis. Dan mayoritas kelompok Islam tidak mengehendaki adanya kekerasan, bahkan mengutuk kekerasan sebagai sebuah sikap anti-kemanusiaan. Dan saatnya kini kita merenungi kembali hakikat keberagamaan kita selama ini. Islam hadir sebagai penyeru bagi terciptanya kedamaian dan kesejahteraan umat manusia karena Islam memang hadir sebagai rahmat bagi seluruh sekalian alam. Wallahu A’lam bish-Shawab.

Agama dan Tantangan Modernitas

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Republika, Selasa, 07 Oktober 2003.

Agama "ditantang" untuk bisa hidup secara eksistensial. Agama pun diharapkan memiliki signifikansi moral dan kemanusiaan bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Secara realistik, tugas semacam itu masih dibenturkan dengan adanya kehadiran modernitas yang terus-menerus berubah dan menari-nari di atas pusaran dunia sehingga menimbulkan gesekan bagi agama.

Dalam penampakan dunia yang sangat kompleks ini, peran agama tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehidupan yang sangat dinamis ini merupakan realitas yang tidak bisa dihindarkan dan perlu direspon dalam konstruksi pemahaman agama yang dinamis pula.

Tarik-menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih hangat untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama itu bertolak belakang dengan modernitas.

Munculnya gerakan "otentisisme Islam" dan "universalisme Islam" adalah salah satu fenomena yang katanya dianggap bisa "melawan" modernitas. Tapi, kecenderungannya malah memahami agama baru sebatas normativitas saja. Mereka kurang bisa mengapresiasi ajaran agama pada sisi historisitas. Modernitas merupakan bagian dari proses sejarah dunia dan umat manusia.

Keterpurukan kondisi umat manusia bukan hanya disebabkan karena "penyalahgunaan" peran agama oleh penganutnya saja, tapi yang tak kalah hebat juga dikarenakan pengaruh sisi negatif yang dihasilkan modernitas. Isu seperti tantangan globalisasi, kerusakan lingkungan hidup, penindasan HAM, adalah beberapa bukti bahwa modernitas perlu diantisipasi secara kritis.

Dalam menanggapinya, kita jangan malah menentangnya secara frontal, tapi memilah dan memilih mana bagian dari modernitas yang baik dan mana yang tidak, dan disertai dengan adanya upaya pembaruan pemahaman ajaran agama agar bisa berperan secara signifikan.

Klaim-klaim universalitas dan otentisitas yang diusung beberapa kalangan Muslim sebenarnya memendam banyak "kerancuan" makna. Apakah Islam yang selama ini kita pahami sudah bisa dianggap sebagai agama yang mapan, abadi, final, dan tidak bisa diubah pemahamannya?

Kenapa kita tidak bersedia melihatnya secara "dualitas", yaitu bahwa ada ajaran yang normatif dan ada pula ajaran yang sudah membumi dalam konteks historis? Beragama itu adalah sebuah "proses" untuk selalu memahami, menafsirkan, dan menerjemahkan apa yang dimaksud oleh Tuhan yang terangkum dalam sumber ajaran-Nya, tanpa mengenal akhir dari sebuah pencarian.

Selama ini agama dipahami sebagai "organized religion", yaitu agama yang terorganisir sehingga menjadi mapan dan dikonstruk secara menyeluruh, yang kemudian menyebabkan keberadaannya "mengurusi" segala hal yang dihadapi manusia. Agama ini, meminjam kerangka postmodernisme, bisa jadi mengarah pada "narasi besar" grand narrative yang mengukung apa-apa yang menjadi bagian dari kehidupan umat manusia.

Ada kesan bahwa para penganutnya hanya diminta untuk menerapkan secara penuh dan langsung apa yang telah menjadi ajaran (normatif) agama. Agar bisa dikomunikasikan dengan realitas perubahan zaman dan kenyataan historis umat manusia, maka perlu ada penafsiran ulang (reintepretasi) terhadap pemahaman agama dan juga mentransformasikan seluruh nilai-nilai substansialnya ke dalam realitas sosial. Dan juga ada dimensi pembebasan atau emansipasinya.

Nashr Hamid Abu Zayd, dalam kitab Mafhumun-Nash: Dirasah fi 'Ulumil Qur'an (1990), menyebut bahwa Al-Quran adalah "teks kebudayaan" muntaj tsaqafiyun. Ia adalah sebuah teks rujukan keagamaan Islam yang sangat lentur dan dinamis.

Dikatakan demikian, karena kenyataannya bahwa ketika Al-Quran diturunkan itu tidak terlepas dari konteks historisnya. Perekaman sejarah yang dilakukan dalam bentuk ayat-ayat itu adalah bentuk "dialogisasi" atau dialektika antara teks dan realitas, antara teks dan kebudayaan.

Jadi, tidak semata-mata bahwa Tuhan menghendaki teks "A" lalu Nabi hanya menerima begitu saja. Nabi pun tidak lepas dari bagaimana beliau menerjemahkan teks itu ke dalam kenyataan sosial pada saat itu. Jika problemnya adalah bahwa teks ternyata justru "mendukung" adanya ketidakmanusiawiaan pengamalan hukum dan ajarannya, maka usaha kita adalah harus menafsirkannya secara kontekstual.

Pemahaman agama tidak menghendaki adanya "finalisasi" gagasan dalam memahami makna agama. Istilahnya bisa disebut dengan "unfinished religion". Artinya kebenaran yang terkandung di dalamnya masih bermakna relatif. Yang absolut adalah Tuhan itu sendiri. Penyertaan lokalitas dan kontekstualisasi perlu diapresiasi dalam menghadirkan agama yang positif dan dinamis sehingga pemahamannya tidak final, alias berproses.

Pemahaman kita mengenai agama haruslah dinamis. Untuk memahaminya perlu menggunakan "akal kreatif" di mana rasionalitas ternyata bisa membantu dalam pencarian kebenaran sebuah agama seperti dikatakan Ibnu Rusyd. Sebagai sebuah "instrumen", kebenaran yang dihasilkan dengan akal tentunya masih bersifat relatif dan pemahaman yang dihasilkannya pun juga bisa relatif.

Tapi, yang jelas dengan adanya kebebasan berfikir manusia dituntut mampu memahami agama menurut keyakinan dan usaha ijtihadnya. Sesungguhnya agama itu terkait dengan ragam kontruksi penafsiran manusia, ketika konteks berubah maka pemahamannya pun bisa berubah.

Agama dalam pengertian normatif mengandung makna konteks individual seseorang, di mana beragama adalah hubungan antara Tuhan dan manusia. Tapi, agama yang tidak bisa terlepas dari konteks historis-sosiologis, yaitu sebagai agama yang menyejarah ini, maka memungkinkan bagi manusia untuk memahaminya dalam konteks bagaimana agama itu dipahami pada suatu saat (kekinian) dan pada suatu tempat (kedisinian). Sehingga, pemahaman yang dilekatkan pada agama ini menjadi sangat dinamis.

Klaim universalitas dan otentisitas (Islam) yang sering kita pahami hanya melihat pada sisi normativitasnya saja, tapi belum bisa menyejarah menyertai perubahan dan kemajuan zaman. Dalam konteks historis, sisi partikularitasnya perlu dilihat juga, yaitu bahwa ada dimensi di mana agama hanya ditafsirkan secara substansial, atau ultimate value dan ratio-legis-nya yang seharusnya lebih dikedepankan. Dengan begitu, pemaknaan terhadap teks agama akan melebur pada situasi di mana konteks dan realitas yang melingkupi kehidupan manusia menjadi sangat diperhitungkan.

Di tengah pluralitas umat manusia yang sangat majemuk dan pemahaman manusia yang sangat beragam, maka sudah saatnya kita melepaskan diri dari pemahaman keagamaan yang sempit. Kini, kita beragama secara berproses untuk terus-menerus memahami apa yang terkandung dalam teks dengan melihat pada perubahan realitas yang sangat dinamis.

Maka, dimungkinkan bagi agama untuk mampu berdialog dengan segala macam perubahan zaman. Itu semua terletak pada bagaimana diri kita sebagai penganut agama mau berpikir secara rasional dan kritis dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Perlu ada pembaruan wacana agama yang dihubungkan dengan konteks kekinian (historisitas) dan kedisinian (lokalitas).

Pembacaan kritis terhadap agama dengan "merevitalisasi" tradisi turats akan mampu merespon tantangan modernitas. Agama dan modernitas bukanlah dua kutub yang selamanya akan selalu berlawanan, tapi akan terjadi ruang dialog dan kritik dalam menyikapi segala macam perubahan. Sehingga, agama tidak lagi dikata "mati" di tengah carut-marutnya dunia sehingga mampu menghadirkan dirinya di tengah-tengah berkecamuknya tarian modernitas saat ini.

Sumber: http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=142097&kat_id=16

Islam sebagai Produk Budaya

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, Jum’at, 14 November 2003.

Kelahiran agama sangat terkait dengan konstruksi budaya. Tekstualitas agama lebih mengafirmasi konteks sosial dan budaya yang tengah "bergumul" pada saat itu. Islam, sebagai salah satu agama monoteis (abrahamiyah), juga merupakan bentuk ajaran kehidupan yang lebih melihat kenyataan sosial, tidak hanya berupa turunan dari langit. Ketika Islam hadir ke muka bumi dan menyejarah secara totalitas, tidak ada lagi baju "sakralitas" di dalamnya. Islam sangat memahami kenyataan lokalitas budaya setempat dan historisitas proses pergumulan antara teks dan realitas.

Peradaban Arab-Islam adalah "peradaban teks". Teks menjadi rujukan penting dalam upaya memahami keduanya. Dan Al-Qur'an sendiri merupakan kumpulan teks yang menjadi acuan keberagamaan bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung pergolakan ilmiah dalam memahami pesan Tuhan, yang kemudian dihubungkan dengan realitas yang tengah terjadi pada saat pembentukan teks. Karena peradaban Islam adalah teks, maka perlu perangkat atau metodologi ilmiah untuk "membongkar" konstruksi nalar yang menjadi bagian penting di dalamnya.

Khalifah Umar al-Faruq pernah menyatakan, "Arab adalah bahan baku Islam", atau artinya, bangsa Arab adalah materi bagi pembentukan Islam. Peryataan Umar itu kemudian banyak dipahami, seperti Thaha Husain, yaitu dalam konteks militerisme Islam pada saat itu. Padahal, tidaklah demikian.

Dengan potensi rasionalitas yang sangat mengental dalam pikirannya, Umar bermaksud menjelaskan, Islam itu tidak bisa lepas dari konteks budaya Arab pada saat itu. Sehingga, dalam beberapa hal Umar banyak menafsir ulang terhadap syariah. Dan ada kesan beliau berani membuat putusan hukum yang kelihatannya banyak berbeda dengan arus pemikiran sahabat pada saat itu. Umar sangat dikenal sebagai seorang rasionalis sejati.

Atas dasar argumen yang dikemukakan oleh Umar ini, Khalil Abdul Karim membuat analisis mengenai kaitan antara agama, budaya, dan kekuasaan dalam bukunya Hegemoni Quraisy (LKIS:2002). Menurutnya, "produksi-produksi kebahasaan" (al-Muntaj al-Lughawiyyah), seperti puisi, khitabah, dan beberapa kata hikmah (amtsal) yang dimiliki oleh orang-orang Arab sebelum kenabian Muhammad, itu semua banyak berperan dalam proses pentauhidan dan persiapan menuju suatu kondisi objektif yang matang, yang berakhir dengan berdi-rinya Negara Quraisy di Yatsrib.

Banyak fakta saat itu membuktikan, hegemoni kaum Quraisy sangat menentukan produksi kebahasaan dalam makna agama. Kebudayaan suku itu masuk dalam proses pembentukan teks. Sehingga kita perlu mencermati lebih mendalam bagaimana kaitan antara agama sebagai pesan suci ilahi dengan intervensi manusia yang lebih mementingkan kekuasaan dan kebudayaannya bisa masuk dalam proses produksi nalar agama.

Profanitas Teks

Tidak selamanya teks itu adalah sesuatu yang sakral. Pembacaan terhadap teks tidak bisa terlepas dari konteks sejarah dan kebudayaan yang melingkupi bangunan teks tersebut. Pada saat kita memahami makna agama yang tercermin dalam penampakan teks, profanitas (duniawi) sangat melekat dalam konstruksi nalar teks. Penyejarahan teks dilakukan agar bisa menyesuaikan dengan kondisi yang memang menjadi kenyataan historis umat manusia.

Pada saat memahami teks, kita tidak bisa mengandalkan penafsiran secara literal, tetapi harus ada upaya penafsiran secara hermeneutis (ta'wiliyah) atas kenyataan-kenyataan sosial dan budaya yang mengitari teks. Teks yang diam dan sakral itu pasti menjadi objek manusia. Maka, teks tidak lagi menjadi sesuatu yang diam dan sakral, karena manusia atau si penafsir memosisikan teks itu harus dihubungkan dengan realitas. Lalu, teks menjadi sesuatu yang profan dan berhak untuk diutak-atik, bahkan tidak aneh apabila kemudian kita menolak teks dalam beberapa pengamalan syariahnya yang cenderung menindas kemanusiaan dan keadilan.

Menurut Abu Zayd dalam Mafhumun-Nash: Dirasah fi 'Ulumil Qur'an (1990), Al-Qur'an adalah "teks kebudayaan" (muntaj tsaqafy), yaitu teks semantik yang menjadi teks sentral dalam wacana pemikiran Islam. Teks dalam Al-Qur'an adalah teks peradaban karena di dalamnya memuat pembentukan dalam pergolakan (dialog/dialektika) antara manusia dan realitas di satu sisi, dan manusia dengan teks di sisi lain.

Dalam konsep teks, Al-Qur'an bisa didekati dengan metode-metode analisis teks. Metode analisis bahasa (semiotika) merupakan metode humaniora yang dapat digunakan untuk memahami wacana keagamaan dalam Islam. Hal ini sangat tepat diterapkan dalam menganalisis teks Al-Qur'an karena peradaban Islam Arab adalah peradaban teks, dan di dalamnya memuat pergolakan pemikiran ketika Al-Qur'an itu berwujud. Dalam Islam, Al-Qur'an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban Islam.

Historisitas Islam

Islam bukanlah agama yang tidak mau memahami konteks perubahan zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat kenyataan sosial-budaya untuk membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya. Humanitas bisa ditangkap apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis teks agama. Sisi historisitas agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan kemanusiaan hari ini.

Gagasan Islam otentik dan Islam universal kurang mengeksplorasi sisi historitas Islam. Realitas lokalitas (budaya) kurang mendapat tempat dalam pemahaman mereka. Islam dengan sangat apresiatif memahami budaya, dan berposisi secara rekonsiliatif. Bahkan fenomena budaya banyak dijadikan rujukan keagamaan. Ada dialektika antara agama dan budaya. Dan di Islam, kaitan antara teks dan budaya memang sering sulit untuk dipisahkan. Kekuatan budaya banyak mempengaruhi proses pembentukan teks-teks agama.

Mengenai pengaruh budaya dalam Islam pada masa Arab klasik, Khalil Abdul Karim menyebut sakralisasi Bulan Ramadhan merupakan salah satu tradisi yang diwarisi Islam dari bangsa Arab ---yang menjadi sumber dasar Islam. Hal lain misalkan, mengagungkan bulan-bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) bukan merupakan tradisi Islam.

Ada tenggara, penyebutan bulan-bulan suci itu dilatarbelakangi oleh tradisi bangsa Arab yang tidak membenarkan perang dalam rentang keempat bulan tersebut. Tradisi berperang merupakan tradisi tribalisme suku-suku Arab pada saat itu, sehingga penetapan empat bulan suci itu sebagai fase gencatan sejata dan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.

Atau, misalkan juga mengenai jilbab. Jilbab merupakan produk budaya Arab pada saat itu sebagai alat kultural untuk media pengamanan sosial bagi perempuan. Karena jilbab itu pada awalnya adalah budaya, dan Al-Qur'an menyebutkannya maka sering kita mengartikan jilbab itu adalah bagian dari tradisi Islam. Hal semacam itu banyak disalahartikan. Kaitan budaya antara Arab dan Islam membuat kita kesulitan untuk memilah mana yang merupakan budaya Islam sendiri dan mana yang bukan.

Oleh sebab itu, metode "kritik historis" (an-naqd at-tarikhy) sangat penting untuk dilakukan dalam menganalisis tradisi. Apakah teks seluruhnya merupakan turunan dari langit? Bukankah intervensi manusiawi sangat mempengaruhi nalar pemikiran dalam teks agama?
Muhammad dan Jibril sebagai penerima teks pertama juga tidak lepas dari bagaimana keduanya mencoba menafsirkan teks. Otentisitas dan universalitas yang ada dalam Islam lebih dimaknai sebagai pemahaman teologis yang sifatnya hanya dalam wilayah privat dalam keyakinan keagamaan kita. Penggalian makna Islam yang lebih memahami konteks budaya menjadi sesuatu yang tidak tabu dan perlu untuk mendapat tempat seluas-luasnya dalam wacana atau tradisi pemikiran kita. Wallahu A'lam.

Sumber: http://www.suarapembaruan.com/last/index.htm

Menuju Birokrasi yang Humanis

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Sinar Harapan, Jum’at, 2 Januari 2003.

Birokrasi selalu menjadi perhatian masyarakat kita. Dan tiap kali mendengar kata “birokrasi”, kita langsung terpikir mengenai berbagai urusan prosedural penyelesaian surat-surat yang berkaitan dengan pemerintahan. Birokrasi kini dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan yang amat buruk. Dikatakan demikian karena kita mencium bahwa aroma birokrasi sudah melenceng dari tujuan semula sebagai medium penyelenggaraan tugas-tugas kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat (public service) dengan sebaik-baiknya.

Lagi-lagi, yang terpampang birokrasi kini identik dengan peralihan dari meja ke meja, proses yang ribet, berbelit-belit, dan tidak efisien. Urusan-urusan birokrasi selalu menjengkelkan karena selalu berurusan dengan pengisian formulir-formulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kontrol secara berantai, aturan-aturan yang ketat yang mengharuskan seseorang melewati banyak sekat-sekat formalitas dan sebagainya.

Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai “tujuan” bukan lagi sekadar “alat” untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Terkesan, mustahil negara tanpa birokrasi. Tapi, birokrasi seperti apa yang sangat menjanjikan bagi kita kalau sudah demikian parahnya penyakit yang melekat dalam tubuhnya itu?

Sangat penting apabila kita meninjau kembali definisi birokrasi. Menurut Peter M. Blau (2000:4), birokrasi adalah “tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis.” Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat.

Kenyataan yang terjadi hingga detik ini, birokrasi hanya sebagai “perpanjangan tangan” pemerintah untuk dilayani masyarakat. Atau dengan birokrasi pejabat pemerintahan ingin mencari keuntungan lewat birokrasi. Sebuah logika yang terbalik, memang! Seharusnya birokrasi adalah alat untuk melayani masyarakat dengan berbagai macam bentuk kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Birokrasi menjadi sarang penyamun bagi beberapa oknum yang berupaya memanfaatkan sistem ini. Birokrasi telah menjadi “terali besi” (iron cage) yang membuat pengap kondisi bangsa kita akibat ulah para “penjahat berbaju birokrat”.

Berbicara soal birokrasi, kita pasti teriangat konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model itulah yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi negara kita –walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Tipe ideal itu melekat dalam struktur organisasi rasional dengan prinsip “rasionalitas”, yang bercirikan: pembagian kerja, pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi. Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tapi, kenyataan dalam praktek konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia. Perlu ada pembaharuan makna dan kandungan birokrasi.

Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan.

Kalau boleh dibilang, birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya. Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial. Hanya saja Marx pesimis dengan birokrasi karena instrumen negara ini hanya dijadikan alat untuk meneguhkan kekuatan kapitalisme dan akhirnya jauh dari harapan dan keinginan masyarakat.

Sebagai sebuah konsep pemerintahan yang paling penting, birokrasi sering dikritik karena ternyata dalam prakteknya banyak menimbulkan problem “inefisiensi”. Menjadi sebuah paradoks, seharusnya dengan adanya birokrasi segala urusan menjadi beres dan efisien tapi ternyata setelah diterapkan menjadi “batu penghalang” yang tidak lagi menjadi efisien. Ada yang mengkritik bahwa birokrasi hanya menjadi ajang politisasi yang dilakukan oleh oknum partai yang ingin meraih kekuasaan dan jabatan politis. Term “efisiensi” layak “digugat”.

Rasionalitas dan efisiensi adalah dua hal yang sangat ditekankan oleh Weber. Rasionalitas harus melekat dalam tindakan birokratik, dan bertujuan ingin menghasilkan efisiensi yang tinggi. Menurut Miftah Thoha (2003:19), kaitan keduanya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya ketika Weber masih hidup dan mengembangkan pemikirannya.

Kata kunci dalam rasionalisasi birokrasi ialah menciptakan efisiensi dan produktifitas yang tinggi tidak hanya melalui rasio yang seimbang antara volume pekerjaan dengan jumlah pegawai yang profesional tetapi juga melalui pengunaan anggaran, pengunaan sarana, pengawasan, dan pelayanan kepada masyarakat. Kalau ditelisik, konsep rasionalitas dan efisiensi yang membingkai dalam ramuan birokrasi adalah susunan hirarki, di mana ukurannya tergantung kebutuhan pada masing-masing zaman. Zaman kita sangat berbeda dengan zaman yang tengah terjadi pada saat Weber masih hidup.

Weber memaksudkan rasionalitas agar segala tindakan manusia didasarkan atas ukuran dan kualifikasi rasional sehingga tidak ada unsur subyektif dan politis yang masuk dalam proses penyelenggaraan sistem administrasi negara. Karakteristik dan ciri-ciri yang melekat dalam birokrasi sangat bermuatan rasional. Kita tidak bisa menampik bahwa apa yang dikemukakan oleh Weber sangatlah rasional. Tapi, ada banyak hal yang justru dilakukan tanpa melalui jalur formal-rasional. Ada intervensi manusia secara subyektif dalam memperlakukan sebuah sistem. Tentu, hal demikian dilihat menurut ukuran kebutuhan dan kepentingan yang mendesak.

Rasionalitas yang kemudian dikaitkan dengan efisiensi tidak lagi menjadi dua ukuran sebab-akibat yang pasti. Bisa saja, efisiensi itu melepaskan dari ukuran rasional dan formal. Dan ternyata kerangka konseptual rasionalitas birokratik yang disebutkan Weber membuat kita kaku dalam memperlakukan birokrasi, dan akhirnya terjebak pada rutinitas yang berjarak dengan fenomena sosial. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi kondisi birokrasi di negara kita.

Dan apalagi, penggunaan konsep Weberian dalam menerapkan konsep birokrasi akan terjebak pada kondisi di mana konsep ini menjadi “rasionalitas instrumental”, yaitu konsep yang sakral dan menjadi ukuran serba pasti dalam proses penerapananya di waktu dan tempat manapun. Reintepretasi atas gagasan Weber mengenai birokrasi menjadi urgen untuk dilakukan karena perlu dihubunkan dengan konteks pada saat ini.

Hal yang sangat menarik adalah kritik yang disampaikan Warren Bennis melalui tulisannya “Organizational Developments and the Fate of Bureucracy” dalam Industrial Management Review 7 (1966). Bennis mencoba melakukan prediksi masa depan tentang berbagai macam perubahan yang pada gilirannya akan mempengerahui eksistensi birokrasi. Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan yang produktif pada masa Revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan pengurangan peran-peran persobal, persoalan subyektivitas yang keterlaluan, dan tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan. Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya.

Kita sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual semata tapi merambah pada dataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin. Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih emnjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus serius digarap oleh para pemerhati masalah-masalah adminsitrasi negara dan kebijakan publik.

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/01/opi01.html

Tuesday, August 14, 2007

Menuju Pendidikan yang Humanis

Oleh Happy Susanto1

Dimuat dalam Jurnal Moderate Center for Moderate Muslim (CMM) Jakarta, 31-August-2004

PENDIDIKAN kita mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Bisa juga dikatakan bahwa pendidikan kita mengalami “kegagalan” apabila kita menengok beberapa kasus beberapa saat yang lalu telah muncul ke permukaan. Kenyataan ini telah menjadi keprihatinan bersama masyarakat kita. Jangan sampai kondisi demikian akan selalu menggelapkan raut muka dan wajah buruk pendidikan kita. Sudah saatnya, reformasi pendidikan perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan.

Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan. Radikalisme agama adalah salah satu problem nasional yang perlu dipecahkan. Salah satu upaya strategisnya adalah dengan membangun paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan. Dengan pendidikan yang bermodelkan seperti ini maka sikap moderatisme dalam beragama adalah hasil yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Dan ini sangat penting karena memiliki benah merah pemikiran yang jelas.

Mencetak calon pemimpin bangsa tidak bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa saja yang kini telah menjadi orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk pendidikan yang bisa diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan kita. Pendidikan bukan hanya berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu (beberapa) orang lain, tapi juga mentrasformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas kertas putih) ke dalam jiwa, kepribadiaan, dan struktur kesadaran manusia itu. Hasil cetak kepribadian manusia adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan secara humanis.

Tapi, selama ini kita hanya melihat pendidikan hanya sebagai momen “ritualisasi”. Makna baru yang dirasakan cenderung tidak begitu signifikan. Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan kita sangat miskin dari sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan.

Ivan Illich, kritikus pendidikan yang banyak melakukan gugatan atas konsep sekolah dan kapitalisasi pendidikan, mengatakan bahwa kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya sendiri ketika pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa (guru) dan murid menjadi konsumennya. Kapitalisme pengetahuan pada sejumlah besar konsumen pengetahuan, yakni orang-orang yang membeli banyak persediaan pengetahuan dari sekolah akan mampu menikmati keistimewaan hidup, punya penghasilan tinggi, dan punya akses ke alat-alat produksi yang hebat. Pendidikan kemudian dikomersialkan. Sehingga tidak ada kepedulian seluruh elemen pendidikan untuk lebih memperhatikan nasib pendidikan bagi kaum tertindas.

Implikasi atas kapitalisasi pendidikan itu maka masyarakat kita akan susah mendapatkan akses yang lebih luas untuk memperoleh pengetahuan. Yang mampu mengakses adalah mereka yang memang mempunyai banyak uang karena pendidikan adalah barang dagangan yang mewah. Hal ini nampak dalam kondisi pendidikan bangsa kita. Akhirnya, kita semua terpaksa harus membayar mahal demi memperoleh pendidikan. Padahal, belum tentu kualitas yang dihasilkannya akan menjamin atas pembentukan kepribadian yang memiliki kesadaran atas kemanusiaan.

Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dam sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.2

Di saat bangsa kita sedang mengalami devaluasi nilai dan moralitas maka sangat diperlukan wacana mengenai pendidikan yang memberdayakan. Nilai-nilai kemanusiaan perlu dimasukkan ke dalam karakter pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan berorientasi kemanusiaan. Pendidikan yang humanis adalah harapan besar kita.

Pendidikan yang Membebaskan

Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.

Banyak sekali kritikus pendidikan yang sangat menyayangkan kondisi buruk pendidikan karena ternyata sudah keluar dari jalur dan cita-cita aslinya. Tulisan ini akan banyak menyoroti fenomena pendidikan dengan menggali pemikiran Paulo Freire dan Ivan Illich. Seperti kita ketahui bersama, “otokritik pendidikan” niscaya untuk selalu dilakukan agar pendidikan bisa kembali pada cita-cita murninya semula.

Paulo Freire banyak kita kenal dengan gagasan “penyadaran (conscientizacao)”-nya. Beliau merefleksikan kembali gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas akal sehat”.3 Gagasan Freire sangat menarik karena beliau ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.

“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.

Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.

Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.

Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.

Menggugat Pendidikan Gaya Bank

Freire mengurai secara ganblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid).4 Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru Cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya.

Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gara bank”. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam model pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Di sinilah terselip ideologi penindasan.

Raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan dari model pendidikan “gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk memecahkan kontradiksi antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire memberikan jalan keluar atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu dengan menggagas pendikan yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat efektif dalam pendidikan pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (siswa). Hal ini tentunya dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan, di mana guru sebagai kelompok “penindas” menuju “revolusioner”.

Dialog yang terbangun ini kemudian disusul dengan mempraktekan pendidikan “ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid sama-sama bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan hanya dalam tugas menyikap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang.5 Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara penegtahuan dan realitas maka akan tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner.

Kembali pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk menciptakan makna baru bagi pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi lewat interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Di sini pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid dengan guru.6 Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas --seperti telah sebagian dikemukakan di muka-- maka perlu perantaraan atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan.

Pendidikan dan Realitas Sosial

Mengaitkan antara kurikulum dengan realitas sosial adalah strategi untuk menciptakan model pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Kurikulum sengaja dibentuk untuk membaca realitas sosial. Kurikulum adalah “alat baca” dan panduan strategis bagi peserta didik untuk meneropong dunia sekitarnya. Sehingga, manakala mereka sudah selesai dari bangku sekolah formal, dengan hasil didikan yang diperolehnya selama ini maka itu bisa difungsikan untuk membaca realitas sekitarnya.

Lantas, bagaimana upaya kita dalam proses membangun kurikulum yang berbasis kemasyarakatan? Langkah awal yang bisa ditempuh adalah dengan merombak pola pikir dan kognisi para pendidik selama ini. Mereka adalah para pembuat kurikulum yang harus bertanggung jawab atas kualitas dan mutu pendidikan yang dikonsepkannya. Saya merasa, para pendidik dan pembuat kurikulum tidak mempunyai keseriusan dalam membuat konsep dan gagasan yang lebih serius dalam upaya membangun masyarakat yang cerdas. Di sini cerdas tidak dimaknai sebagai bentuk penguatan kognisi saja, tapi juga penguatan pada aspek emosi, kepribadian, dan kesadaran diri si terdidik.
Mau tidak mau, si terdidik harus punya kesadaran kritis dalam meneropong atau menyoroti realitas yang dihadapinya. Obyek yang diamati akan sangat banyak, beragam, dan kompleks sekali. Sehingga, diperlukan perangkat analisis yang amat jitu dan tepat sasaran. Kemungkinan karakter pendidikan semacam ini perlu dibarengi dengan pengkondisian atas situasi proses belajar-mengajar yang elegan, egaliter, demokratis, dan manusiawi. Tanpa itu akan sangat mustahil bisa diharapkan.

Kembali pada soal kasus radikalisme agama dan moderatisme beragama. Seperti telah disebut terdahulu bahwa pendidikan humanis adalah solusi paradigmatik atas kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan beragama kita yang pernah mengalami anomali akibat kekerasan yang merebak dalam kehidupan sosial kita, terutamanya yang dikaitkan dengan problem agama. Sikap anti-kemanusiaan yang ditimbul karena padangan sempit ini disebabkan karena beberapa kelompok Islam radikal gagap dalam membaca realitas sosial. Apapun wujud yang ada di muka bumi dianggap sebagai bentuk kekafiran dan kekufuran maka mereka harus “memberantasnya” sampai ke akar-akarnya, tanpa melihatnya secara lebih terbuka dan memahami kompleksitas obyek realitas yang dibacanya. Akhirnya, kekerasan kemudian yang berbicara.

Perilaku kekerasan yang dihinggapi oleh rasa emosi yang mendalam selamanya tidak akan memecahkan persoalan. Hanya dengan keterbukaan dan moderasi (tawassuth) maka kita akan bisa melihat realitas secara obyektif. Pembacaan demikian adalah tugas penting pendidikan. Sejauhmana pendidikan itu mampu membangun kepribadian manusia yang berkarakter terbuka, manusiawi, dan memiliki kesadaran yang tinggi ketika harus menghadapi realitas yang diliputi bertumpuk persoalan pelik. Hanya dengan kedewasaan yang tinggi, manusia terdidik akan mampu menghadapi persoalan yang tengah dihadapinya. Sesulit apapun, segala persoalan akan terselesaikan dengan baik.

Pendidikan yang mengajarkan anti-kekerasan alias yang berwajahkan humanis adalah cita-cita dan harapan kita semua. Kita sangat berharap mudah-mudahan para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini mau dan sudi memikirkan hakikat pendidikan yang diterapkan dalam kurikulum di berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Dan harus ada ketegasan dalam membuat suatu jaminan bahwa pendidikan sangat jauh dari jiwa kapitalisasi. Pendidikan adalah wilayah kultural yang tidak bsia dipolitisasi dan dikapitalisasi.

Pendidikan yang humanis akankah hanya menjadi ilusi atau justru kenyataan bagi kehidupan kita? Mudah-mudahan yang terbaiklah yang akan kita rasakan nanti di kemudian hari.

1Associate Researcher CMM Jakarta
2 Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10.
3 M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. xvi.
4 Paparan lebih mendalam lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, cet. III, (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 49-52.
5 Lihat juga Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 457.
6 Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 428-433.

Sumber: http://www.cmm.or.id/cmm-ind_archives.php?id=A2004083

Teologi Memahami Alam

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, 23 Maret 2005.

TRAGEDI kembali menimpa bumi pertiwi. Gempa berkekuatan 8,7 pada skala Richter terjadi di sebelah barat Pulau Sumatera, tepatnya di laut antara Pulau Nias dan Pulau Simeulue, mengguncang pada Senin (28/3) tengah malam. Ratusan orang diperkirakan menjadi korban dan ribuan rumah hancur.
Gempa yang bisa dirasakan hingga ratusan kilometer dari pusatnya itu telah membuat panik penduduk yang tinggal di Sumatera Utara maupun Aceh. Selain rumah roboh dan sebagian terbakar, bangunan infrastruktur juga banyak yang rusak. Kepanikan akibat gempa juga mengakibatkan kecelakaan kendaraan. Kesengsaraan bertambah dengan padamnya aliran listrik dan turunnya hujan.
Alam rupanya sedang mengingatkan kita. Silih berganti bencana alam menerpa bangsa ini. Masih segar dalam ingatan kita, akhir Desember 2004, gempa dan tsunami yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara telah menelan korban ratusan ribu jiwa.
Menyusul kemudian pada akhir Januari, gempa terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, yang menyebabkan trauma akan datangnya tsunami di daerah itu. Pada pertengahan Februari, gempa terjadi di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, yang menimbulkan trauma yang sama akan datangnya tsunami.
Sudah saatnya kita perlu secara serius merefleksikan "teguran" alam yang telah berkali-kali menimpa bangsa ini. Peradaban modern yang hanya berusaha menawarkan tantangan pada alam, bukan malah mengajaknya bekerjasama adalah akibat dari seluruh bencana yang terjadi selama ini.
Arogansi dan dominasi manusia terhadap alam perlu diperbaiki melalui kesadaran baru, salah satunya adalah dengan perspektif teologis (agama) yang pro-alam.
Kosmologi Baru
Sains alam modern selalu berbicara pada dataran empirik, positivistif, dan kuantitatif. Segala fenomena alam selalu diukur secara materialistik. Padahal, di dalam setiap kerja alam pasti menyimpan misteri ilahi akan proses penciptaan. Bencana gempa dan tsunami adalah salah satu bukti akan adanya misteri ini.
Kosmologi lama yang berupaya memahami alam semesta secara spekulatif dan menganggap bahwa alam semesta ini bersifat statis, telah digantikan oleh kehadiran kosmologi baru. Kosmologi yang berkembang belakangan ini didasarkan atas teori Big Bang, yang menjelaskan bahwa alam semesta bukan sesuatu yang bersifat kekal, melainkan berawal dan berkembang secara evolusioner sejak 15 miliar tahun lalu, dari titik kepadatan luar biasa dan tingkat kepanasan amat tinggi tak terbayangkan.
Temuan kosmologi baru ini bertentangan dengan pernyataan terkenal Steven Weinberg, fisikawan peraih Nobel 1979, "nampaknya semakin alam semesta ini dapat dipahami, semakin nyata pula bahwa alam semesta ini nampaknya tak mempunyai maksud dan tujuan apa-apa."
Para kosmolog sekarang ini memiliki bukti bahwa asal-usul alam semesta bukanlah kejadian teknis alami yang bersifat kebetulan, tapi sesungguhnya proses alam semesta ini sungguh menakjubkan, penuh misteri, dan bukan tanpa tujuan apa pun.
Pendekatan kosmologi ini juga bisa dijadikan sumber rujukan dalam melihat fenomena alam di dalam tubuh bumi. Karena bumi adalah bagian dari tata kosmos universal. Dan sesungguhnya temuan kosmologi baru ini memberikan ruang bagi permenungan teologis dan metafisis.
Menurut J Sudarminta (2003), implikasi teologis dari temuan ini memberikan justifikasi bahwa semua proses alam telah terjadi dan demikian terjadi, bukan karena harus demikian, tetapi karena tindakan bebas Tuhan terdorong oleh cinta. Semua itu terjadi karena rencana dan kehendak Tuhan yang "bekerja" secara imanen dalam proses evolusi alam semesta.
Bila dilihat dalam perspektif Islam, kata "alam" di dalam al-Qur'an lebih banyak disebut dengan kata kerja "khalaqa" (menciptakan) selama 200 kali dibandingkan dengan bentuk kata benda yang hanya sejumlah 53 kali. Dengan demikian, alam sangat berhubungan dengan Tuhan dan merupakan hasil dari tindakan-Nya yang masih akan terjadi.
Menurut Seyyed Hossein Nasr (The Encounter Man and Nature, 1984), sesungguhnya alam semesta memiliki aspek sakral. Kosmos berbicara pada manusia, dan semua fenomenanya memiliki makna.
Kosmos adalah simbol dari realitas yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Stuktur kosmis mengandung sebuah pesan spiritual bagi manusia karena memang tatanan kosmos adalah "wahyu" yang sumber asalnya adalah sama dengan agama itu sendiri.
Dengan demikian, bencana alam seperti gempa dan tsunami di Aceh dan Sumut mempunyai pesan spiritual bagi manusia untuk lebih perduli pada eksistensi alam dan mengakui akan penciptaan Tuhan yang maha besar.
Bencana itu adalah hukum alam yang terjadi karena regularitas dan pergerakan alam yang selalu bergerak dan berproses. Sedangkan, intervensi Tuhan dalam kerja alam itu adalah untuk memberikan peringatan k1
Teologi Pemihakan
Betapa manusia sekarang ini begitu sombongnya dalam menapakkan kakinya di muka bumi ini. Kisah evolusi alam semesta telah terjadi sejak Big Bang 15 miliar tahun yang lalu, demikian halnya pembentukan bumi telah terjadi jauh sebelum manusia baru masuk ke dalam panggung sejarah dunia kurang dari 5 juta tahun lalu.
Bencana alam memberikan pelajaran penting bahwa manusia bukanlah satu-satunya penguasa dunia. Justru adanya bencana alam bisa menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia.
Hingga detik ini, pasca-tsunami dan gempa yang masih berlangsung di sejumlah tempat seperti yang terjadi Senin malam, membuat manusia dilanda rasa ketakutan dan dibayang-bayangi akan datangnya bencana alam susulan. Rasa ketakutan adalah bentuk krisis eksistensial yang selalu ada dalam diri manusia.
Memahami alam dari perspektif teologis, menurut Hassan Hanafi (1995), adalah sebuah sudut pandang kesadaran manusia. Pendekatan ini juga perlu ditopang oleh tuntutan kebudayaan. Sikap dan persepsi manusia menentukan cara berhubungan dengan alam. Karena, objek yang hidup seperti alam dan dunia, tidak akan ada dan berubah kecuali di dalam persepsi si subjek (manusia) itu sendiri.
Bila kesadaran manusia hanya melihat bahwa alam harus dikuras semaksimal mungkin, tanpa memahami bagaimana akibat yang akan ditimbulkannya, maka alam pun akan berbicara atas dasar tindakan manusia itu. Ketika alam dirusak, tentu bencana akan datang.
Ekonomi developmentalism yang menuntut pengurasan terhadap kandungan alam menjadi penyebab kenapa sekarang ini banyak terjadi bencana. Kita bisa belajar dari bencana di Aceh dan Sumut, ternyata bencana itu mengakibatkan kelumpuhan pada tatanan materialistik.
Jadi, pasti ada cause-effect (hukum alam sebab-akibat). Karena memang di mana-mana terbukti terjadi bencana alam.
Untuk itulah, peran teolog dan agamawan dirasa perlu untuk merumuskan pendekatan teologis yang mampu memahami fenomena alam dan juga membentuk kesadaran baru bagi manusia dalam berhubungan dengan alam secara harmonis.
Teologi pro-alam memandang bahwa alam harus dihormati dan dilindungi. Alam tidak boleh dirusak dan dicemari. Ketika manusia berhadapan dengan alam, pada dasarnya ia juga berhadapan dengan manifestasi dari Ketuhanan, hasil kerja Tuhan.
Alam adalah ciptaan Tuhan. Memperlakukan alam secara baik dan bertanggung jawab adalah bentuk keimanan terhadap Tuhan. Merusak alam sama saja merusak hubungan kita dengan Tuhan.
Kita sangat membutuhkan perangkat teologis yang mampu melakukan pemihakan terhadap alam dengan melindunginya dari arogansi dan dominasi manusia yang tidak bertanggung jawab.
Teologi konvensional tidak cukup diandalkan karena memang selama ini hanya berbicara tentang hubungan antara manusia dan Tuhan. Sedangkan teologi pembebasan yang berupaya melakukan pemihakan terhadap kaum tertindas perlu dikembangkan untuk merambah pada persoalan pemihakan terhadap alam.
Di samping agama perlu melakukan pembebasan terhadap kondisi kehidupan umat manusia, agama pun wajib membebaskan alam dari kerusakan dan dominasi manusia. Inilah yang disebut dengan teologi pemihakan alam.
Tentunya, teologi pemihakan terhadap alam ini perlu dikembangkan melalui dialog dan kerjasama antar-agama. Salah satu tanggung jawab global (global responsibility) agama-agama, di samping memperhatikan penderitaan manusia, juga perlu memperhatikan penderitaan yang dirasakan alam dan lingkungan. Inilah salah satu spirit etika global yang pernah mengemuka beberapa tahun yang lalu.
Keterlibatan agama-agama dirasa efektif untuk melakukan pemihakan terhadap alam. Sudah selayaknya agama tidak tinggal diam dalam melakukan kerja partisipatif dalam mengembangkan kesadaran alam dan ekologis pasca-tsunami ini.

Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/29/index.html

Membumikan Risalah Perdamaian Islam

Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, 27 Februari 2004.

Pada tanggal 23-26 Februari 2004 ini, diadakan International Conference for Islamic Scholars yang bertajuk "Upholding Islam as Rahmatan Lil 'alamin". Acara ini diadakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Kementerian Luar Negeri (Menlu) RI. Hasil yang ingin dicapai dari cara ini adalah (1) pernyataan-pernyataan yang merefleksikan pandangan komprehensif bagaimana umat ini merespons berbagai tantangan di masa depan, (2) rencana kerja untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan Islam sebagai rahmatan lil a'lamin. Konferensi ini juga ingin mendialogkan Islam dengan agama lain, komunitas lain, dan terutamanya dengan Barat. Lebih jauh lagi, konferensi ini juga ingin mengembangkan peran civil society dalam pandangan Islam.

Acara ini patut diapresiasi, terlepas apakah ada motif politik atau tidak di balik perhelatan ini. Yang jelas, kita sangat membutuhkan wajah Islam yang damai, toleran, dan penuh mengajarkan kemanusiaan. Prof Dr Mohammad Sayed Tantawi pada pidato pembukaan konferensi itu menegaskan bahwa bimbingan dan ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW menjadi obat dan rahmat bagi sekalian alam. Islam adalah agama kemanusiaan yang bukan hanya khusus bagi umat Islam karena agama ini memang dibawa oleh semua nabi. Menarik sekali pernyataan yang dikemukakan Tantawi, Sheikh Al-Azhar yang sangat dikenal moderat ini.

Hassan Hanafi (2001:131-137), intelektual progresif asal Mesir juga menegaskan bahwa Islam adalah agama perdamaian yang universal. Menurutnya, secara literal semua nabi terdahulu adalah muslim karena mereka menundukkan kehendaknya di bawah kehendak suci Tuhan. Wahyu yang mereka terima sebenarnya bertalian dalam satu mata rantai yang kemudian dipadukan dan disempurnakan dalam Islam. Jadi, Islam adalah agama yang dibawa setiap nabi untuk semua individu, semua bangsa, dan seluruh umat manusia. Di sinilah kode etik universal perlu diangkat sebagai jaminan atas cita-cita perdamaian dalam Islam, yaitu kesamaan esensi misi mereka dalam upaya menciptakan kemanusiaan dan keadilan di muka bumi.

Kekerasan

Sekarang ini umat Islam selalu dipojokkan dan seakan menjadi "pihak terdakwa" dari berbagai kasus tindak kekerasan, seperti kasus 11 September dan bom Bali. Tentu, pencitraan negatif ini membuat umat Islam tidak tenang dan merasa perlu untuk mengklarifikasi akan hal itu. Secara objektif, tidak bisa kemudian umat Islam secara keseluruhan dianggap sebagai penganut agama yang dikata menyesatkan. Seperti yang kita yakini, Islam adalah agama keselamatan (salamah). Hanya saja, perilaku oknum tertentu yang memakai jubah agama menyebabkan distorsi pemahaman mengenai Islam.

Kekerasan atas nama agama memiliki muatan yang sangat kompleks. Paling tidak, ada dua sisi yang menyebabkan Islam kemudian dipandang sebagai agama yang "bermasalah" gara-gara kekerasan atas nama agama itu. Pertama, bisa dilihat secara internal. Boleh jadi, kekerasan itu memang benar-benar dilakukan oleh sebuah organisasi atau beberapa oknum yang mengaku sebagai penganut sebuah agama. Mereka melakukan itu disebabkan oleh sempitnya pemahamannya atas agama, dibarengi oleh sikap emosi yang tak tertahankan. Pemaknaan tekstual atas konsep jihad dan kafir menjadi penyebab aksi kekerasan yang mereka lakukan.

Kedua, secara eksternal. Pencitraan Islam yang dilakukan media asing menimbulkan bias tersendiri. Dalam pandangan dunia internasional, Islam seakan-akan dianggap sebagai "agama teroris". Di tengah suasana menegangkan, terkadang media bisa menjadi pemicu yang menambah rumit keadaan. Seharusnya, media perlu bersikap objektif dan membeberkan berita mengenai Islam secara faktual dan bisa dipertanggungjawabkan. Media asing (Barat) memiliki banyak kelemahan dalam mencitrakan Islam di saat menghubungkannya dengan peristiwa pengeboman dan aksi kekerasan.

Pertemuan yang diadakan PBNU dan Deplu itu memiliki relevansi yang sangat signifikan untuk memberikan citra baru (yang sesungguhnya) atas Islam, yaitu Islam sebagai rahmatan lil 'Alamin (rahmat bagi seluruh sekalian alam). Selain itu, perlu juga perbincangan mengenai bagaimana Islam itu menyikapi tantangan dan perubahan yang ada. Islam adalah agama yang dihadirkan ke muka bumi untuk memberikan rahmat dan perdamaian bagi setiap manusia, tanpa membedakan suku, ras, dan agamanya. Substansi yang ingin diperjuangkan Islam adalah bagaimana kemanusiaan dan keadilan itu benar-benar telah ditegakkan di bumi ini.

Moderatisme

Upaya strategis untuk membumikan risalah perdamaian dalam Islam adalah dengan membangun sikap moderatisme dalam beragama. Sikap ini perlu disertai dengan upaya pengembangan peran profetis agama yang banyak mengajarkan kemanusiaan. Pesan tersebut bisa kita rujuk pada al-Qur'an yang menyatakan bahwa "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah" (Ali Imron, 3 : 110). Ada tiga makna yang terkandung dlaam ayat ini, yaitu "ma- syarakat utama" (khairu ummah), "kesadaran sejarah" (ukhrijat linnas), "liberasi" (amr ma'ruf), "emansipasi" (nahy munkar), dan "transendensi" (al-iman billah).

Konsep "amar ma'ruf" (menyuruh pada kebaikan) dan "nahy munkar" (mencegah kemungkaran) banyak ditafsirkan sebagai bentuk dakwah yang dilakukan secara formal dan terkadang sering menggunakan cara kekerasan. Padahal, ada makna lain di balik itu, yaitu memberikan pemahaman yang baik pada umat mengenai ajaran-ajaran kebaikan agama dengan memberikan ruang kebebasan pada manusia itu sendiri. Substansinya bahwa Islam mengajarkan mengenai pesan-pesan ibadah, muamalah, dan syariah, yang kesemuanya itu diorientasikan untuk meraih makna hidup yang berlandaskan pada kemanusiaan. Dakwah yang banyak dilakukan selama ini hanya berorientasi pada pencapaian makna agama secara normatif. Seharusnya umat perlu juga diajak berpikir kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dalam penampakan realitas keseharian mereka.

Pola pemikiran Islam yang profetis itu diaplikasikan dalam sebuah sikap moderatisme dalam beragama. Sikap ini sangat ditekankan dalam Islam. Sikap moderatisme umat Islam (ummatan wasthan) akan melahirkan kedewasaan dalam beragama sehingga akan sangat objektif dalam menyikapi segala persoalan yang ada dalam realitas sosial. Fenomena radikalisme agama disebabkan karena emosi beberapa pihak umat Islam yang tidak bisa ditahan. Belum lagi, hal itu diperkuat oleh pemahaman keagamaan yang sangat sempit. Misalkan, konsep mengenai jihad. Bagi mereka, jihad melawan kemungkaran dan "musuh-musuh" Allah adalah kemestian agama dan menjadi ukuran keberislaman seseorang. Maka, kekerasanlah yang sangat mungkin mereka lakukan. Tentu, ini sangat berbahaya.

Moderatisme beragama akan mengerem sejauh mana umat Islam ini harus pintar dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada. Sikap moderat juga akan menghilangkan kecurigaan dalam memandang umat di luar Islam. Umat beragama yang lain adalah saudara sendiri dan mereka perlu diperlakukan secara damai dan toleran. Polarisasi antara Islam dan "yang lain" (the others), begitu pula perbedaan antar madzhab pemikiran dalam Islam juga perlu dicairkan. Pandangan inklusif dan pluralis harus terus dikembangkan dan disosialisasikan pada masyarakat Islam secara keseluruhan.

Islam adalah agama yang damai dan penuh mengajarkan kemanusiaan. Perdamaian adalah jiwa Islam yang telah mengakar sejak agama ini diturunkan ke muka bumi. Islam bukanlah ajaran mengenai kekerasan. Umat Islam perlu meluruskan makna Islam ini dengan memberikan pemahaman baru terhadapnya. Disertai sikap moderatisme dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam konteks masa sekarang ini. Wallahu A'lam.

Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2004/02/27/index.html

Radikalisme dan Dialog Antar Agama


Oleh Happy Susanto

Dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, 10 Desember 2004.

Di Yogyakarta, pada 6-7 Desember 2004 lalu, diselenggarakan "Dialog Internasional tentang Kerja Sama Antar-Agama" yang merupakan kerja sama antara Departemen Luar Negeri RI, Departemen Luar Negeri Australia, dan PP Muhammadiyah. Tujuan acara ini adalah untuk meningkatkan kesepahaman antar- umat beragama agar mampu mencegah radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama.

Hadir dalam acara ini sekitar 150 tokoh agama dan aliran kepercayaan dari berbagai negara di kawasan Asia-Pasifik, seperti ASEAN, Australia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Selandia Baru.
Motif acara tersebut hampir mirip dengan International Conference for Islamic Scholars dengan tajuk "Upholding Islam as Rahmatan Lil 'alamin" pada 23-26 Februari 2004 lalu yang diadakan oleh kerja sama PBNU dan Deplu RI. Hanya saja, bedanya acara kali lebih bersifat luas karena mengundang seluruh tokoh antar-agama dengan cakupan regional.

Acara-acara semacam ini perlu dikembangkan. Persoalan terorisme dan radikalisme agama menjadi problem besar dunia. Dengan diadakannya acara ini, secara khusus sebenarnya pihak Australia berharap bahwa akan ada jaminan keamanan yang diberikan oleh Indonesia, dan komunitas-komunitas agama di negara ini mampu menciptakan kehidupan yang damai dan beradab.

Harapan yang bisa diraih bagi pihak Indonesia adalah tentang jaminan investasi dan hubungan yang lebih baik antara Indonesia dan Australia yang beberapa saat lalu sempat merenggang karena terjadinya aksi pengeboman di sejumlah tempat. Pihak Muhammadiyah sebagai ormas Islam moderat ingin menunjukkan komitmennya bahwa Islam di Indonesia perlu dihadirkan sebagai agama yang ramah, damai, dan toleran. Islam bukanlah agama kekerasan.

Acara yang digelar selama dua hari ini, di samping membicarakan tentang ancaman terorisme global juga membicarakan tentang bagaimana membangun tatanan dunia yang adil dan beradab. Jalinan terorisme dan ketidakadilan global terlihat begitu kompleks sehingga memerlukan pemecahan yang mampu membacanya secara jernih dan terbuka.

Terorisme Global

Dunia internasional kini sedang dilanda sebuah masalah besar, yaitu terorisme global dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Semenjak terjadinya serangan terhadap menara kembar WTC pada 11 September 2001, dunia internasional dikejutkan oleh sebuah ancaman terorisme global. Konon aksi ini didalangi oleh kelompok terorisme internasional bernama al-Qaeda, sebuah jaringan yang dipimpin oleh Osama bin Laden.

Seperti pernah santer dibicarakan bahwa aksi terorisme ini sengaja dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuatan Amerika Serikat (AS) yang kebijakan-kebijakan luar negerinya dianggap banyak menyebabkan penderitaan di berbagai negara Islam di Timur Tengah, seperti Palestina, Afghanistan, Irak, dan sebagainya. Tindakan terorisme dilakukan sebagai bentuk pelajaran yang harus diterima pihak AS karena ulah mereka selama ini.

Kejadian semacam itu juga menimpa beberapa negara di dunia ini. Makanya, disebut sebagai terorisme global. Di Indonesia, pernah terjadi peledakan bom di Bali pada 12 Oktober 2002, peledakan bom di Hotel Marriott di Jakarta, dan beberapa bulan lalu terjadi pula peledakan bom di depan Kedubes Australia.

Beberapa tindakan terorisme tersebut menunjukkan bahwa ancaman terorisme global tidak dapat dianggap sepele. Banyak orang merasa khawatir akan terjadi lagi aksi-aksi semacam itu di kemudian hari. Rasa aman dan keselamatan menjadi sebuah harga mahal yang harus dibayar.
Memang, kita tidak bisa menampik bahwa muncul dan berkembangnya terorisme tidak dapat dilepaskan dari persoalan ketidakadilan global. Pihak yang melakukan aksi-aksi terorisme merasa tidak mendapatkan keadilan yang diberikan dunia internasional, sehingga mereka menjawabnya dengan kekerasan.

Akan tetapi, jawaban kekerasan ini pun tidak dapat dibenarkan. Tindakan antikemanusiaan semacam ini mengakibatkan timbulnya banyak korban jiwa yang melayang dan justru kian memperparah keadaan. Ada pepatah mengatakan bahwa kekerasan akan dibalas dengan kekerasan, dan kekerasan menjadi "lingkaran setan".

Buktinya, aksi terorisme itu berbuntut makin memarahkan pihak AS dengan melancarkan serangan balasan terhadap Afghanistan yang dicurigai menyimpan Osama, sehingga menimbulkan banyak korban di rakyat Afghanistan itu sendiri.

Dalam menyikapi kasus terorisme, langkah yang tepat adalah dengan jalan perdamaian. Inilah salah satu gagasan yang diusung melalui kegiatan dialog internasional tersebut. Jalan damai tidaklah menyurutkan usaha untuk selalu mengatasi persoalan terorisme. Bila kekerasan sebagai jawaban maka akan banyak korban jiwa tak berdosa yang akan timbul. Kalau demikian yang terjadi, gerakan antiterorisme justru melanggar hak asasi manusia.

Pertarungan Wacana

Ada yang menarik tatkala Menlu Australia Alexander Downer memberikan beberapa butir pemikirannya perihal radikalisme dan terorisme dengan atas nama agama. Menurut Downer, memerangi terorisme menuntut adanya upaya untuk memenangi pertarungan ide (wacana) sebagai bentuk penyelesaian secara damai.

Artinya, perjuangan melawan terorisme tidak lepas dari keberhasilan memberdayakan mayoritas umat beragama yang moderat di masyarakat dan kerelaan mereka untuk melakukan kerja sama guna menolak ajaran kebencian dan kekerasan yang menyimpang. Melalui acara tersebut diharapkan para tokoh masing-masing agama mampu melakukan wacana saling pengertian dan kerukunan antarkomunitas.

Gagasan yang ditawarkan Downer itu sungguh sangat strategis dan menghindari cara-cara penuh kekerasan dalam menangani kasus terorisme. Pertarungan wacana yang dimaksud adalah bagaimana seluruh agama mampu menghadirkan pembacaan yang moderat dalam menyikapi keberagamaan dirinya terhadap pihak atau komunitas di luar dirinya.

Downer bermaksud ingin memperhadapkan wacana yang diusung kalangan fundamentalis dengan wacana yang liberal dan humanis dari kalangan moderat. Saya pikir strategi ini perlu diapresiasi. Membangun sikap dan pemahaman agama yang moderat adalah bagian dari upaya untuk menghadirkan agama yang antikekerasan.

Dengan sikap semacam ini diharapkan hubungan antara "diri seseorang" (self) dengan "orang lain "the other" dapat terjalin secara harmonis dan toleran. Dalam hidup ini sering terjadi kecurigaan antara seseorang dengan orang lain, antara satu pihak dengan pihak lain, apalagi kecurigaan tersebut berhubungan dengan problem identitas agama.

Ambil contoh, misalkan hubungan antara seorang Muslim dan seorang Kristiani yang penuh diliputi rasa kecurigaan dan masing-masing menganggap bahwa agamanya paling benar. Tentunya, hubungan semacam ini sangat berbahaya karena mengundang konflik yang sungguh serius.

Hal itu terjadi disebabkan karena pemahaman keagamaan mereka yang sama-sama sempit, tidak mau mencoba memahami ajaran agamanya dan keberadaannya masing-masing. Sikap yang seharusnya dibangun adalah dengan sikap moderat, yaitu mau mencoba untuk memahami dan membangun saling pengertian, apalagi bersedia menjalin kerja sama dalam urusan-urusan moral dan kemanusiaan.

Ketegangan antara "self" dan "the other" ini perlu dilebur. Bila hubungan ini masih saja terjadi dan menguat dalam skala besar maka potensi konflik komunal tidak akan tertampik. Untuk itulah, para tokoh agama-agama harus membangun saling pengertian bahwa dunia ini membutuhkan perdamaian antar-umat beragama.

Demikian halnya, perlu dibangun kesadaran bahwa kekerasan bukanlah solusi terbaik dalam menyikapi berbagai macam persoalan, karena memang agama sama sekali tidak mengajarkan kekerasan.

Untuk menumbuhkan saling pengertian semacam ini maka perlu dibangun "dialog antaragama" dalam membahas segala persoalan yang sangat membutuhkan perhatian kaum agamawan. Radikalisme dan terorisme adalah salah satu persoalan besar yang perlu dibicarakan dalam dialog antar-agama ini.

Selama ini model dialog antar-agama sering dilakukan dalam upaya mencari "common platform" (titik temu) pemahaman bersama tentang ajaran agamanya masing-masing. Akan tetapi, bentuk dialog internasional yang diadakan di Yogya ini modelnya dibangun secara lebih luas. Seluruh tokoh agama diundang untuk berbicara tidak lagi hanya soal ajaran agamanya saja, tapi sudah beranjak pada bagaimana menyikapi kasus terorisme yang kian melanda dunia dan mengancam perdamaian dunia.

Terorisme dan radikalisme dijadikan sebagai "common enemy" (musuh bersama) yang harus terus diberantas oleh seluruh pihak di masing-masing agama. Sikap kekerasan tumbuh dan sering terjadi di setiap agama. Gejala fundametalisme kian mewabah pada setiap agama dan justru menimbulkan citra yang buruk karena aksi-aksi radikalisme dan terorisme sering mewarnai kehidupan (keberagamaan) mereka. Untuk itulah, dialog antar-agama ini adalah momentum besar untuk menghadapi persoalan sangat serius ini.

Kita perlu memberikan pemahaman terhadap masyarakat-agama bahwa terorisme sangat tidak dibenarkan dalam ajaran agama. Emosi dan kekerasan bukanlah jawaban dalam menyikapi segala persoalan. Agama hanya mengajarkan bahwa dalam menghadapi suatu persoalan serumit apa pun maka kita harus menggunakan akal dan kejernihan dalam berpikir.

Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2004/12/10/content.html